Benarkah tren tiga bek mengalami kebangkitan kembali? Jika ada satu orang yang bertanggung jawab atas pertanyaan ini, ia adalah Louis van Gaal. Ia, yang katanya membuat formasi tiga bek menjadi nge-tren lagi, menjalani pertandingan kompetitif pertamanya sebagai manajer Manchester United dengan sebuah kekalahan... di kandang sendiri.
Tidak ada yang terlalu terkejut ketika van Gaal memilih formasi 3-4-1-2, meskipun beberapa pemain utama tidak bisa tampil. Tyler Blackett bermain sebagai bek tengah kiri dengan Jesse Lingard sebagai wing-back kanan, dan Ashley Young di sisi yang berlawanan.
Skema andalan andalan van Gaal ini tidak berjalan sempurna pada babak pertama, sehingga ia harus meninggalkan formasi tiga bek dan beralih ke 4-2-3-1 pada babak ke dua. Sangat memusingkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengawali pembicaraan tentang tren terbaru ini, ada baiknya kita coba untuk memahami filosofi umum dalam bermain tiga bek.
Keuntungan dan Kerugian Pola Tiga Bek Secara Umum
Katanya formasi tiga bek sudah tidak digemari lagi, meskipun ternyata beberapa tim masih memainkannya di Serie A.
Jika melihat ke belakang, Brasil bisa menjuarai Piala Dunia 2002 berkat formasi tiga bek. Kala itu, Phil Scolari menempatkan Cafu dan Roberto Carlos sebagai wing-back, memasang dua gelandang bertahan, dan juga Rivaldo, Ronaldinho, dan Ronaldo di depan.
Bermain dengan tiga bek sebenarnya sangat sempurna jika diaplikasikan pada tim yang melawan formasi dua penyerang, seperti 4-4-2.
Idealnya, dua bek akan menjaga dua orang penyerang, sementara satu bek lagi bertugas untuk menyapu bola dari belakang. Tidak ada kebutuhan untuk memainkan bek keempat. Jika slogan Keluarga Berencana itu "dua saja cukup", maka skema ini "tiga saja cukup".
Pemain keempat lebih berperan pada posisi yang lebih tinggi di lapangan untuk meningkatkan potensi serangan.
Ketika terdesak, kedua wing-back dapat membantu turun ke belakang untuk menjadikan skema ini menjadi formasi lima bek. Selandia Baru pernah mengaplikasikan sistem ini pada Piala Dunia 2010 dan berhasil menjadi satu-satunya tim yang tidak terkalahkan.

Skema tiga bek asli (3-5-2 atau 3-4-1-2)
Hal ini terjadi karena lawan akan sulit menemukan ruang di antara kerumunan pemain bertahan. Kelemahannya adalah tim akan sulit dalam menyerang. Namun, untuk tim sekelas Selandia Baru, tampaknya hal ini bukanlah sebuah ganjalan.
Kerugian formasi tiga bek adalah tim menjadi kalah jumlah di area sayap lapangan. Dalam 3-5-2 atau 3-4-1-2 misalnya, satu wing-back harus berhadapan baik dengan pemain sayap maupun full-back lawan.
Ini berbeda dengan formasi 3-4-3 yang memasang sepasang penyerang sayap di depan. Mereka tidak kekurangan jumlah di sisi lapangan, tapi kalah di area tengah.
Meski skema ini berisiko, Juventus telah mendominasi Serie A selama tiga tahun berturut-turut bersama Antonio Conte dengan sistem 3-5-2. Mengapa? Jawabannya ternyata sederhana: banyak tim Italia memakai formasi dengan dua penyerang.
Lagipula bukankah 3-5-2 berarti menggunakan dua penyerang? Jadi, ketika mayoritas tim memakai 3-5-2, maka yang akan mendominasi adalah tim dengan pemain lebih baik. Dan Juventus memenuhi syarat tersebut.
Dua bek Si Nyonya Tua menjaga lawan, sementara Leonardo Bonucci berperan sebagai sweeper. Stephan Lichtsteiner dan Kwadwo Asamoah bermain melebar, sehingga para pemain tengah dan penyerang Juve "berkumpul" di tengah.
Arturo Vidal dan Paul Pogba gemar "menyetrum" kotak penalti sendiri maupun lawan (berperan sebagai box to box), kemudian ada Andrea Pirlo yang mendikte tempo permainan dari posisi yang lebih dalam. Sementara Carlos Tevez dan Fernando Llorente berperan menjadi duet striker klasik.
Sejauh ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah pernyataan bahwa tahun ini adalah tahun "kebangkitan formasi tiga bek" tidak sepenuhnya benar. Kalau kita kerucutkan 10 tahun terakhir saja, formasi tiga bek sejajar sudah populer di Italia, sedangkan van Gaal baru menggunakan formasi ini di Belanda baru awal tahun ini.
Formasi Tiga Bek / Lima Bek
Jika penamaan formasi dilakukan berdasarkan posisi ketika bertahan, 3-5-2 pasti lebih cocok untuk disebut 5-3-2. Namun, kebanyakan manajer baru menginstruksikan tim untuk beralih ke lima bek hanya jika bola telah melewati sepertiga lapangan terakhir (yang ironisnya kadang sudah terlalu terlambat).

