Penyerang sebagai Tokoh Utama Sepakbola

Penyerang sebagai Tokoh Utama Sepakbola

- Sepakbola
Rabu, 21 Jan 2015 09:36 WIB
Foto-foto: AFP
Jakarta -

Sepakbola selalu memberi panggung yang lapang untuk para penyerang. Maka tak heran jika Cristiano Ronaldo kembali memenangi gelar pemain terbaik dunia.

CR7 berhasil mengalahkan pesaing terdekatnya Lionel Messi. Sementara satu calon lagi Manuel Neuer, kiper timnas Jerman, meski tipis selisihnya dengan Messi, harus puas di peringkat ketiga dalam bursa FIFA Ballon d'Or 2014.

Ada semacam “kasta” yang tercipta secara alamiah di sepakbola, bahwa posisi pemain bertahan tidak lebih seksi dari penyerang. Perlu diketahui bahwa sebelum 3 nama di atas, FIFA telah memilih 23 pemain yang kemudian dipilih lagi melalui voting oleh para kapten dan pelatih tim nasional serta perwakilan jurnalis seluruh dunia. Dari deretan nama itu saja, hanya 4 yang berasosiasi bertahan: Manuel Neuer, Philip Lahm, Sergio Ramos, dan Thibaut Courtois.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitu juga jika kita mundur lagi ke belakang, sejarah juga membuktikan pemain bertahan (bek dan kiper) adalah pemain minoritas. Sejak tahun 1956, hanya ada empat pemenang yang berasal dari sektor pertahanan. Franz Beckenbauer, Matthias Sammer, Fabio Cannavaro, dan Lev Yashin (satu-satunya kiper).

Gol Jadi Syarat Mutlak Kemenangan

Jika tim anda ingin menang (harusnya memang demikian) maka tim tersebut harus mencetak gol. Titik. Sesederhana dan sejelas itu.

Bermain bertahan, dengan asumsi agar tidak kebobolan, hanya akan memastikan sebuah tim meraih satu poin alias seri. Cleansheet, alias tidak kebobolan, sudah pasti menjamin sebuah kesebelasan akan meraih hasil seri. Itu sudah pasti. Tapi, tidak kebobolan tidak bisa memastikan sebuah kesebelasan akan meraih kemenangan. Kesebelasan tersebut mutlak harus mencetak gol. Sekadar tidak kebobolan saja tidak cukup untuk menang.

Paragraf di atas tidak bermaksud untuk meremehkan pentingnya aksi bertahan, pertahanan atau cleansheet. Sama sekali tidak. Bukan itu maksudnya. Paragraf itu untuk menjelaskan, sekali lagi, bahwa untuk menang (dan akhirnya untuk juara) suatu kesebelasan harus mencetak gol. Tanpa mencetak gol, suatu kesebelasan paling banter hanya akan meraih seri dan lebih buruk lagi akan kalah.

Inilah yang menyebabkan, agaknya, para pemain menyerang (lebih tepatnya lagi: para pencetak gol) terkesan menjadi anak emas dalam sepakbola. Setidaknya itu tercermin dari jumlah para pemain menyerang (entah itu penyerang atau gelandang atau pemain sayap) yang meraih gelar pemain terbaik dunia jauh lebih banyak daripada para pemain bertahan (bek atau kiper atau gelandang bertahan).

Ini argumentasi yang sifatnya lebih mendasar, perihal filosofi sepakbola (bahkan olahraga) itu sendiri yang memang memburu kemenangan.

Gol sebagai Puncak Permainan

Gol dalam sepakbola adalah hal yang langka, dan karenanya paling dicari dan diburu. Dari gol itu juga kita mengenal sebuah kejadian lain yakni perayaan. Puncak kegembiraan atau kesenangan memang seharusnya untuk dirayakan.
Ada data menarik dalam buku The Numbers Game karangan Chris Anderson dan David Sally yang mampu menjelaskan kenapa gol di sepakbola adalah sebuah keindahan yang langka.

Data yang dihimpun pada 2010-2011 membandingkan skor yang didapat pada beberapa pertandingan olahraga profesional. Hasilnya adalah sepakbola memiliki rataan skor terkecil dibandingkan olahraga lainnya. Dibandingkan American Football, rugby, basket hingga hoki es, data menunjukkan bahwa sepakbola adalah olahraga dengan jumlah gol paling minim.



Masih dari sumber yang sama, gol dalam sepakbola juga membutuhkan usaha yang sangat besar. Lembaga statistik Opta mencatat ada 2.842 aksi saat final Liga Champions 2010 antara Inter melawan Bayern Munich. Aksi tersebut meliputi umpan, tekel, intersepsi, penyelamatan, dan sebagainya. Pertandingan sendiri dimenangkan oleh Inter lewat dua gol Diego Milito. Ya hanya ada 2 gol yang tercipta dari ribuan aksi tadi.

Berarti setidaknya butuh 1.421 usaha yang dilakukan oleh para pemain agar dapat menyarangkan satu gol ke gawang lawan. Sebuah usaha yang besar dan pantas dihargai mahal.

Penyerang sebagai Aktor Protagonis Sepakbola

Pada sebuah seni peran, protagonis identik dengan tokoh yang mendukung alur cerita. Tidak harus yang berbuat baik memang, tapi ia adalah seorang tokoh utama yang biasanya paling banyak menarik perhatian atau menyedot porsi dalam keseluruhan suatu kisah.

