Turun Minum

Turun Minum

- Sepakbola
Selasa, 24 Feb 2015 11:38 WIB
Foto-foto: Getty Images
Jakarta -

Menulis sepakbola dengan rutin serta berkala, bagi saya, rasanya seperti perjalanan menyusuri satu turun minum menuju turun minum berikutnya.

Semua mafhum, kata turun kira-kira merujuk arti bergerak ke (arah) bawah. Ada beberapa makna lain dari kata turun, seperti: berkurang (contoh kalimat: “keuntungan tahun ini turun”), melemah (contoh kalimat: “kondisi kesehatannya turun drastis”), atau mengendap (contoh kalimat: “lumpur di permukaan kolam sudah turun”).

Dengan variasi makna turun yang lain itu, jangan heran jika ada frase-frase yang juga menggunakan kata turun. Misalnya: turun gunung, turun tangan, turun mesin, turun berok, sampai istilah-istilah khas di daerah tertentu macam turun ranjang (kawin dengan saudara atau anak almarhum istri) atau turun tanah (upacara di mana anak/balita menginjakkan kaki ke tanah).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Turun minum kira-kira sejenis dengan frase-frase ini. Sebenarnya, padanan dari turun minum adalah water break, jeda 1-2 menit di tengah pertandingan, biasanya di pertengahan babak I (sekitar menit 20-25) dan babak II (antara menit 65-75), guna memberi kesempatan pada semua pemain dari kedua kesebelasan untuk minum air.

Entah bagaimana ceritanya turun minum lantas terbakukan menjadi jeda 10-15 menit di antara babak I dan II. Mungkin karena aktivitas yang dilakukan kurang lebih sama: turun atau meninggalkan lapangan untuk minum. Kamus resmi bahasa Indonesia sendiri memang mengartikan turun minum sebagai beristirahat untuk minum, kendati tak jelas beristirahat di tengah babak 1 dan babak 2 (alias water break) atau beristirahat di antara babak 1 dan babak 2 (half time).

Turun minum agaknya bisa juga dipahami walau sedang menggunakan kata turun dalam maknanya mengendap, berkurang atau melemah. Untuk variasi makna ini, turun minum bisa berarti cadangan air sudah mengendap, berkurang atau melemah. Jika variasi ini yang digunakan, maka turun minum bisa dipahami sebagaimana kata dehidrasi alias kekurangan atau kehabisan cairan dalam tubuh. Konsekuensi linguistiknya kemudian: turun minum tidak merujuk istirahat untuk minum, melainkan kondisi fisik yang mengalami dehidrasi.

Titik temunya mungkin di sini: karena dehidrasi, maka pemain perlu beristirahat untuk mengisi tubuhnya yang letih dengan asupan cairan.

Sebagai penulis sepakbola yang mengenal tayangan sepakbola melalui TVRI dan RRI, saya sangat akrab dengan frase-frase yang hingga hari ini pun rasanya tetap terdengar syadap. Turun minum hanya salah satu dari deretan berbagai frase syadap lainnya, semisal ujung tombak, poros halang, gelandang gantung, atau umpan tarik. Jangan lupakan juga kata kesebelasan, yang semakin langka digunakan, padahal begitu tepat merujuk sepakbola ketimbang kata klub atau tim yang bisa dengan mudah dipakai untuk bola basket, bola voli, hoki bahkan tempat dugem dan ajojing.

Frase turun minum sendiri kadang masih digunakan oleh beberapa penulis, pemandu siaran di TV maupun radion hingga komentator – hampir pasti masih lebih sering dipakai ketimbang kesebelasan.

Tiap kali frase itu muncul, saya kadang bisa merasakan sensasi ketenangan, juga aroma kedamaian. Frase turun minum, jika digunakan tepat pada waktunya, seringkali berhasil mengingatkan para penonton yang bermenit-menit lamanya dilamun ketegangan untuk menurunkan tensi dan mengendorkan syaraf untuk kemudian berdiri dari kursi, pergi ke toilet, atau bahkan memasak mie instan hingga menjerang air untuk membuat secangkir kopi.

Frase turun minum, per definisi, berarti sebuah interupsi, suatu jeda, atau la pausa -- sebagaimana anda memahami kelakuan Juan Roman Riquelme atau Ricardo Bochini saat mengendalikan permainan.

Dan selama periode singkat antara 10-15 menit itulah orang yang terkait dengan pertandingan (entah itu penonton di depan TV, suporter di tribun, pemain di atas rumput hingga pelatih di bench) menghentikan aktivitasnya dan kemudian memasuki aktivitas lain yang jika disederhanakan bisa disebut sebagai: mengambil jarak, detachment.

Sepakbola tidak enyah selama turun minum, tapi sepakbola hadir dalam ujudnya yang berbeda: sebagai wacana, sebentuk narasi, semacam teks.

Para penonton, di tribun atau di sofa, sembari melakukan hal-hal lainnya, bisa berbicara dengan temannya tentang penyerang yang malas bergerak, gelandang yang selalu salah umpan, kiper yang selalu buruk memotong umpan silang atau menggoblok-goblokkan wasit. Bagi pemain, “turun minum” tentu saja benar-benar menjadi waktu istirahat, sembari saling berdiskusi dengan rekan-rekannya, tentang kesalahan umpan yang tak perlu terjadi atau perihal perlunya kiper berteriak lebih keras jika lawan mendapatkan tendangan bebas.



Pelatih barangkali yang justru sangat sibuk di fase turun minum. Lima menit pertama mungkin dihabiskan seorang pelatih untuk berdiskusi dengan asistennya sembari membiarkan anak asuhnya mengelap peluh dan menyesap jeruk. Lima menit berikutnya, pelatih akan berbicara panjang lebar, sebagian di antaranya mengevaluasi kinerja di babak pertama (mirip dengan penonton yang sibuk berkomentar). Sisanya digunakan untuk memberi instruksi yang harus dijalankan di babak kedua dan diakhiri dengan sepotong dua potong kalimat motivasi yang syahdu merayu atau menggelegar penaka halilintar.

