Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada Henti

Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada Henti

Sandy Firdaus - Sepakbola
Senin, 22 Mei 2017 17:12 WIB
Skuat AS Monaco (Foto: Reuters / Jean-Paul Pelissier Livepic)
Jakarta - AS Monaco begitu dahsyat musim ini dan dominasi Paris St-Germain pun berhenti. Ganasnya ini serang Monaco jadi alasan mengapa mereka begitu tangguh.

Monaco sukses meraih gelar Ligue 1 musim 2016/2017 dengan selisih poin sebesar delapan dengan PSG di peringkat kedua sekaligus menghentikan dominasi klub ibukota itu. Namun, apa yang ditorehkan oleh Monaco di musim ini lebih dari sekadar gelar belaka.

Selama empat musim ke belakang, PSG memang menjadi kesebelasan yang cukup dominan di Ligue 1. Berisikan pemain-pemain bintang macam Edinson Cavani, Javier Pastore, Thiago Silva, dan Zlatan Ibrahimovic, kesebelasan lain di Ligue 1 tampak sulit untuk menyentuh PSG di puncak. Bahkan Bruno Genesio selaku pelatih Lyon sampai mengatakan bahwa PSG adalah tim yang tidak tersentuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pada musim 2016/2017, semenjak Ibrahmovic pergi dan PSG berganti pelatih, tembok-tembok rapat di sana perlahan mulai runtuh. Jika diibaratkan, ada desakan sebuah ombak yang keras dari arah Laut Mediterania yang mulai menghampiri dan menekan Paris. Desakan dan tekanan dari arah Laut Mediterania tersebut diwakili oleh AS Monaco.

Tim yang sempat jadi "orang kaya baru" sebelum akhirnya berubah haluan dan berinvestasi kepada pemain muda ini, mendapatkan buah dari apa yang sudah mereka tanam sejak 2014 silam bersama Leonardo Jardim.

Mereka meruntuhkan dominasi PSG dengan meraih gelar juara Ligue 1 2016/2017. Bukan hanya itu, mereka juga menorehkan cara yang cukup apik untuk meruntuhkan dominasi PSG tersebut, yaitu dengan sepakbola menyerang bagai ombak yang bergulung tiada henti.

Formasi dan Skema Dasar Monaco

Untuk formasi dasar sendiri, Monaco menggunakan formasi dasar 4-4-2, dengan formasi alternatif 4-2-3-1. Di posisi empat bek, ada nama Benjamin Mendy, Jemerson, Kamil Glik, serta Djibril Sidibé. Di tengah, ada nama Thomas Lemar, Tiemoué Bakayoko, Fabinho, serta Bernardo Silva. Dua slot di depan biasa diisi Radamel Falcao dan Kylian Mbappé (atau kadang Valere Germain).

Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada HentiFoto: Pandit Football Indonesia


Nama-nama di atas adalah nama yang cukup sering masuk starting line-up Monaco musim 2016/2017. Walau sekilas formasi dasar 4-4-2 ini tampak seperti formasi ortodoks yang pernah diterapkan oleh Leicester City ketika menjuarai Liga Inggris musim lalu , Jardim melakukan beberapa modifikasi terhadap formasi dasar 4-4-2 yang ia terapkan.

Sayap-Sayap Monaco yang Begitu Hidup

Kesebelasan berjuluk Les Monégasques ini pada dasarnya menerapkan apa yang lazim diterapkan oleh kesebelasan-kesebelasan yang menggunakan formasi dasar 4-4-2, yaitu memanfaatkan sisi sayap untuk menyerang.

Namun, yang membedakan Monaco dengan kesebelasan-kesebelasan yang biasa menyerang dari sayap adalah Monaco memanfaatkan sayap secara maksimal, bahkan bisa dikatakan mungkin sampai titik yang paling banal. Ketika menyerang, dua full-back Monaco, yaitu Sidibé dan Mendy, akan maju sampai daerah pertahanan lawan.

Bahkan saking ofensifnya, keduanya bahkan tidak disebut sebagai full-back, melainkan sebagai wide defender karena saking seringnya mereka bergerak di sayap dan kerap masuk ke lini tengah.

Sedangkan dua gelandang sayap mereka, yaitu Silva dan Lemar, punya beberapa pilihan yang bisa mereka lakukan, yaitu melepas umpan silang atau masuk melakukan cut inside ke dalam kotak penalti, berkolaborasi dengan dua penyerang di depan untuk membuat ruang kosong di wilayah pertahanan lawan.

Jika diposisikan, ketika menyerang, Monaco tidak lagi berada di dalam bentuk 4-4-2, melainkan 2-4-4. Kedua bek tengah mereka, Glik dan Jemerson, juga acap menerapkan garis pertahanan yang tinggi, dengan tujuan untuk menekan lawan dan merebut bola setinggi mungkin sehingga serangan Monaco tetap bisa mengalir.

Hidupnya sayap-sayap Monaco ini juga ditunjang oleh kemampuan dua gelandang tengah dan dua penyerang mereka. Memerankan peran box-to-box, ada nama Bakayoko. Ia menjadi gelandang yang cukup rajin membantu penyerangan dan pertahanan. Sementara itu Fabinho, jika dalam posisi menyerang, ia menjadi distributor bola dan penyambung antara lini belakang dan lini depan.

