Jika di zaman kuno stadion bisa mempertemukan olahraga dan kesenian atau atlet dan artis, maka perjumpaan dua dunia itu juga dimungkinkan di zaman kini melalui apa yang disebut "sportainment". Tempat perjumpaannya pun tak berubah: stadion.
Dengan pertimbangan yang sepenuhnya ekonomis, FIFA mensyaratkan pembangunan stadion harus bisa diakses untuk kegiatan-kegiatan non-olahraga. Syarat-syarat itu tercantum dalam dokumen βFootball Stadiums: Technical recommendations and requirementsβ.
Semua persyaratan FIFA terkait, misalnya, akses terhadap stadion, dibangun dengan asumsi bahwa stadion memang harus mudah diakses oleh siapapun agar bisa terus hidup bahkan walau tak ada pertandingan sepakbola. Tak terkecuali untuk menjadi pusat bisnis, kompleks perkantoran hingga agenda pertunjukan (konser musik, teater, dll). Biaya pembangunan dan perawatan stadion kelewat mahal untuk ditutupi oleh kegiatan sepakbola yang berlangsung (paling banter) dua laga dalam sepekan, bahkan bisa hanya dua laga dalam sebulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen resmi FIFA itu bukan hal baru dan mengejutkan. FIFA hanya menghidupkan kembali puing-puing reruntuhan stadion-stadion di Yunani atau Romawi Kuno dalam baris-baris kalimat yang sepenuhnya modern.
Peradaban Yunani maju dan berkembang bukan hanya karena punya fondasi yang kokoh dalam bentuk sistem kepercayaan dan roda kehidupan ekonomi yang terus berputar, tapi juga karena punya jalan keluar untuk menyeimbangkan yang-duniawi dan yang-sakral dalam bentuk leisure, kesenangan, dan rekreasi dalam bentuk pertunjukan-pertunjukan yang semarak dan bermutu tinggi.
Pertunjukan itu bisa pentas teater dan pembacaan puisi-puisi epik, bisa juga kegiatan-kegiatan olahraga. Atlet dan artis (seniman) sama-sama menempati posisi yang penting dan terhormat. Keduanya punya tempat masing-masing, dan keduanya bisa berjumpa dalam satu peristiwa besar yang dinamakan Olimpiade.
Pada upacara besar itulah antara yang kokoh dalam urat dan otot (atlet) bersanding dengan mereka yang kokoh dalam pikiran dan kata-kata (seniman). Para penyair, orator dan dramawan yang mengenakan pakaian lengkap nan megah sama-sama dielukannya dengan para atlet yang hanya mengenakan cawat dengan sekujur badannya dilumuri oleh minyak zaitun.
Olimpiade modern, yang mulai digelar pada 1896 atas inisiatif Baron de Coubertin, beberapa kali mencoba merawat tradisi kawin-silang antara olahraga dan seni itu. Coubertin seorang terpelajar yang memahami watak arkaik dari Olimpiade dan selamanya ia berhasrat Olimpiade modern juga merawat spirit Olimpiade kuno itu.
Pada Olimpiade 1912 Coubertin berhasil merealisasikan hasratnya. Olimpiade yang digelar di Stcokholm itu digelar penuh gaya, diselimuti oleh padu-padan yang indah antara olahraga dan kesenian. Berbagai karya seni dari berbagai genre, dari kesustraan, seni rupa dan arsitektur, disandingkan bersama nomor-nomor cabang olahraga. Karya-karya seni yang ditampilkan itu seluruhnya merupakan karya-karya yang mengambil tema/inspirasi dari olahraga.
Tak hanya dipamerkan dan dipertunjukkan, karya-karya seni itu juga dilombakan -- persis seperti yang terjadi dalam kebudayaan Yunani Kuno. Para penulis yang ikut bertanding juga menerima medali emas, perak dan perunggu sebagaimana para atlet. Pada Olimpiade 1928, 1936 dan 1948, perlombaan kesusastraan diperluas dengan memasukkan kontes puisi lirik dan puisi epik sebagai cabang kesusastraan yang dilombakan secara khusus.

Setelah itu Olimpiade modern kemudian menjauh dari kesenian. Paling banter adalah pertunjukkan di acara pembukaan dan penutupan yang masih merawat tradisi mementaskan koreografi tari dan seni musik yang dihadirkan dengan mementaskan bintang-bintang dalam industri musik pop. Salah satu yang masih saya ingat, tentu saja, bagaimana panitia Olimpiade Beijing meminta Zhang Yimou, sineas kenamaan, membuat pertunjukkan kolosal di acara pembukaan dan penutupan yang menggabungkan musik, teater, tari dan seni rupa.
