Elite Player Performance Plan, Sebuah Fondasi Pembinaan Usia Dini

Elite Player Performance Plan, Sebuah Fondasi Pembinaan Usia Dini

- Sepakbola
Senin, 24 Feb 2014 11:36 WIB
Ilustrasi: mcfc
Jakarta -

Regenerasi merupakan hal yang selalu dianggap krusial di dalam sepakbola. Banyak insan sepakbola berbicara mengenai pembinaan usia dini tanpa tahu bagaimana mencapainya dengan cara yang efektif dan riil.

Semakin maju sepakbola suatu negara, semakin maju pula cara pandang mereka mengenai regenerasi. Negara-negara tradisi kuat di sepakbola seperti Brasil, Argentina, Belanda, Perancis, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Italia tidak pernah kehabisan sumber daya pemain karena adanya regenerasi yang berjalan dengan baik.

Mengapa, misalnya, negara dengan populasi hanya 17 juta jiwa seperti Belanda tidak pernah kehabisan talenta sepakbola? Mengapa Italia dan Jerman tidak pernah kehabisan penjaga gawang yang superior? Mengapa Prancis tidak pernah kehabisan stok pemain-pemain berbakat di timnasnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat berkaitan dengan bagaimana sistem pembinaan dan penjaringan pemain muda dibangun dan dilaksanakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Brasil dan Argentina adalah salah dua contoh negara yang sangat tinggi pertumbuhan pesepakbola berbakatnya yang seakan-akan seperti kejadian alam, semuanya terjadi serba otomatis tanpa effort yang maksimum. Namun, sebenarnya semua itu terbangun dalam tahap-tahap yang panjang. Pencapaian itu dapat dibangun melalui partisipasi olahraga yang teroptimalisasi dengan baik.Semakin tinggi partisipasi olahraga tertentu di sebuah negara, misalnya sepakbola, maka semakin tinggi pul suplai pemain-pemain sepakbola berbakat di negara tersebut.

Menganalogikan dengan istilah dalam dunia ekonomi, partisipasi yang signifikan akan menciptakan "pasar persaingan sempurna" di dalam "pasar pemain bola", yang nantinya akan menciptakan keluaran yang berkualitas di level tertinggi. Adalah tugas para regulator untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam olahraga (misalnya) sepakbola, dan ini semua sangat berkaitan dengan penciptaan infrastruktur-infrastruktur sepakbola yang baik dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Di Jerman, Inggris dan Prancis, beberapa infrastruktur olahraga, seperti lapangan futsal dan lapangan sepakbola adalah milik pemerintah dan aksesnya adalah tanpa biaya, alias gratis, masyarakat hanya perlu mendaftarkan diri jika ingin bermain. Kebijakan seperti ini dinilai sangat signifikan membantu peningkatan suplai pemain sepakbola/futsal yang berkualitas. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa Prancis dan Jerman tidak pernah kehabisan pemain berbakat, karena masyarakatnya sendiri sangat gemar dan mudah untuk bermain sepakbola.

Di kota besar seperti Jakarta, di mana semakin berjalannya waktu, semakin sedikit lahan bebas, kebanyakan diisi oleh gedung-gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan. Lalu kapan dan di mana masyarakat bermain sepakbola? Sedikit sekali akses dan jumlah lapangan yang memadai. Selanjutnya, jika masyarakat Jakarta dan kota-kota lainnya semakin sulit untuk bermain sepakbola, kapan Indonesia bermain di Piala Dunia?

Negara ini memiliki lebih dari 200 penduduk, tetapi partisipasi sepakbolanya tidak mencapai presentase yang ideal. Sebagai perbandingan, Inggris memiliki populasi 53 juta jiwa, dan partisipasi sepakbola mereka adalah 2,6 juta (5%). Dari 2,6 juta orang yang bermain sepakbola itu, terciptalah Steven Gerrard, Theo Walcott, Joe Hart dan lain-lain, yang telah tersaring melalui sistem kompetisi sepakbola yang matang. Bayangkan jika Indonesia mencapai tingkat partisipasi (%) yang sama dengan Inggris, maka Indonesia akan menciptakan 10 juta orang yang aktif bermain sepakbola. Secara rasio sederhana jumlah nominal, seharusnya Indonesia akan mendapat saringan pemain-pemain yang lebih berkualitas, karena perbandingannya adalah 11 pemain (timnas) banding 10 juta pemain. Wow!

Menciptakan pesebakbola-pesepakbola handal bukan perkara mudah. Rata-rata pemain sepakbola level top dunia bermain sepakbola sejak usia yang sangat dini. Oleh karenanya, organisasi sistem pembinaan usia muda/dini sebenarnya adalah hal yang sangat krusial. Lionel Messi bermain sepakbola sejak usia 4 tahun, dan bergabung dengan klub sepakbola sejak usia 5 tahun. Cristiano Ronaldo bergabung dengan sebuah klub amatir sejak umur 8 tahun, Franck Ribery sejak 6 tahun, dan Ibrahimovic dari umur 6 tahun. Poin kritisnya adalah, klub-klub sepakbola yang menampung pemain-pemain belia ini memegang peranan yang sangat penting. Itulah mengapa hampir semua klub elite di Eropa memiliki tim U-8 sebagai strategi mereka mendapatkan pemain-pemain masa depan.

