Paragraf pembuka tersebut merupakan tulisan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono dalam buku Kritik Olahraga Sumohadi Marsis (2011). Tulisan tersebut sejatinya memang bertujuan mengapresiasi kiprah Sumohadi Marsis, wartawan senior olahraga di Indonesia. Namun tulisan tersebut juga relevan apabila ditujukan kepada seluruh wartawan olahraga di Indonesia.
Tetapi, sudahkah wartawan olahraga di Tanah Air ini melakukan tugas-tugas "ideal" seperti di atas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih menyangkut soal konflik misalnya, Aremania mengeluhkan pemberitaan media terkait kerusuhan yang terjadi saat rombongan suporter Arema Indonesia tersebut bertandang ke Gresik, Maret 2013. ("Humas Tour: Kami Ingin Media Lebih Berimbang", www.wearemania.net, 8 Maret 2013).
Itu baru satu hal. Belum lagi tentang hal-hal lain seperti ketika di sepakbola Indonesia terjadi dualisme kepengurusan, dualisme kompetisi, media-media di Indonesia malah justru terjebak dalam konflik tersebut. Masing-masing media menunjukkan keberpihakan kepada berbagai kubu yang ada sehingga informasi yang beredar menjadi tendensius. Contoh lainnya, ada media yang dahulu benar-benar kontra terhadap kubu A dengan menyajikan berita-berita yang kritis tetapi kini pemberitaanya berbalik dan sangat mendukung kubu A karena saat ini media tersebut menjadi partner bisnis dari kubu A.
Berita Olahraga: Masih Sekadar Menjadi Peraup Laba?
Dunia jurnalistik olahraga di Indonesia mendapatkan sambutan baik dari masyarakat. Media olahraga --sebagai produk dari jurnalistik olahraga—terus berkembang di Indonesia yang ditunjukkan dengan banyaknya website, surat kabar, majalah, tabloid yang membahas mengenai olahraga. Bahkan saat ini juga sudah ada website dan majalah yang merupakan franchise dari media luar negeri.
Perkembangan ini bisa dibilang cukup menggembirakan. Tetapi maraknya media olahraga di Indonesia mungkin lebih karena pertimbangan bisnis. Harus diakui, berita-berita olahraga merupakan berita yang laku dijual. Lihat saja, setiap menjelang event besar olahraga seperti Piala Dunia, Olimpiade, musim perdana kompetisi di liga-liga Eropa, musim perdana MotoGP, musim perdana F1, dan sebagainya setiap media berlomba-lomba menghadirkan edisi khusus (untuk media cetak), kanal khusus (untuk media online) atau pun menyajikan program khusus (untuk media televisi atau radio) guna memberitakan event-event tadi.
Ini merupakan simbiosis mutualisme antara media --sebagai institusi bisnis-- dan olahraga. Tak salah bila Jay Coakley dalam buku Sports in Society: Issues and Controversies (2003) mengatakan bahwa tanpa adanya olahraga, media mungkin tidak bisa seperti sekarang ini. Sebaliknya, tanpa adanya media, olahraga mungkin tidak lagi seperti ini. Memang harus diakui kehadiran berita-berita olahraga menjanjikan keuntungan bagi sebuah media.
Mengenai status sebagai "peraup" laba, ada satu ungkapan menarik bahwa apabila ingin media-nya laku di pasaran, maka pengelola media harus menyajikan salah satu dari tiga berita tersebut yakni sport, sex, dan sensation (Dinamika Media Lokal dalam Mengkontruksi Realitas Budaya Lokal Sebagai Sebuah Komunitas, Widodo Muktiyo, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut, kemudian muncul satu pertanyaan kritis: apakah berita olahraga di media-media di Indonesia masih berstatus "hanya" sebagai mesin peraup keuntungan semata?
Pers Berkualitas untuk Kemajuan Olahraga di Indonesia
Pers yang berkualitas merupakan salah satu komponen yang akan menentukan kemajuan sebuah bangsa. Lalu seperti apa pers yang berkualitas? Ketua Dewan Pers Bagir Manan berpandangan ada cukup banyak definisi mengenai hal tersebut. Pertama, pers berkualitas adalah sebuah pers yang dikelola dan dijalankan secara profesional, memenuhi segala standar etik serta semua syarat-syarat jurnalistik serta merta menjadi pers yang bermutu. Kedua, unsur-unsur seperti kejelasan keberpihakan pada publik, non partisan, juga harus dipenuhi untuk mewujudkan pers bermutu. Yang jelas, pers bermutu tidak mungkin bermakna statis tetapi dinamis.("Pers Bermutu", www.dewanpers.or.id, 18 Februari 2013).
Pers, secara umum, memang bukan satu-satunya pihak yang superior sehingga bisa mengatasi seluruh permasalahan olahraga di Indonesia. Tetapi setidaknya pers bisa berkontribusi. Pers yang berkualitas mungkin dapat menjadi salah satu "kepingan puzzle" yang akan membantu kemajuan olahraga di Indonesia. Bisa melalui pemberitaan yang berimbang, mengkritik apabila memang terjadi sebuah kesalahan; atau memuji dengan proporsional dan tidak berlebihan ketika ada sebuah prestasi.
Selain melalui pemberitaan, pers olahraga di Indonesia juga bisa memposisikan diri sebagai semacam lembaga think tank bagi organisasi olahraga di Indonesia baik itu pengurus organisasi/federasi, klub, dan sebagainya. Para wartawan olahraga di Indonesia, dengan kualitas yang dimiliki, tentu dapat memberikan masukan atau kritik terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan organisasi olahraga tersebut.
===
*) Artikel ini ditulis dalam rangka Hari Pers Nasional yang diperingati tiap tanggal 9 Februari
**) Staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Email: nara.prastya@gmail.com
(a2s/krs)











































