Selesai sudah gelaran Piala Dunia 2014. Disebut-sebut sebagai salah satu gelaran Piala Dunia yang paling seru, perhelatan di Brasil itu pun mencapai klimaksnya di Maracana.
Mulai bergulir pada 12 Juni lalu, Piala Dunia kali ini sudah memunculkan banyak kisah yang melibatkan 32 negara pesertanya. Ada setumpuk gol, paket kejutan dari tim macam Kosta Rika, performa di bawah dugaan dari Spanyol, Portugal, dan Italia, dan juga kontroversi-kontroversi seperti gigitan Luis Suarez.
Setelah 63 pertandingan terlewati sampailah gelaran ini ke partai pamungkas yang menghadapkan Jerman dengan Argentina, dua tim yang punya sejarah jadi juara, dalam laga di Stadion Maracana, Minggu (13/7/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan kemudian betapa laga Jerman lawan Argentina itu tak mengecewakan. Die Mannschaft dan La Albiceleste silih berganti menekan, mencari ruang, bergiliran menyerang dan bertahan. Sama-sama kuat, partai ini pun tak tuntas dengan begitu saja--sebagaiman halnya sebuah film aksi nan apik yang membuat para penontonnya terus-terusan dilanda ketegangan.
Maka 90 menit pun berlalu; kedua tim sama-sama masih buntu. Lalu pertandingan memasuki babak extra time, menambah ketegangan. Sampai akhirnya di menit ke-113 skor kacamata pun terpecahkan lewat gol Mario Goetze yang pada akhirnya menjadi penentu kemenangan buat Jerman.
Skor 1-0 untuk timnya Joachim Loew itu menahbiskan Jerman sebagai kampiun Piala Dunia untuk keempat kalinya (1954, 1974, 1990, 2014). Ini juga membuat mereka menjadi tim Eropa pertama yang berhasil menaklukkan benua Amerika.
Buat saya, tuntasnya laga itu juga menandai berakhirnya masa tugas melakukan peliputan di Brasil dalam Piala Dunia kali ini. Beruntung saya pun bisa merasakan "klimaks" tersebut sebagai salah satu pengisi kursi penonton di stadion Maracana bersama 74.737 orang lainnya.

Perkara mendapat tiket sebagai penonton ini sebenarnya juga berbau keberuntungan. Sabtu (12/7) pagi, atau sehari jelang final, saya yang sedang berada di depan hotel di Rio de Janeiro iseng ngobrol dengan salah satu penghuni hotel yang juga sedang berada di pelataran. Ia rupanya memiliki dua tiket dan ingin menjual satu di antaranya. Pria bernama Herbert (48 tahun) yang mengaku tinggal di Frankfurt, Jerman, tersebut membanderol tiket Kategori 3 yang aslinya bernilai 880 reais Brasil, dengan harga 1.000 Reais Brasil -- kira-kira Rp 5,2 juta.
Singkat cerita saya tebus tiket tersebut meski masih sedikit harap-harap cemas seandainya tiket tersebut palsu. Hati saya sedikit tenang karena sudah mengetahui nomor kamar dan paspor Herbert, yang juga menawari berangkat bareng ke stadion. Di hari itu pula rekan-rekan sesama wartawan dari Indonesia lantas berkisah mengenai sulitnya mendapatkan tiket pertandingan final dan jika pun ada yang menawarkan harganya sudah jauh berlipat-lipat. Menyebut saya beruntung, rekan-rekan jurnalis ini juga bertanya apa masih ada tiket lowong.
Dan seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, pada akhirnya saya pun berhasil duduk di kursi penonton untuk merasakan langsung atmosfer di tengah-tengah suporter yang pada umumnya merupakan orang Jerman, Argentina, dan Brasil, dalam sebuah partai puncak Piala Dunia yang digelar di Maracana. Sungguh sebuah pengalaman dan kesempatan istimewa.
Sekian jam laga final tuntas, saya masih sangat terbayang-bayang dengan sensasi Maracana. Efeknya mungkin masih akan terasa untuk waktu cukup lama. Saya menduga kubu Jerman yang sedang dilanda euforia juga punya perasaan serupa soal Maracana, meski niscaya dalam kadar yang jauh berlipat-lipat ganda.
Tetapi tentu saja Piala Dunia 2014 kini telah usai. Terkecuali Jerman, tim-tim lain jelas ingin segera "tutup buku" dan melihat ke depan, di mana sudah ada tanah Rusia yang menanti dalam gelaran empat tahun mendatang: Piala Dunia 2018.

(krs/a2s)