Sungguh "mengharukan" melihat betapa riuh-rendahnya reaksi publik terhadap persoalan ini. Bahkan Kemenpora sampai merasa perlu membuat semacam Task Force. Pembentukan Task Force tersebut mungkin menggambarkan besarnya perhatian Pemerintah terhadap persepakbolaan nasional. Sementara di sisi lain, kegelisahan terhadap ancaman sanksi FIFA mengisyaratkan pula besarnya kecintaan masyarakat terhadap persepakbolaan nasional.
Benar, ada sekelompok pecinta sepakbola yang terang-terangan justru menyebut Indonesia pantas dihukum FIFA. Tapi mereka hanyalah kelompok kecil di antara jutaan masyarakat sepakbola nasional yang tak menginginkan sanksi FIFA seraya berharap terwujudnya rekonsiliasi.
Secara pribadi, saya melihat masih ada sejumlah alasan bagi kita untuk bisa lolos dari sanksi FIFA. Yang pertama, karena dasar untuk menjatuhkan sanksi berupa suspension atau expulsion itu sebenarnya tidak terlalu kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya kira, FIFA tak akan gegabah dan buang-buang waktu menghukum Indonesia manakala dasar hukumnya tidak kokoh. Mereka sadar, PSSI pasti tidak akan tinggal diam dan bisa membawa kasusnya ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Kalah dalam sidang CAS, bukanlah sesuatu yang baru dan mustahil bagi FIFA.
Alasan kedua, tidak seperti pendapat sebagian kalangan di Tanah Air yang mengecilkan peran Indonesia, saya justru berkeyakinan bahwa FIFA tetap melihat kita sebagai anggota yang penting. Dengan ratusan juta penggemar fanatiknya, Indonesia adalah pasar dan kekuatan yang tak bisa diabaikan. Ditambah lagi dengan semakin menguatnya peran Indonesia dalam percaturan dunia di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.
Alih-alih menghukum, FIFA sejatinya lebih suka melihat Indonesia tumbuh jadi kekuatan sepakbola di Asia. Bila benar dipandang sebelah mata, sanksi FIFA untuk Indonesia mestinya sudah lama turun sejak Nurdin Halid "mengakali" Statuta PSSI.
Alasan ketiga, FIFA juga menyadari kuatnya solidaritas di kalangan persepakbolaan Asia. Menghukum Indonesia berpotensi mengecewakan anggota-anggota AFC lainnya yang selama ini setia mendukung Sepp Blatter.
Apalagi, lobi Indonesia di lingkungan AFC terbilang bagus. Dan AFC pun selama ini sudah bekerja keras membantu Indonesia mengatasi masalah domestiknya. FIFA akan sangat berhati-hati menjaga "perasaan" AFC terkait kasus salah satu anggotanya ini.
Kendati demikian, bukan berarti tak ada sama sekali pintu masuk bagi jatuhnya sanksi FIFA. Ada sejumlah hal lain yang tetap memungkinkan dijatuhkannya hukuman. Salah satunya, justru kehadiran Task Force itu sendiri.
Bukan rahasia lagi, FIFA sangat alergi terhadap keterlibatan Pemerintah dalam urusan anggotanya. Jika tidak dilakukan secara bijak, campur tangan Kemenpora -- melalui Task Force -- dapat dikategorikan sebagai "influence from third parties" yang mengganggu independensi PSSI sebagai "Member" FIFA. Di Palangkaraya, utusan FIFA dan AFC bahkan mungkin sudah merasakan adanya "influence from third parties" itu.
Untuk itu, Task Force perlu sangat berhati-hati memposisikan diri dalam persoalan PSSI. Jangan pula, belum apa-apa sudah mengumbar pernyataan bahwa sanksi FIFA sulit dihindari dan draft sanksi sudah dibuat. Padahal Task Force belum melakukan apa-apa, bahkan belum bertemu langsung dengan para petinggi FIFA. Task Force jadi terkesan mengharapkan sanksi itu benar-benar jatuh.
Alasan lain yang juga memungkinkan jatuhnya sanksi FIFA adalah kondisi PSSI sendiri. Fakta bahwa di tanah air saat ini terdapat dualisme kepengurusan, tim nasional, dan liga jelas mengisyaratkan ketidakmampuan PSSI memecahkan masalahnya sendiri. Terlepas dari sikap Pemerintah selama ini yang dapat dikategorikan sudah melakukan "pembiaran".
Dalam statutanya, dengan tegas FIFA mewajibkan setiap anggotanya "to manage their affairs independently and ensure that their own affairs are not influenced by any third parties". FIFA juga menekankan kepada setiap anggotanya untuk bisa mengatasi berbagai konsekuensi yang timbul berkaitan dengan Statuta ini.
Itulah yang belum bisa dipenuhi PSSI: menjadi "member" yang kuat dan independen seperti diamanatkan Statuta FIFA. Sederhana saja, bagaimana Prof. Djohar Arifin Husin bisa meyakinkan FIFA bahwa IPL-ISL akan berada di bawah kontrol PSSI sepenuhnya dan mulai musim 2014 hanya ada satu liga nasional di tanah air?
Selama ini FIFA sangat serius dalam menyikapi persoalan dualisme -- terutama liga. Bahkan nyaris tak punya toleransi. Ingat bagaimana FIFA mencoret George Toisutta dan Arifin Panigoro sebagai kandidat ketua umum dan wakil ketua umum dalam KLB PSSI 2011 karena dianggap terlibat dalam "breakaway league".
Saya tidak tahu apakah Prof. Djohar bisa meyakinkan FIFA bahwa PSSI cukup kuat untuk diberi kesempatan mengatasi persoalan internalnya. Apalagi bila, pada saat bersamaan, Task Force justru melobi FIFA dengan membawa perspektif yang tidak mustahil berseberangan.
Akan sangat menyedihkan jika FIFA akhirnya kehilangan kesabaran dan sanksi itu benar-benar jatuh. Itu bukan hanya kekalahan bagi PSSI, namun sesungguhnya kegagalan kita semua sebagai insan sepakbola Indonesia ....
==
* Penulis adalah pengamat sepakbola.
(krs/a2s)