Dari hasil catatan statistik pertandingan, didapat bahwa kesebelasan A melepaskan 300 kali operan sedangkan kesebelasan B hanya 230 kali. Dari seluruh operan tersebut, tim A melepaskan 250 kali operan pendek, berbanding 150 dengan tim B.
Dari hasil catatan tersebut kita mungkin menerka-nerka bahwa kesebelasan A mendominasi pertandingan dengan penguasaan bola tinggi. Jika diasumsikan jumlah operan berbanding lurus dengan penguasaan bola, maka penguasaan bola di antara kedua kesebelasan mungkin antara 60% berbanding 40%.
Menurut anda, tim mana yang bermain lebih baik?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat pemikiran ini terjadi sesat pikir yang mungkin sudah menyebar luas di masyarakat. Mungkin anda pernah mendengar pernyataan seperti ini. “Gue gak suka permainan timnas senior, mainnya jelek. Sedikit-sedikit umpan lambung, sedikit-sedikit umpan lambung. Coba mereka kayak timnas U-19, mainnya umpan-umpan pendek.”
Semudah itukah menyimpulkan permainan buruk? Tidakkah sebuah tim bisa memainkan permainan menarik dengan umpan-umpan panjang?
Saya setuju dengan pendapat bahwa permainan timnas senior kita buruk. Dan timnas U-19 memang bisa dikatakan lebih baik. Namun ini bukan persoalan umpan lambung dan umpan pendek. Timnas senior bisa saja bermain cemerlang dengan mempertahankan gaya umpan-umpan panjang. Timnas U1-9 juga bisa saja bermain buruk walau tetap menggunakan umpan pendek.
Ambil contoh umpan panjang Bambang Pamungkas saat membelah pertahanan Uruguay yang kemudian disambut Boaz Salosa untuk dikonversi menjadi gol pembuka pertandingan antara Indonesia melawan Uruguay di Jakarta pada Oktober 2010. Apakah itu permainan yang buruk? Indonesia memang kalah telak saat itu, tapi satu permainan yang menghasilkan gol tersebut adalah satu permainan yang luar biasa.
Umpan lambung bukanlah satu cara yang keluar akibat tim sudah depresi untuk menemukan cara menembus pertahanan lawan. Umpan lambung yang baik akan muncul dari kesadaran bahwa cara tersebut jadi jalan terbaik untuk memenangkan pertandingan. Mereka kemudian mampu melepaskan umpan yang sangat akurat dan menciptakan peluang untuk kemudian mencetak gol ke gawang lawan.
Ada banyak aspek yang harus dilihat dari permainan sebuah tim untuk menarik kesimpulan apakah permainannya baik atau buruk. Terlalu gampangan jika menakar kinerja permainan sebuah tim hanya dengan menghitung berapa banyak mereka membuat umpan lambung.
Persoalan ini mengemuka kembali setelah manajer West Ham United, Sam Allardyce, mengkritik permainan Manchester United yang menurutnya terlalu bersemangat mengirimkan umpan lambung guna mengejar ketertinggalan. Di laga akhir pekan lalu itu MU memang tertinggal lebih dulu dan mereka baru bisa menyamakan kedudukan di injury time melalui kaki Daley Blind memanfaatkan bola muntah akibat kegagalan Alex Song menyapu bersih bola lambung MU.
Van Gaal menampik ucapan Allardyce. Bagi pria asal Belanda itu, MU tidak mengandalkan umpan panjang, tapi tetap mengandalkan penguasaan bola. Ia tidak menampik bahwa umpan panjang memang banyak digunakan anak asuhnya, tapi....
"Saat Anda memiliki 60% penguasaan bola, apakah Anda pikir itu bisa diraih dengan umpan-umpan panjang? Yeah, umpan panjang, (tapi) ke arah lebar lapangan dan bukannya ke pada striker. Bola yang diumpan pada striker itulah yang disebut bermain dengan umpan panjang," bantah Van Gaal.