Di momen-momen seperti itulah, di fase turun minum itu, sepakbola hadir sebagai wacana, narasi atau teks. Dan, tentu saja, sebuah teks baru muncul ketika ia dibaca. Jika tak ada praktik pembacaan, sesungguhnya tidak ada teks. Selembar kertas yang ditulisi beberapa bait sajaknya Rilke, misalnya, tak lebih dari sebuah benda biasa sebagaimana ember, sepatu, teko, kondom atau tali kutang. Ketika lembar kertas itu dibaca, barulah ia menjadi sebuah teks.

Sepakbola sebagai teks hanya mungkin terjadi bukan hanya ketika sepakbola dibaca, tapi juga mensyaratkan adanya sebentang jarak. Sebelumnya saya sudah menyebut soal “mengambil jarak”, detachment. Sebab sepakbola sebenarnya bisa saja diperlakukan sebagai sebuah teks bahkan ketika pertandingan sedang berlangsung, tapi itu adalah teks yang belum jadi. Ia baru menjadi kalimat atau paragraf yang itu pun belum tuntas. Ia mesti selesai dulu, setidaknya selama 45 menit pertama, agar bisa menjelma menjadi kalimat atau paragraf yang utuh.

Bayangkanlah anda duduk di sebelah Slauerhoff yang sedang menulis sebuah sajak yang kelak ia beri judul “Akreyri”. Anda melihat Slauerhoff menuliskan baris pembuka: “Di Arkeyri tidur aku/ dekat air terjun gemuruh menderu”. Tentu saja anda bisa langsung berkomentar saat itu juga. Tapi komentar anda boleh jadi akan berbeda setelah membaca sajak itu selesai ditulis, apalagi setelah anda membaca baris berbunyi “Rumput lebih tinggi antara kaki/ Dan kapalku tak ada lagi” dan baris penutup yang berbunyi: “Cerah dan gagah aku pun dilahirkan/ Di tengah ketenangan lembah kepundan”.

Karena itulah memahami sepakbola sebagai sebuah teks kadang membutuhkan pengambilan jarak.

Saya senang menggunakan tamsil ini: di tengah belantara, seseorang hanya akan melihat belukar, ilalang dan beberapa pepohonan besar. Apakah itu hutan? Seseorang mesti mengambil jarak, mungkin dari ketinggian tertentu, untuk memastikan totalitas atau penjumlahan seluruh belukar, ilalang dan pepohonan itu sebagai hutan belantara.

Apalagi ketika praktik pembacaan itu ditindaklanjuti dengan praktik penulisan. Pada dasarnya, praktik penulisan juga membutuhkan jarak. Bukan untuk mendapatkan obyektivitas, karena obyektivitas sering tak berurusan dengan jarak, melainkan kejernihan berpikir. Menulis membutuhkan jarak dengan obyek yang ditulis, bahkan walau pun sedang menulis diri sendiri sekali pun, karena obyek harus ditangkap dulu dengan pikiran baru kemudian dituliskan. Proses menangkap sendiri bisa berlangsung dalam hitungan detik, menit, jam bahkan bertahun-tahun.

Dari jarak yang diambil itulah, kemudian, praktik penulisan dimulai. Saat praktik penulisan itu dimulai, jarak itu tadi pelan-pelan bisa memuih dengan sendirinya. Di puncak ekstase praktik penulisan, Dewi Lestari pernah bilang “menulis itu seperti para darwis yang menari sampai trance”, kadang tidak ada lagi jarak. Subyek yang sedang menulis bisa merasakan intimitas tertentu nan intens dengan obyek yang ditulisnya.

Inilah proses yang mengambarkan ketika seorang penulis turun (lihat lagi arti turun seperti yang sudah saya sebut di awal) dari “singgasana” kepengarangannya guna kembali bersidekap dengan obyek yang ditulisnya, untuk menyesap lagi obyek yang sebelumnya sudah ditangkap dengan pikirannya, mencium lagi semerbak baunya, dan mereguk kembali seberapa basahnya kenyataan yang hendak ia tuliskan, untuk kemudian mengendapkannya ke dalam teks yang sedang ia pintal (ingat, salah satu arti kata turun ialah mengendap).

Menulis sepakbola, apalagi jika dilakukan secara berkala dan rutin, adalah pengulangan terus menerus dari kompleksitas urutan peristiwa di atas. Dari satu turun minum menuju turun minum berikutnya. Dari mereguk air inti sari permainan (minum) dan kemudian mengendapkannya (turun), lalu menuliskannya. Terus dan terus begitu.

Itulah mengapa frase turun minum saya gunakan sebagai nama kolom untuk tulisan-tulisan saya di kanal About the Game ini. Selain, tentu saja, karena saya memang menyukai frase-frase yang datang dari masa kecil yang jauh. Mungkin benar jika turun minum menguarkan bebauan yang arkaik alias kuno, namun dengan itulah justru rasanya jadi syadap. Ada cita rasa yang tajam, melankolia yang kadang terasa biru, juga nostalgia yang tak hendak saya sangkal.

Semoga anda sudi menjadi kawan minum di sepanjang perjalanan saya dari satu turun minum menuju turun minum berikutnya. Saling bersulang sembari menunggu jeda, la pausa, yang niscaya akan tiba.

Cheers!



===

* Salah satu pendiri, sekaligus editor kepala, www.panditfootball.com. Bisa dihubungi lewat akun twitter: @zenrs

(a2s/roz)

Hide Ads