Sementara itu, dua pemain di depan (biasanya berbeda tipikal) akan berbagi peran untuk membingungkan pertahanan lawan. Falcao memerankan sesuatu yang sudah biasa ia lakukan, yaitu menjadi poacher dan target man. Sementara itu, Mbappé atau Germain menjadi faktor kejut dari posisi second striker.

Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada HentiFoto: Pandit Football Indonesia


Formasi Monaco ketika menyerang. Dari 4-4-2 tampak menjadi 2-4-4.
Gambar: sharemytactics.com

Dengan penyerangan yang begini agresifnya, tak heran Monaco sampai mencatatkan rataan 14,6 kali tendangan per pertandingan (salah satu yang tertinggi di antara kesebelasan-kesebelasan lain di lima liga top Eropa), dan rataan gol 2,8 per pertandingan. Dengan serangan macam inilah, Monaco menguasai Ligue 1 musim ini.

Tapi dengan penyerangan yang kelewat agresif dan sayap yang begti hidup seperti ini, bagaimana dengan pertahanan mereka?

Peran Fabinho dan Bakayoko dalam membantu Dua Bek Monaco Walau tekanan yang dihadirkan oleh kesebelasan berjuluk Les Rouges et Blancs ini cukup besar, hasil pengejawantahan dari menyerang adalah pertahanan terbaik, ada celah-celah di lini pertahanan yang bisa dimanfaatkan oleh lawan.

Celah paling besar ada di dua sisi mereka yang kerap ditinggalkan oleh dua wide defender mereka, Mendy dan Sidibe yang begitu aktif dalam menyerang.

Sudah terbayang jika dua full-back Monaco terlambat turun dan lawan memiliki serangan balik yang cepat ditopang oleh winger dengan kecepatan dan kemampuan dribel yang baik? Monaco akan menjadi bulan-bulanan dan bukan tidak mungkin kalah dengan skor yang mencolok.

Ketika bertahan inilah, peran dari Fabinho lebih terlihat. Jika ketika menyerang ia hanya menjadi distributor bola, ketika bertahan ia kerap mundur ke posisi sayap kanan, mengisi ruang yang ditinggalkan oleh Sidibe jika ia telat turun setelah membantu penyerangan. Jika Sidibé berhasil kembali usai menyerang, Fabinho akan bergerak ke tengah.

Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada HentiFoto: Pandit Football Indonesia


Selain peran dari Fabinho, peran dari Bakayoko sebagai gelandang box-to-box pun terlihat ketika ia bertahan. Jika Fabinho masuk mengisi posisi yang ditinggalkan Sidibé, Bakayoko menjadi penyaring pertama serangan lawan sebelum memasuki area pertahanan sendiri.

Jika dipadukan, Bakayoko dan Fabinho memiliki total aksi bertahan yang cukup banyak (5,3 tekel per pertandingan serta 3,2 intersep per pertandingan). Kedua pemain ini, bersama dengan dua bek tengah Monaco, akan membantuk sebuah segi empat di wilayah tengah, yang satu sama lain akan saling menutupi ketika Monaco diserang oleh lawan.

Serangan Monaco bak Ombak yang Bergulung Tiada HentiFoto: Pandit Football Indonesia


Anti-Tesis Strategi Monaco

Meski memang tampak seperti sebuah strategi yang cukup baik, ternyata Monaco pun pernah mengalami kesulitan menembus pertahanan lawan, yaitu ketika babak semi-final Liga Champions melawan Juventus. Menghadapi kesebelasan yang lebih berpengalaman dan juga baik dari sisi pertahanan, Monaco akhirnya kalah menghadapi Juventus yang juga mampu bertahan secara unit.

Bukan hanya mampu bertahan secara unit, Juve mampu menghentikan langkah Monaco karena mereka juga memiliki full-back yang tidak kalah agresif dalam diri Daniel Alves, penyerang yang klinis dalam diri Gonzalo Higuain, serta Paulo Dybala yang dapat mendistribusikan bola dengan baik dan memanfaatkan ruang kosong di pertahanan dengan baik.
Kombinasi ketiganya menghadirkan mimpi buruk tersendiri bagi Monaco, sekaligus pelajaran berharga bagi skuat Monaco yang terhitung masih hijau.

***

Walau memang bisa disebut jika Monaco adalah kesebelasan yang paling menyerang di Eropa saat ini, bukan berarti mereka menyerang secara asal. Jardim sudah memberikan peran tersendiri kepada setiap pemain, dan pada musim 2016/2017 ini, mereka menjalankan peran tersebut dengan baik dan bermain sebagai satu unit.

Dengan sekumpulan anak-anak muda dengan talenta luar biasa, Jardim berhasil menciptakan sebuah kesebelasan yang begitu kuat, fleksibel, sekaligus banal. Walau pada akhirnya menemukan anti-tesisnya ketika menghadapi Juventus, setidaknya Monaco sudah mencatatkan sebuah torehan manis sebagai salah satu tim yang atraktif dalam kompetisi Eropa musim 2016/2017.

Musim 2016/2017, dalam artian yang lain, akan juga dikenang sebagai musimnya ombak bergulung tiada henti. Ombak yang berasal dari Laut Mediterania di dekat Stade Louis II, kandang mereka, yang diwujudkan dalam bentuk sebuah kesebelasan bernama AS Monaco.


(mrp/krs)

Hide Ads