Jadi, bagi Van Gaal, umpan panjang itu ketika diarahkan langsung kepada penyerang yang menjadi ujung tombak, dan bukan umpan panjang yang diarahkan ke lebar lapangan menuju para pemain yang berada di sisi sayap. Dan baginya, itu hal yang sudah sangat jelas. "Tidak sulit untuk memahami hal tersebut (beda antara umpan panjang ke penyerang dan ke lebar lapangan)," sambungnya.

Van Gaal sendiri merasa tidak ada yang salah dengan taktiknya. Ketika ia memasukkan Marouane Fellaini, yang tinggi dan punya kemampuan yang baik dalam bola-bola atas, MU juga melanjutkan strategi umpan-umpan panjang. Tambah Van Gaal: "Dengan kualitas yang dipunya Fellaini kami lebih sering mengirim bola langsung ke depan dan kami bisa mencetak gol dari proses itu, jadi saya pikir itu keputusan yang tepat dari manajer."
Dari argumen itu tampak bahwa Van Gaal seorang pragmatis. Ia menekankan bahwa taktiknya berhasil karena dengan bola panjang itulah MU akhirnya berhasil mencetak gol melalui Blind. Melalui perkataan itulah dia tidak sedang mencoba membela diri hanya demi memuaskan dahaga penonton akan permainan satu dua dengan umpan-umpan pendek.
Ya, ini soal pilihan taktik. Dan sebuah taktik dipilih karena kemungkinannya untuk membawa hasil yang lebih baik ketimbang memilih taktik yang lain. Umpan-umpan pendek atau umpan-umpan panjang, bagi Van Gaal, merupakan soal pilihan taktikal saja.
Ronald Koeman, salah seorang "murid" van Gaal yang belakangan dikabarkan punya hubungan kurang manis dengan mentornya itu, juga membela pilihan van Gaal.
"Bola panjang merupakan cara paling gampang dalam menyerang. Terkadang itu juga kami lakukan. Kami memainkan bola panjang untuk diberikan kepada Graziano Pelle. Hanya dengan satu umpan saja (jika menggunakan umpan panjang), kamu bisa langsung mendekati kotak penalti lawan," beber Koeman.
"Bermain bola panjang itu kadangkala jadi pilihan yang baik jika punya pemain seperti Andy Carroll atau Fellaini seperti di United. Karena kadang diperlukan sesuatu yang berbeda agar bisa mencetak gol dengan cara berbeda," tambahnya.
Bola-bola panjang boleh jadi tidak terlalu menarik. Ini soal selera juga. Tapi hampir jelas duduk perkaranya mengapa bola-bola panjang kerap jadi cemooh, khususnya di Indonesia. Soalnya bukan bola panjang atau bola pendek, tapi efektif atau tidak efektif. Yang membuat tim di Indonesia, tidak terkecuali timnas senior, kerap dicemooh jika memainkan bola panjang karena permainan macam itu seringkali tidak membuahkan hasil apa-apa. Paling banter hanya menghasilkan duel udara yang sialnya juga kerap dimenangkan oleh lawan.
Situasinya tentu berbeda jika umpan-umpan panjang itu menghasilkan sesuatu yang mematikan. Katakanlah itu menjadi gol, atau setidaknya menciptakan peluang. Menjadi sama sekali buruk ketika umpan-umpan panjang itu terus menerus dilakukan saat keberhasilannya nyaris nol persen. Maka jadi pertanyaan memang jika tingkat keberhasilannya nol tapi terus menerus dilakukan.
Ada yang salah, tentu saja. Tapi jelas itu bukan salah umpan panjang -- apalagi jika memainkan umpan-umpan pendek pun tak menghasilkan apa-apa dan sama-sama gampang lepas dan direbut oleh lawan.

Ketidakmampuan membangun permainan dengan umpan-umpan pendek akan menjadi bumerang. Jika kualitas umpan buruk, jika rotasi posisi pemain tidak lancar, jika pergerakan pemain statis, umpan-umpan pendek malah bisa menjadi bumerang. Bisa dibayangkan jika terjadi kesalahan umpan di area pertahanan sendiri. Ini akan sangat berbahaya. Setidaknya lebih berbahaya ketimbang kesalahan umpan panjang, karena jika pun bola berpindah penguasaan itu masih terjadi di area pertahanan lawan. Kita, setidaknya, masih punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi pertahanan.
