"Orang-orang Inggris adalah mahluk yang lahir dari kebiasaan," ujar Herrera pada Cullis seolah mengejek ketidakmampuan mereka untuk berontak dari konservatisme dan tradisi. Memang, Inggris sendiri dikenal sebagai negara yang kolot dan sangat memegang nilai-nilai. The English Gentlemen.
Namun, dari kepatuhan pada pakem, metode, dan kebiasaan inilah lahir satu tipe pemain yang mewakili sepakbola Inggris: winger atau pemain sayap. Pemain yang beroperasi di sisi lateral lapangan ini identik dengan serangan cepat, yang memang sering diasosiasikan dengan sepak bola kick and rush khas Inggris. Karena itu tak heran jika di periode 1940-1960-an Inggris memiliki banyak sekali pemain sayap apik, seperti halnya Stanley Matthews, Tom Finney, Billy Liddle, atau legenda Manchester United, George Best. Ya, kultur pemain sayap, beserta dengan striker tinggi besar pemegang nomor punggung 9, memang jadi produk hasil era stagnansi taktik di Inggris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau cenderung stagnan dalam periode waktu yang panjang, mengatakan bahwa sepakbola Inggris tidak inovatif sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Pada 1925, Herbert Chapman dengan formasi W-M-nya di Arsenal meredefinisi permainan sepak bola sebagai jawaban atas aturan offside yang baru. Formasi inilah yang kemudian ditiru oleh sebagian besar klub Inggris dan dianggap benar hingga tiga puluh tahun kedepan. Sebelumnya, formasi 2-3-5 lah jadi platform utama untuk klub-klub di Inggris.

Melalui formasi W-M, Chapman juga merubah gaya bermain yang semula berorientasi menyerang jadi lebih bertahan, terorganisir, dan mengandalkan serangan balik untuk menyerang. Arsenal di bawah Chapman bermain dengan mengundang lawan ke daerah pertahanan mereka sendiri, meredam serangan, untuk kemudian meluncurkan serangan balik secara cepat saat ada kesempatan.
Lalu, bersamaan dengan Arsenal yang meraih gelar demi gelar juara dengan menggunakan formasi Chapman, klub-klub lain pun mulai mengadopsi formasi W-M.
Namun, adopsi ini sendiri tidak berlangsung secara sempurna. Pasalnya, di Arsenal, Chapman memiliki inside forward seperti Alex James yang mampu membangun serangan dan mengalirkan bola secara baik. Pemain pintar seperti Alex inilah yang susah ditemui di klub lain. Akhirnya kebanyakan klub hanya mampu meniru gaya bertahan Arsenal saja dan membiarkan serangan balik dilakukan melalui bola-bola panjang dari pemain bertahan ke depan.

Karena itu, pada rentang waktu ini, tumpuan serangan klub-klub Inggris hanya ditopang oleh tiga orang, yaitu dua orang pemain sayap dan satu orang ujung tombak yang siap mengeksploitasi kesalahan pemain belakang lawan. Sementara inside forward lebih berfungsi sebagai penyambung antara lini belakang dan lini depan. Akibatnya pemain sayap di era ini mendapatkan ruang untuk berlari, atau menggiring bola, yang jauh lebih luas dibandingkan winger-winger di era sepakbola modern seperti sekarang.
Tak heran jika umpan silang jauh dari winger kanan ke winger kiri, dan sebaliknya, jadi hal yang lumrah hadir dalam pertandingan di Inggris. Salah satu klub yang paling sering menerapkan strategi ini adalah Wolverhampton yang saat itu dilatih Stan Cullis. Kedua pemain sayap mereka, Johnny Hancocks dan Jimmy Mullen acap kali membingungkan pemain belakang lawan dengan mengirimkan umpan dari sisi ke sisi, untuk meregangkan ruang antara pemain lawan. Akibatnya pemain depan Wolves (Jesse Pye, Dennis Wilshaw, dan Roy Swinbourne) mampu memanfaatkan celah tersebut untuk mencetak gol.
Formasi W-M ini juga menyebabkan munculnya duel-duel antara full-back dan pemain sayap. Patut diingat bahwa pada masa-masa ini belum hadir sistem pressing atau bertahan secara zonal dan masing-masing pemain ditugaskan untuk menjaga satu pemain secara khusus. Pemain bernomor punggung dua (bek kanan) akan selalu menjaga nomor punggung 11 (winger kiri), dan pemain nomor 3 selalu menjaga si nomor 7.

Sebagaimana pisau yang diasah berulang kali akan menjadi tajam, maka kesetiaan Inggris pada formasi W-M pun membuat mereka sangat ahli dalam bermain memanfaatkan sayap lapangan. Hal ini juga dibuktikan oleh timnas Inggris yang sempat tak terkalahkan selama dua tahun, dari Mei 1947 ke 1949, dan hingga 1953 belum pernah kalah di kandangnya sendiri. Bahkan Inggris sempat menghancurkan Portugal 10-0 dan Italia 4-0 dengan Tom Finney (sayap kiri) dan Stanley Matthews (sayap kanan) sebagai tumpuan serangan.
Namun, ketergantungan akan permainan sayap ini pun akhirnya harus tunduk pada evolusi taktik yang sudah sedemikian berkembangnya di luar Inggris. Pada 25 November 1953, salah satu tim terbaik sepanjang masa, Hongaria, menghancurkan Inggris 6-3 dan membuat para pemainnya seolah mengejar bayangan di lapangan. Mata publik Inggris akhirnya terbuka akan adanya formasi lain diluar W-M dan akan adanya gaya bermain lain diluar mengandalkan serangan balik. Secara perlahan Inggris memulai perubahan sepakbola mereka sendiri.
(Bersambung)
(roz/a2s)