Pada gelaran olimpide terakhir yang berlangsung di London, sebuah inisiatif dilakukan oleh para penulis untuk menghidupkan kembali interaksi antara olahraga dan seni kesusastraan yang sudah lama diabaikan. Para penyair dari berbagai negara berkumpul di London dan membacakan sajak-sajak dalam 50 bahasa. 100 ribu kopi dari koleksi sajak-sajak itu dijatuhkan dari helikopter ke lokasi pertunjukkan yang berada di tepi Sungai Thames. Sementara radio BBC merilis program "The Written World" yang membacakan sajak-sajak yang berasal dari 204 negara yang bertanding di Olimpiade London.

Sesungguhnya, kesenian tak pernah benar-benar diasingkan dari olahraga, termasuk dalam sepakbola. Pengasingan seni dari olahraga, khususnya sepakbola, itu mustahil dilakukan karena (1) sepakbola bagi para penggemarnya yang intens juga mengandung elemen-elemen keindahan dan (2) elemen-elemen seni juga mustahil diasingkan dari sepakbola.
Untuk aspek pertama, sangat biasa kita menjumpai bagaimana sepakbola disebut sebagai "a beautiful game". Dalam nalar "a beautiful game" itulah kadang aksi-aksi memukau pemain di lapangan kerap disepadankan dengan keindahan-keindahan yang dihasilkan para seniman. Sebagaimana Eric Cantona, misalnya, yang menganggap umpan Pele kepada Carlos Alberto Pereira di final Piala Dunia 1970 sama indahnya dengan sajak-sajak karya penyair Prancis, Rimbaud.
Untuk aspek kedua, bagaimana menjauhkan suporter dari seni ketika nyanyian dan mozaik sudah menjadi bagian inheren dari pertandingan sepakbola? Bukankah chant para suporter yang menggemuruh itu sebentuk terjemahan "brutal" ala suporter terhadap koor indah sebuah paduan suara yang terlatih? Tidakkah mozaik yang ditampilkan di Signal Iduna Park yang kerap mengejutkan itu sebagai versi lain dari lukisan-lukisan yang terpahat di dinding-dinding kuil pemujaan?
Stadion, sekali lagi, merupakan tempat yang lumrah menjadi tuan rumah bagi perjumpaan antara olahraga dan seni. Sejak dulu sudah begitu. Sejak dibangunnya Hipodrome (untuk atletik, balap kuda dan sirkus di kota kuno Olympia), amphiteater (yang di era Romawi digunakan untuk gulat, gladiator, eksekusi dan teater itu sendiri β amphitheaterum artinya "theater all around") hingga Goodison Park.
Ketika Goodison Park, salah satu stadion tertua yang dibangun secara spesifik untuk kegiatan sepakbola, resmi dibuka pada 24 Agustus 1892, event pertama yang digelar justru perlombaan atletik yang dilanjutkan dengan pertunjukkan musik dan kembang api. Pertandingan sepakbola pertama di Goodison Park, yang menghasilkan skor 2-2 antara tuan rumah Everton dan Nottingham Forest, baru digelar sebulan kemudian, 3 September 1892.
Jika stadion-stadion masih banyak yang dibangun dengan lintasan lari, itulah sebenarnya salah satu kesinambungan peradaban kuno dan peradaban modern di dunia olahraga. Walau pun, akhirnya, menyusul pembangunan Goodison Park, kian banyak stadion-stadion yang dibangun dengan niat awal sebagai lokasi gelaran sepakbola. Perpisahan antara atletik dan sepakbola di mulai dari situ, kendati di Indonesia masih sangat biasa stadion dibangun lengkap dengan lintasan lari.
Jika perpisahan antara sepakbola dan atletik di stadion sudah berlangsung lama, tidak demikian dengan sepakbola dan kesenian -- termasuk seni musik. Hingga hari ini, tak terkecuali Gelora Bung Karno, stadion masih menjadi tempat favorit digelarnya konser-konser musik. Untuk konser yang menghadirkan puluhan ribu penggemar, dari One Direction hingga Metallica, para promotor biasanya memilih stadion dan bukan gedung pertunjukkan yang tertutup.
Dan itu diakomodasi oleh FIFA dengan merilis, seperti yang sudah disebutkan di awal, dokumen yang berjudul βFootball Stadiums: Technical recommendations and requirements".
Masalahnya, seperti yang tampak dari polemik antara "anak bola" dan "anak boyband" dalam soal jadwal konser One Direction dan jadwal laga timnas U-23, Indonesia selalu saja terlambat dalam beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Gedung pertunjukan berskala besar tidak ada, sementara rumput di stadion juga belum ada yang bisa diangkat-dipindahkan sebagaimana di Wembley, misalnya.

Desakan untuk menomorsatukan sepakbola, dalam hal ini timnas U-23, menjadi lebih bisa diterima jika menyodorkan argumentasi bahwa sepakbola (terutama karena membawa nama Indonesia) semestinya lebih diprioritaskan ketimbang konser musik. Tapi desakan itu menjadi kurang bernalar ketika membawa-bawa aspek machoisme nan seksis (sepakbola dan para pemainnya yang jantan lebih penting dari boyband dan penggemarnya yang alay nan bencong). Sama tak bernalarnya ketika desakan itu dibangun dari argumentasi yang menganggap sepakbola lebih penting dari kesenian, dalam hal ini seni musik.