Menjadi menarik (sekaligus polemis) ketika Mustaqim, asisten pelatih timnas U-23, melakukan generalisasi mengenai umpan panjang. "Kami membiasakan mereka bermain sepakbola modern. Bermain bola-bola pendek dari kaki ke kaki. Sekarang sudah tidak jaman bermain long pass. Sudah kuno," seloroh Mustaqim.
Benarkah umpan panjang sudah kuno dan tidak modern?
Jika memang sepakbola yang baik hanya sesederhana memainkan umpan pendek dan sepakbola yang buruk adalah yang memainkan umpan panjang, lalu mengapa ada pemain seperti Steven Gerrard, Paul Scholes, Andrea Pirlo, Xabi Alonso, Michael Carrick dan beberapa pemain lain yang senang melepaskan umpan-umpan panjang?
Apakah mereka pemain yang buruk? Kelebihan dalam membuat umpan-umpan panjang justru membuat pemain-pemain di atas mendapatkan reputasi yang baik.
Deep-lying playmaker, istilah untuk pemain yang bisa mengontrol permainan dan mengatur serangan dari posisi di kedalaman (biasanya di depan barisan pertahanan, merupakan salah satu temuan sepakbola kontemporer. Dan sebagai anak kandung dari evolusi taktik sepakbola yang mutakhir, seorang deep-lying playmaker biasanya justru dilengkapi kemampuan mengirimkan umpan-umpan panjang. Dari posisinya di belakang, mereka bisa merusak pertahanan lawan dengan umpan-umpan panjang yang mengoyak. Dengan cara yang cepat, dan kadang mematikan.

Simaklah laga final Piala Dunia 2014 antara Jerman vs Argentina. Sepanjang 90 menit Jerman membuat 76 kali umpan panjang sementara Argentina 72 kali. Jika dirata-rata, setiap 1,18 menit Jerman membuat umpan panjang, sedangkan Argentina melakukannya setiap 1,25 menit. Dengan total 148 kali, jika diambil rata-rata, hampir setiap menit ada dua umpan panjang yang disajikan kedua kesebelasan. Sekali lagi: hampir setiap menit ada dua umpan panjang. Kuno?
Simak juga di laga semifinal antara Jerman vs Brasil. Jerman membuat 64 umpan panjang (sekitar 1,4 menit sekali Jerman membuat umpan panjang. Sementara Brasil membuat 56 umpan panjang (sekitar 1,6 menit sekali Brasil membuat umpan panjang). Jika ditotal, ada 110 umpan panjang sepanjang 90 menit. Artinya, setiap 0,8 menit ada umpan panjang yang muncul. Kuno?
Atau simaklah final Liga Champions antara Real Madrid vs Atletico Madrid yang berlangsung selama 120 menit. Real Madrid membuat 84 kali umpan panjang atau sekitar 1,4 menit sekali mereka membuat umpan panjang. Sementara Atletico membuat 65 umpan panjang atau sekitar 1,8 menit sekali Atletico membuat panjang. Jika ditotal, setiap 0,8 menit ada umpan panjang yang dilakukan kedua kesebelasan. Kuno?
Untuk diketahui, dari tiga laga di atas, kesebelasan yang memenangkan laga adalah mereka yang membuat umpan panjang lebih banyak. Kuno?
Jika Jerman atau Real Madrid harus disebut sebagai kesebelasan kuno oleh Mustaqim, maka percayalah mereka akan dengan senang hati menjadi kuno karena dengan cara kuno itulah mereka mencatatkan sejarah sebagai juara.
Soalnya, sekali lagi, bukan soal kuno atau tidak. Tapi efektif atau tidak. Dan persoalan efektif atau tidak itu sangat bergantung banyak hal: skill dasar dalam mengumpan, pergerakan tanpa bola pemain yang dituju, juga posisi para pemain bertahan. Dan ini soal intelijensia, soal kecakapan dasar juga soal kecepatan berpikir guna mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
====
* Penulis adalah editor Pandit Football Indonesia, beredar di dunia maya dengan akun @aabimanyuu.
(a2s/din)