Berkesempatan meliput ke Brasil, sekali lagi saya merasa betapa bahasa Inggris tak lagi terlalu berguna. Bahasa Inggris seperti tidak laku di negeri Samba. Sebelum berangkat, saya sudah menduga skenario ini. Maka salah satu upaya yang saya lakukan adalah mengunduh kamus offline bahasa Inggris-Portugis ke salah satu telepon seluler yang saya kantongi.
Akan tetapi, karena memang belum terbiasa menggunakannya secara refleks lidah saya pun awalnya lebih sering berusaha berkomunikasi dengan warga setempat menggunakan bahasa Inggris yang kemudian disambut kernyitan bingung atau gelengan tak paham dari orang yang saya ajak bicara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya saja setelah susah payah berkomunikasi secara gado-gado--pakai bahasa Inggris, tambah kata-kata dari kamus contekan di sana sini, plus bahasa Tarzan untuk memberi penekanan--sehingga membuat lawan bicara berusaha ekstra untuk memahami maksud saya, ucapan "obrigado" di akhir percakapan sanggup membuat senyuman lebar menghiasi wajahnya. Boleh jadi amat bangga karena ada orang asing yang setidaknya sudah berusaha menghargai bahasa mereka kendatipun ucapan sederhana saja.
Perkara belajar bahasa yang bikin orang Brasil gembira ini bahkan saya alami lewat sebuah percakapan telepon. Ceritanya, saya hendak berusaha mengaktifkan nomor lokal setelah sebelumnya membeli sekeping SIM card. Awalnya, sih, saya hendak minta tolong kepada si penjaga kios tempat saya membelinya tetapi karena dia terus-terusan menggeleng tak paham niat itu saya urungkan. Pikir saya, toh sebelumnya pun saya sudah mendapatkan informasi cara mengaktifkan SIM card Brasil di situs Trip Advisor.
Merujuk informasi tersebut sekembalinya ke hotel tempat bermukim pun saya langsung memencet nomor hotline provider itu untuk dapat berbicara dengan operator lokal yang bisa berbahasa Inggris. Sebelumnya juga diwanti-wanti kalau bahasa Inggris yang akan dipakai si operator terkadang sulit dimengerti.
Informasi tersebut tak meleset jauh karena saya agak kesulitan memahami apa ucapan si operator di ujung sana, kendatipun tahu bahwa syarat minimal untuk mengaktifkan nomor tersebut untuk turis setidaknya butuh nomor paspor dan nama. Si operator, yang suaranya terdengar seperti perempuan paruh baya, pada awalnya juga terdengar tegas cenderung datar, mungkin juga akibat malas berlama-lama dengan saya karena terkendala komunikasi di antara kami berdua. Namun, tak lama kemudian suasana lumer seketika.
Saat itu saya diminta si operator untuk menunggu sesaat. Nah, jika di Jakarta ketika sedang di-hold kita akan mendengar nada tunggu atau musik-musik lainnya di ujung sambungan, yang saat itu saya dengar malah kesenyapan. Mati gaya, jadilah saya refleks menggapai ponsel kedua saya yang berisikan program kamus Inggris-Portugis. Secara refleks pula saya menggumamkan kata-kata semacam "bom dia" (selamat pagi), "boa tarde" (selamat siang), dan "boa noite" (selamat malam).
Eh, tiba-tiba suara tergelak keras di ujung sambungan telepon memotong hafalan saya. Si operator lalu berucap dengan bahasa Inggris-nya, "Tunggu sebentar, ya, pak." Kaget, saya buru-buru mengiyakan sebelum kemudian sunyi lagi-lagi datang. Entah kenapa saya iseng saja melanjutkan sejumlah gumaman hafalan yang salah satunya adalah ucapan "muito obrigado".
Tepat setelah itu muncul lagi suara si operator menyela, kali ini dengan amat ceria, menjelaskan bahwa nomor saya sudah diaktifkan. Saya pun dengan pede dan penuh gaya langsung mengucapkan "muito obrigado", dibalas dengan ucapan yang sama darinya setelah sebelumnya ia tertawa-tawa.
Sungguh saya bukan pemakna suara atau pembaca suasana hati lewat sambungan telepon. Namun, saya cukup yakin tawanya tak bermaksud mencela atau menghina, melainkan karena gembira dan bangga. Dan bukankah kita juga akan merasakan hal serupa ketika ada orang asing yang bilang "selamat pagi", "selamat siang", atau "terima kasih" dalam bahasa Indonesia?
(krs/roz)