Tentu saja penyair Sophocles yang mementaskan lakon Antigone di stadia atau amphiteater Yunani Kuno lebih bermutu dibanding, misalnya, atau setidaknya dalam selera saya, ketimbang One Direction. Sehingga benarlah jika ada yang berargumen bahwa sebuah kesalahan mendasar jika membandingkan konser One Direction di GBK dengan penyair Pindar yang memenangkan perlombaan puisi epik di Olimpiade Kuno yang digelar pada tahun 476 Sebelum Masehi (SM) lewat sajak berjudul "Olympic Ode 1". Amat tidak adil menyandingkan Sophocles dan Pindar dengan One Direction, misalnya.
Tapi membandingkan sepakbola dan para pemainnya dengan olahraga dan para atletnya di era Yunani Kuno bisa juga menjadi hal menggelikan.
Jika Astylos dari Croton, pemenang lari dalam tiga Olimpiade Kuno secara berturut-turut (488 SM, 484 SM dan 480 SM), disodori foto yang memperlihatkan gaya rambut Neymar dan personil boyband Korea, jangan heran jika ia tak menemukan bedanya. Sama-sama aneh, sama-sama menggelikan, dan (mungkin) sama-sama alay.
Bagaimana membandingkan antara Pheidipiddes, orang yang sekuat tenaga luar biasa gigih berlari dari Kota Marathon menuju Athena untuk mengabarkan kekalahan pasukan Persia, dengan para pemain sepakbola kontemporer yang sedikit-sedikit menjatuhkan diri untuk mendapatkan penalti?
Musik dan olahraga, khususnya personil boyband dan para pemain sepakbola, sama-sama aneh dan janggal jika dilihat dari perspektif Olimpiade Kuno. Keduanya, boleh jadi, sama-sama akan dianggap tak mencerminkan semangat olimpiade yang sejati baik oleh seniman hebat seperti Pinder maupun atlet hebat seperti Astylos. Mereka mungkin tertawa jika mendengar istilah "laki-laki sejati" dibawa-bawa dalam debat antara "anak bola" dan "anak boyband".
Beberapa celaan "anak boyband" terhadap sepakbola Indonesia, tentu saja, menjengkelkan dan berlebihan. Tapi celaan "anak bola" terhadap "anak boyband", seperti salah satu cuitan di twitter yang berbunyi "lelaki sejati itu main bola penuh keringat, bukan menari penuh bedak", juga sama-sama berlebihannya.
Buat apa tidak pakai bedak tapi merengek-rengek minta penalti? Untuk apa sembilan lelaki berbadan kekar dan tidak pakai bedak tapi kelakuan seperti, dengan merujuk perkataan Ibrahimovic, "bayi-bayi yang merengek". Apakah Ibra anak "anak boyband"?


Inilah yang membuat sepakbola, sesungguhnya, sering menerima penghinaan dari para penggemar, misalnya, rugby atau american football sebagai permainan cengeng. Inilah yang membuat Nigel Owens, seorang wasit rugby, yang saking kesalnya dengan para pemain rugby yang memprotes keputusannya pernah mengatakan: "Hei, ini rugby, bukan sepakbola!" [Baca artikel ini: Dasar Pemain Bola, Hobi Betul Merubungi Wasit!]
Kata-kata Owens itu, jika diterjemahkan dalam cita rasa Indonesia dan/atau jika diterjemahkan dalam konteks debat antara "anak bola" dengan "anak boyband" baru-baru ini, bisalah dibahasakan menjadi "sepakbola itu permainan para alay".
Sebab kepura-puraan di lapangan hijau, yang kian menyebalkan dan berlebihan, sesungguhnya sama saja dengan bedak: kepura-kepuraan yang menutup-nutupi apa yang sejati dan sebenarnya.
(Sejenis) bedak inilah yang sedang menyelimuti sepakbola: tidak bisa bayar gaji tapi dibedaki dengan pernyataan sudah melunasi gaji; tidak becus melakukan verifikasi tapi dibedaki dengan verifikasi yang penuh kepura-puraan; membedaki dirinya sebagai profesional tapi bahkan NPWP saja tidak punya.
Inilah sepakbola yang penuh gincu dan sarat bedak. Sepakbola boyband β demikian jika menggunakan nalar βanak bolaβ yang kemarin bertengkar itu.
===
* Salah satu pendiri, sekaligus editor kepala, www.panditfootball.com. Bisa dihubungi lewat akun twitter: @zenrs
(mfi/a2s)











