Jika tujuan utama bermain sepakbola adalah untuk mencetak gol, maka dapat disimpulkan penyerang adalah tokoh utama. Ia menjadi pemain yang paling menarik dan menjadi pusat perhatian di lapangan. Tak heran kemudian rekor demi rekor harga penjualan pemain belakangan tak pernah melibatkan sektor pertahanan. Selain terkait kebutuhan sebuah tim hal ini juga berlaku untuk sektor komersialisasi.

Pemain bertahan adalah tokoh antagonis dalam sepakbola, ia dengan segala upayanya berusaha mencegah agar penyerang tak bisa mencetak gol. Pendeknya, seorang pemain bertahan justru menjadi “penghalang” bagi tercapainya puncak permainan yaitu gol.

Dalam logika yang umum atau yang standar dipakai dalam penulisan skenario film, misalnya, antagonis bisa dirumuskan secara sederhana: sebagai sosok yang menjadi perintang/penghalang tokoh antagonis dalam merealisasikan gol/tujuannya.

Lalu siapa yang lebih disukai penonton? Tokoh yang mendukung gol atau yang menggagalkannya?

Disadari atau tidak, pengelompokan semacam ini juga akrab pada kehidupan manusia secara alamiah. Kita akan lebih menyukai orang-orang yang membantu tujuan kita tercapai, daripada yang menghalanginya.

Proses gol yang digagalkan oleh bek maupun kiper akan membuat penonton semakin penasaran. Tak peduli berapa kali peluang tersebut berhasil digagalkan. Jika gol kemudian terjadi, semua seolah lupa terhadap kejadian sebelumnya, perayaan kemudian dilakukan.

Sebagai permainan tim, kita sebenarnya juga tidak bisa serta merta memberi label atau kasta terendah pada barisan pertahanan. Bukankah masih ada syarat lain sebuah tim dianggap menang dalam sepakbola selain mencetak gol: tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya.

Masalahnya, sekali lagi, sekadar “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga tidak memastikan sebuah kesebelasan akan meraih kemenangan. Secara logika, “tidak kebobolan lebih banyak dari lawan” juga hanya bisa memastikan sebuah kesebelasan akan meraih hasil seri. Misalnya: kesebelasan X hanya kebobolan dua gol, sementara kesebelasan Y juga hanya kebobolan dua gol. Jelas kesebelasan X sudah memenuhi kriteria “tidak kebobolan lebih banyak dari lawannya”, tapi jelas kesebelasan X tidak memenangkan laga, bukan?

Prinsip dasarnya masih sama seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya: kesebelasan yang menang harus mencetak gol lebih banyak dari lawannya. Mencetak gol, sekali lagi, jadi syarat mutlak kemenangan.



Efek Magnet Pesona Penyerang

Pada era kejayaan Barcelona di era Pep Guardiola ada satu peran menarik yang mencuri perhatian: Busquets role. Posisi Sergio Busquets sampai diberi nama panggilan khusus karena perannya yang begitu vital di kesebelasan yang dibelanya, baik timnas Spanyol maupun Barcelona.

Area bermainnya hanya beberapa meter di depan bek, persis seperti seorang gelandang bertahan. Tetapi ia punya peran berbeda yakni sebagai holding midfielder. Ia adalah orang pertama yang menerima bola dari para bek di belakang untuk kemudian mendistribusikan ke depan, Xavi ataupun Iniesta. Busquets adalah poros dalam strategi tiki-taka yang dijalankan Barcelona.

Badannya yang terlihat ringkih juga sepertinya tak cocok sebagai pemain yang bertugas melindungi para bek ketika diserang. Tapi Busquets tetap saja mampu mencuri bola dari lawan dengan gaya khasnya, memakai teknik bukan fisik. Berbagai keistimewaan yang dimilikinya kemudian tak berarti karena bagaimanapun ia berkontribusi, ketika gol tercipta nama dan wajah Lionel Messi tetap yang tampil di layar besar Camp Nou.

Kasus hampir serupa ada di rival Barcelona, Real Madrid. Pada tahun 2003 sang presiden Florentino Perez menjual Claude Makelele demi mendatangkan David Beckham. Alasannya adalah sang bintang Prancis tersebut tak berkontribusi banyak untuk El Real. Hanya mencetak satu gol dalam jangka waktu tiga tahun.

Atas keputusan tersebut Zinedine Zidane memberi komentar: "Kenapa harus menambah lapisan emas pada (mobil) Bentley ketika Anda kehilangan mesinnya?" Benar saja, Real Madrid kemudian mengalami fase buruk sepeninggalan Makelele dengan puasa gelar hingga tiga musim.

Semua pemain pada sebuah kesebelasan memang seolah tersedot pesonanya oleh para penyerang. Bahkan untuk gelar individu ia mendapat kategori istimewa, pencetak gol terbanyak. Sang pemberi umpan (assist) tak semua otoritas liga memberinya sebuah penghargaan. Sedangkan pemain bertahan hanya dapat memperebutkan kategori pemain terbaik, dan yang perlu diingat mereka juga berebut dengan para penyerang untuk mendapatkannya.

Mengambil kiasan soal antagonis dan protagonis dalam film, jika anda tak setuju pemain bertahan dikatakan antagonis, maka bisa anda memasukannya sebagai pemeran pembantu. Dan pemeran pembantu, memang, sangatlah penting. Tak ada keraguan soal arti penting para pemeran pembantu dalam totalitas sebuah alur kisah.


===

* Akun twitter penulis: @mildandaru dari @panditfootball

(mfi/a2s)

Hide Ads