Catatan dari Jerman
Tuan Rumah Harus (Dibiarkan) ke Final
Minggu, 02 Jul 2006 19:38 WIB

Frankfurt - Mungkin saya terlalu emosional. Tapi saya cukup bergidik untuk membayangkan apabila tim sekelas Jerman, tuan rumah pula, tersingkir sebelum masuk babak pamungkas.Bayangan itu muncul terutama ketika saya berada di Frankfurt untuk bersama-sama puluhan ribu warga kota tersebut menyaksikan pertandingan babak perempatfinal antara Jerman melawan Argentina hari Jumat (30/6/2006) lalu.Di tepi sungai Main, semua mata dan perhatian mengarah pada layar raksasa yang menyiarkan langsung partai krusial yang digelar di stadion Berlin itu.Mengikuti pertandingan tersebut sudah seperti kebutuhan primer yang harus dipenuhi, atau keinginan buat hajat yang sudah tak tertahankan. Atribut aneka rupa dikenakan, dari pakaian sampai bebunyian, dari yang penampilannya lucu, seksi, menggemaskan, sampai yang seram tidak karuan. Meminjam istilah sebuah acara di tv Indonesia: semua deh ada di sini.Sewaktu gawang Jens Lehmann dibobol Roberto Ayala, lautan manusia di tepi sungai itu terhenyak. Sebagian bungkam, sebagian lagi resah, menggerutu, lalu meracau. Tapi mereka bergemuruh lagi tatkala Miroslav Klose menyamakan kedudukan. Gemuruh itu mencapai puncaknya setelah Jerman memastikan kemenangannya lewat adu penalti.Tanpa dirijen seperti dalam sebuah orkestra, mereka bernyanyi-nyanyi dan menari. Botol-botol bir baru dibuka, disemprotkan ke sana-sini. Yang kecipratan tidak marah, malah tertawa terbahak-bahak. Tak peduli kenal atau tidak, mereka berpelukan dan berciuman, melonjak-lonjak sambil meneriakkan yel-yel penanda semangat dan kebanggaan. Setiap berpapasan dengan orang lain, mereka saling mengepalkan tangan dan bersahut-sahutan "Deutschland! Deutschland!"Wow, betapa sepakbola memang permainan terhebat yang pernah diciptakan manusia. Betapa kemenangan adalah jenis lain dari oksigen penyambung nafas kehidupan. Usai pertandingan, lautan manusia bergerak seperti air bah. "Banjir bandang" yang menakjubkan. Inilah yang kemudian membuat bulu kuduk saya meremang. Kalau sudah melihat pemandangan ini, rasanya saya tidak rela jika Jerman tidak lolos minimal ke final, meskipun mereka bukan tim favorit saya. Masalahnya, saya tidak mau membayangkan apa jadinya jika Michael Ballack cs tersingkir sebelum berlaga di partai puncak. Sebenarnya ada juga secuil rasa paranoid kalau-kalau terjadi chaos bila Jerman tersingkir lebih cepat. Apalagi fans mereka terkenal salah satu yang paling sering bikin ulah jika timnya kalah. Tapi bukan itu masalahnya, apalagi panitia tampak sangat siap mengantisipasi potensi kerusuhan.Ini lebih menyangkut kesempatan sebuah bangsa untuk menikmati versi lain dari sebuah "kemerdekaan". Kanselir Angela Merkel saja sampai terperangah oleh semangat nasionalisme penduduknya yang ujug-ujug meletup-letup. Tiba-tiba orang gemar bepergian dengan memakai baju timnas der Panzer, bendera hitam-merah-kuning berkibar di mana-mana, di depan rumah, di kafe-kafe, di mobil-mobil yang lewat, dan lain-lain.Empat tahun lalu Korea Selatan pernah mengalami itu ketika jutaan orang turun ke jalan-jalan untuk merayakan kesuksesan tim kesayangan mereka lolos ke semifinal.Itu baru Korea yang notabene belum terlalu kenyang makan asam-garam sepakbola di level dunia. Jerman semestinya bisa lebih dari itu, paling tidak masuk final, sama seperti beberapa tim-tim elit lain yang pernah juara di kandang sendiri seperti Uruguay, Italia, Brasil, Argentina, Inggris, dan Prancis.Kita mungkin lebih maklum jika Meksiko, Chile, Swiss, Swedia, Spanyol, Amerika Serikat atau Jepang, tak berhasil masuk final saat Piala Dunia digelar di negara mereka. Kecuali Spanyol, mereka boleh dibilang tim kelas dua. Tapi saat itu mereka tetap tergolong berhasil karena mampu melewati putaran pertama. Beberapa dari mereka bahkan mencapai prestasi terbaiknya di Piala Dunia saat melakoninya di tanah sendiri, meskipun tidak sampai juara.Kembali ke Jerman, sudahpun tuan rumah, punya reputasi besar, sejauh ini permainan mereka juga memenuhi syarat untuk masuk final. Dan tentu saja, geliat fans tuan rumah yang luar biasa, di tambah ekspektasi mereka yang tinggi, rasanya sah-sah saja jika Jerman "dibiarkan" masuk final. Sekalian jadi juara?Saya tidak mau menjawab itu karena nanti makin terkesan berpihak. (a2s/)