Skema tiga bek menjadi lima bek dengan contoh arah serangan dari kiri tim bertahan
Tim baru memainkan 3-5-2 atau 3-4-1-2 pada fase menyerang. Tim juga membutuhkan bek yang benar-benar nyaman dengan bola (ball playing defender), yang bisa memainkan umpan-umpan akurat ke sisi lapangan, dan yang dapat bergerak melebar juga.
Hal lain yang jadi penting adalah bagaimana para pemain berhubungan satu sama lain ketika bergerak. Dalam skema tiga bek sejajar, wing-back sering turun kembali ke posisi yang sejajar dengan tiga bek, namun mereka memang tidak melakukannya secara konsisten.
Dengan demikian, wing-back akan berorientasi untuk menjaga lawan (man marking) sementara bek tengah menjaga zona (zonal marking) untuk berkonsentrasi memutus maliran bola. Wing-back dapat menghubungkan permainan ke gelandang atau bisa juga mengambil posisi yang fleksibel di ruang yang terbuka.
Wing-back harus senantiasa hadir memberikan opsi. Saat diserang, akan sangat sulit menghadapi permainan melebar pada sepertiga lapangan bertahan, jika wing-back tidak sigap. Skema ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.
Hal-hal di atas adalah spesifikasi mendasar pada cara bermain tiga bek. Kesalahan pada skema ini, secara umum, terletak pada pemain yang tidak cukup memiliki kemampuan, tidak adanya wing-back ataupu pemain tengah yang melakukan track-back saat diserang, serta kesalahan yang lebih umum dan mendasar yaitu tiga bek tidak dalam posisi sejajar.
Kesalahan-kesalahan di atas terlihat jelas pada gambar di bawah ini ketika Persib Bandung menghadapi Semen Padang awal bulan ini.

Kesalahan umum yang terjadi saat bermain tiga bek (Semen Padang 3-1 Persib Bandung)
Ketiga bek Persib, yaitu Achmad Jufriyanto di kiri, Vladimir Vujović di tengah, dan Abdul Rahman di kanan, tidak bermain sejajar. Kedua wing-back, Tony Sucipto di kiri dan Supardi Nasir di kanan, sementara gelandang di depannya juga tidak melakukan track-back.
Situasi ini secara sederhana bisa diantisipasi dengan tiga bek melawan tiga pemain menyerang. Tapi hal ini akan menjadi rumit ketika tiga bek tidak bermain sejajar sehingga salah satu bek (Abdul Rahman) menjadi kebingungan. Persis juga seperti yang terjadi pada Blackett pada gol pertama Swansea saat menghadapi United.

Proses gol Ki (Manchester United 1-2 Swansea City)
Bedanya, pada kasus Manchester United, Blackett tidak memposisikan dirinya sebagai bek tengah. Jika bek Persib (Abdul Rahman) tidak terpancing ancaman dari sayap, Blackett justru terlalu terpancing untuk bergerak ke sayap. Beberapa pendekatan bertahan inilah yang kemudian bisa menimbulkan perdebatan tiga atau lima bek, bahkan sampai menimbulkan istilah "pendulum empat bek".
Formasi Pendulum Empat Bek
Jika kita berangkat dari hukum kekekalan energi pada ayunan pendulum Newton (yang biasanya berjumlah lima bola), formasi pendulum empat bek adalah percampuran dari tiga dan lima bek.
Untuk dapat memahami hal ini dengan sederhana, mari lihat formasi tiga bek dengan dua wing-back pada kedua sisi membentuk posisi bertahan seperti bentuk bulan sabit.
Pada skema ini, sang wing-back yang paling dekat dengan bola akan bergerak ke depan mendekati pemain lawan yang mengancam dari sayap, meninggalkan formasi lima bek. Sedangkan wing-back yang berada di seberangnya turun sejajar dengan tiga bek tengah sehingga menciptakan formasi empat bek.
Tiga bek tengah tidak ada yang mengikuti pergerakan wing-back untuk lebih naik maupun lebih mundur. Mereka akan tetap di posisi masing-masing. Lalu, ketika bola dipindahkan ke sisi seberangnya, kedua wing-back akan bertukar peran, dan seterusnya.

Skema pendulum empat bek dengan contoh arah serangan dari kiri tim bertahan
Hal inilah yang membuat pemain belakang pada skema ini 'bergerak' seperti pendulum Newton: tiga bek tengah tetap diam, sementara wing-back bergerak sesuai arah serangan lawan, dan wing-back lainnya berada dekat sejajar dengan tiga bek tengah.
Seperti sebuah pendulum yang disambungkan dengan bola.
Secara banal terlihat bahwa tim akan bertransformasi menjadi 4-4-2, atau formasi lainnya dengan empat pemain belakang, saat bertahan. Skema ini sangat cocok digunakan ketika menghadapi lawan yang memakai skema tiga bek juga, misalnya 3-5-2.
Keuntungan dari sistem ini adalah bisa menjaga keseimbangan lebar lapangan. Pada saat menghadapi umpan silang ke dalam kotak penalti pun tim akan memiliki empat pemain yang menyapu bola ke luar. Ini sesuai dengan pendekatannya, yaitu hukum kekekalan energi. Jenius.
Tapi kerugian dari sistem ini adalah wing-back harus senantiasa bergerak sehingga akan menguras stamina.
(bersambung)
====
*ditulis oleh @DexGlenniza dari @panditfootball
(krs/din)