Kolom
Majnun Cinta Laila
Rabu, 14 Jun 2006 15:15 WIB

Jakarta - Naga-naganya, matahari Asia hanya akan menyinari Korea Selatan. Arab Saudi yang bakal melawan Tunisia nanti malam, Rabu (14/6/2006), diramal kalah di tangan sesama negara Islam dari Afrika Utara ini. Ada banyak doa yang tak berharap Arab menang. Sebab jika Arab menang, maka ini menyerupai langkah Qais bin Mu'adz bin Syamah bin Nasir yang dikenal sebagai Majnun. Benarkah begitu? Hampir tak ada yang tak pernah mendengar kisah Laila dan Majnun. Roman itu sangat liris, romantis, sekaligus transenden. Cinta dua sejoli dari bani yang berbeda dan terlibat asmara yang menggelora itu, membuahkan kesadaran seorang manusia untuk bersimpuh pada Khaliknya. Laila yang jelita hanya sebagai antara, untuk menuju Sang Pencipta. Cerita yang telah mengurat-akar itu dimulai dari komunitas kabilah-kabilah. Tenda tenda berdiri di padang pasir, menyerupai bukit-bukit kerdil yang dibentuk angin gurun. Saat itulah Qais yang belum majnun (gila), melihat Laila di gerai tenda. Keduanya terpanah asmara pada pandangan pertama. Hari berikutnya, ketika gelap membayang, dan yang hidup dalam tenda tinggal bayang-bayang, Qais yang kasmaran dirasuki kerinduan. Tak tahan memendam gejolak jiwa, dari bibirnya mengalir untaian kalimat pujaan, sebagai lantunan cinta yang mendalam. Ketika cinta yang menggelora itu mendapat hambatan keluarga Laila, maka Qais jadi tergila-gila. Ia mengakrabi malam, mengolah desisan angin gurun sebagai musik, untuk mengiringi nada-nada indah yang terus meluncur dari mulutnya yang tak mau istirah. Cinta yang dahsyat itu, syair yang melankolis itu, telah menguras airmata dan mengiris-iris kalbu para penghuni kabilah. Mereka tersentuh rintihan hati Qais, dan terbangkitkan oleh kedalaman cinta laki-laki yang mulai lupa daratan itu. Dan saat Qais kabur dari kabilah menuju 'bukit penyadaran', semua orang akhirnya merasa kehilangan dan kesepian. Malam hari menjadi benar-benar sepi. Sebab rintihan hati Qais yang telah berubah menjadi musik pengantar tidur itu sudah tidak ada lagi. Sedang Qais dalam kesendirian kian terkubur cinta. Bukan lagi cinta pada kecantikan Laila, tetapi sudah jauh melampaui batas-batas cinta manusia biasa. Majnun telah keluar dari fitrah manusia normal. Ia memasuki dunia spiritualitas yang indah. Mahabbah! Cinta pada Allah. Arab Saudi adalah gambaran Laila yang dicinta. Fungsinya sebagai pengantar untuk memasuki cinta yang lebih dalam seperti cinta Majnun. Itu pula yang menjadi alasan, mengapa banyak yang memprediksi Arab bakal dikalahkan Tunisia, negeri tetangga Libya dan Aljazair itu. Tunisia, dalam konsteks kisah Laila-Majnun laksana padanan dari Majnun. Lelaki yang merindu. Itu cukup masuk akal. Sebab secara historis negeri yang menjadi bagian dari kota kuno Carthago itu lebih kenyang makan asam garam dalam soal sepak-menyepak si kulit bundar dan peradabannya. Paling gampang dibandingkan, Tunisia pertama kali lolos ke putaran final Piala Dunia pada 1978, sedangkan Arab baru sejak 1994.Dari abad ke abad kota ini juga berkembang pesat dalam soal itu, dan dari satu waktu ke waktu berikutnya berdatangan para penjajah yang tertarik dengan gairah pertumbuhan serta potensi Tunisia, 'negeri Arab' di Tanah Afrika Utara itu.Namun benarkah negeri yang berbahasa Arab ini bakal mampu menjegal Arab Saudi, satu dari empat kesebelasan wakil dari Asia ini? Rasanya memang begitu. Tapi sebagai catatan, kalah atau menang, Tunisia tetaplah menjadikan Arab sebagai Laila yang wajib dicinta; Laila yang selalu menumbuhkan cinta dan kegairahan setiap manusia untuk sujud dan sowan dating Gusti Allah ! Amin. ==*) Penulis adalah pemerhati masalah budaya, tinggal di Jakarta. Foto: Tim Arab Saudi. Seperti Laila buat Majnun Tunisia. (AFP) (a2s/)