Bisa dikatakan Piala Konfederasi adalah semacam gladi resik bagi tuan rumah Piala Dunia. Karena itu, semenjak tahun 2005 Piala Konfederasi tidak lagi dijadwalkan dua tahun sekali melainkan 4 tahun sekali, persis setahun sebelum Piala Dunia digelar.
Siapkah Brasil sebagai penyelenggara? Sebagian Stadion belum rampung, namun menteri olahraga mereka, Aldo Rebelo, dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa persiapan Brasil layak diberi nilai 9, alias nyaris sempurna. Kita lihat saja nanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak pihak kurang paham betapa kompleksnya persiapan negara host Piala Dunia, sedangkan beberapa tahun lalu Indonesia berani mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Kita semua tentu menginginkan hal tersebut, tapi jujur saja, masih belum waktunya.
So, oke, sebagai gladi resik Piala Dunia, dari segi kepanitiaan Piala konfederasi penting sekali artinya. Lantas bagaimana dengan nilai Piala Konfederasi dari sisi sport?
Untuk menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita melihat data-data yang ada terlebih dahulu. Opini tanpa adanya data yang dibaca/dievaluasi dengan benar, jadi kecil artinya.
Kalau kita bandingkan juara satu sampai tiga Piala Konfederasi dengan juara satu sampai tiga Piala Dunia setahun berikutnya kita dapatkan data sebagai berikut:
Tahun | Peringkat 1-3 Piala Konfederasi | Tahun | Peringkat 1-3 Piala Dunia |
1997 | Brasil, Australia, Republik Ceko | 1998 | Prancis, Brasil, Kroasia |
2001 | Prancis, Jepang, Australia | 2002 | Brasil, Jerman, Turki |
2005 | Brasil, Argentina, Jerman | 2006 | Italia, Prancis, Jerman |
2009 | Brasil, AS, Spanyol | 2010 | Spanyol, Belanda, Jerman |
Dari data di atas bisa disimpulkan hubungan kesuksesan suatu negara di Piala Konfederasi dan Piala Dunia relatif minim. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada fenomena tersebut.
Faktor utama adalah Piala Konfederasi tidak diikuti oleh banyak tim papan atas dunia. Masing-masing konfederasi yang bernaung di bawah FIFA (UEFA, AFC, OFC, CONCACAF, dan CONMEBOL) hanya mengirimkan juaranya saja. Keenam tim juara tersebut ditambah tuan rumah Piala Dunia yang akan datang, plus negara yang menjuarai Piala Dunia yang lalu melengkapi peta peserta yang berjumlah 8 tim dan dibagi ke dalam dua grup.
Artinya, persaingan tidak seberat Piala Dunia yang diikuti beberapa wakil dari Eropa dan Amerika Latin, yang kita tahu bersama kualitasnya masih jauh di atas wakil-wakil belahan dunia lainnya.
Selain itu, rentang waktu satu tahun antara Piala Konfederasi dan Piala Dunia membuat peta kekuatan masing-masing peserta masih bisa berubah-ubah. Bagi saya pribadi, perkembangan performa key players sangat menentukan. Bagaimana musim terakhir mereka sebelum Piala Dunia? Lebih spesifik lagi, bagaimana performa mereka di pertandingan-pertandingan terakhir menjelang Piala Dunia? Seberapa berat atau lamakah musim yang baru dilalui? Atau dengan kata lain, capaikah para key players tersebut?

Jadi, kesimpulannya Piala Konfederasi tidak penting dong? Tidak demikian. Dari segi entertainment Piala Konfederasi sangat layak ditonton. Banyak penonton sudah penasaran melihat performa Luis Suarez bersama Uruguay atau Neymar bersama Brasil, misalnya, yang relatif jarang ditayangkan stasiun-stasiun di Indonesia.
Saya pribadi penasaran melihat performa Tahiti. Hanya satu (!) pemain Tahiti berlabel professional player: Marama Vahirua, striker berumur 33 tahun yang bermain di Divisi 1 Liga Yunani. Tahiti walau berstatus juara OFC tidak lolos ke Piala Dunia 2014. Jadi kapan lagi bisa nonton tim "eksotik" Tahiti kalau tidak di Piala Konfederasi kali ini?
Let's enjoy Confederations Cup!
===

* Penulis adalah pelatih, pengamat, pecinta sepakbola
* Akun twitter: @coachtimo
* Website: www.coachtimo.org
(a2s/mfi)