Lalu, mengapa regulator sepakbola Indonesia begitu mengabaikan dan cenderung tidak memperhatikan eksistensi klub-klub jenjang usia dini seperti ini (SSB/Sekolah Sepak Bola)? Padahal statistik menunjukkan bahwa pemain-pemain hebat telah bergabung dan bermain dengan sebuah klub sejak umur 5-8 tahun?

Beralih ke Inggris, di tahun 2011 FA mencanangkan sebuah program untuk menciptakan sistem yang matang di jenjang usia dini, bernama Elite Player Performance Plan (EPPP). Program ini berjalan sejak tahun 2012. Tujuan utama dari program ini adalah menciptakan pemain-pemain yang berlabel "Home Grown Players" agar dapat berpartisipasi di level tertinggi sepakbola Inggris dalam jumlah yang signifikan. Home Grown Player (HG) sendiri berarti pemain-pemain yang dididik dan terlatih di klub-klub sepakbola Inggris (akademi) dan terdaftar oleh FA sejak usia dibawah 21 tahun. Pemain-pemain seperti Jack Wilshere, Danny Welbeck, Tom Cleverley, Kieran Gibbs, Wojciech Szczesny, Steven Gerrard, dan Jon Flanagan adalah contoh pemain-pemain HG yang dibesarkan oleh akademi klubnya masing-masing. Maksud dan tujuan pengklasifikasian pemain HG ini di antaranya adalah untuk menilai efektivitas sistem akademi, meningkatkan efisiensi (tidak perlu membeli pemain mahal), dan penanaman filosofi bermain klub sejak usia dini (lihat gambar 1) sehingga meminimalisir adaptation cost.


[Sumber: Premier League]

Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan West Ham dikenal sebagai klub yang memiliki kualitas akademi yang baik di Inggris. Namun, Alex Ferguson pernah mengkritik model akademi Arsenal yang menurutnya bukanlah akademi "sejati", dikarenakan Arsenal sering mengimpor pemain asing sejak usia dini, dan mendidiknya di akademi sampai usia matang. Ferguson beranggapan bahwa model akademi yang ideal adalah seperti kala Ia menghasilkan generasi Class of '92 yang berisikan pemain-pemain Britania Raya seperti Beckham, Scholes, Giggs, Neville, dan lain-lain.

Di tengah iklim kompetisi yang semakin intens pada sepakbola Inggris, mengimpor pemain dari luar Inggris adalah salah satu strategi untuk menghadapi ketatnya persaingan yang menuntut peran pemain-pemain kualitas dunia. Artinya "seleksi alamnya" bukan lagi per populasi Inggris, tapi dunia. Inilah yang menyebabkan terjadinya impor pemain besar-besaran di liga paling bergengsi di dunia tersebut.

Program EPPP menetapkan standar pada akademi-akademi klub profesional Inggris dengan berdasar pada 4 kategori. Kategori 1 adalah standar terbaik, berurutan sampai dengan kategori 4 sebagai standar terendah. Proses standardisasi ini menggunakan ISO (Independent Standard Organizations) dan diaudit secara berkala oleh badan yang telah ditunjuk oleh FA. Badan auditor tersebut ditengarai dikelola dan dimiliki oleh seorang profesor doktor sport management salah satu Universitas ternama di Belgia.

Seluruh The Big Five di Premier League teraudit dengan akademi status kategori 1. Selain itu beberapa klub divisi Championship juga berhasil mendapatkan status kategori 1 pada akademinya. Berikut ini adalah daftar lengkap klub-klub profesional Inggris yang termasuk pada kategori 1 EPPP:


[Sumber: Dailymail]

Yang menarik, EPPP mengatur standar dan regulasi sampai dengan ke masalah penggajian/insentif (batas minimum/maksimum gaji pemain), coaching staff, jumlah jam latihan, infrastruktur, dan struktur organisasi akademi. Jadi, program yang dikembangkan oleh FA ini sangatlah matang dan memerhatikan seluruh aspek operasional pembinaan.

West Ham pernah menghasilkan quintet Joe Cole, Lampard, Rio Ferdinand, Michael Carrick, dan Glen Johnson melalui akademinya. Manchester United terbukti memiliki akademi yang baik dengan pernah berjaya menghasilkan Class of ’92. Arsenal, jangan ditanya, pemain level top impor maupun aseli Inggris banyak yang pernah melalui akademi klub ini. Akademi Liverpool terkenal dalam memproduksi pemain-pemain kelas atas timnas Inggris seperti Michael Owen, Steven Gerrard, Jamie Carragher, dan generasi sekarang seperti Sterling, Flanagan, dan Martin Kelly.

Betapa pentingnya aspek pembinaan sepakbola usia muda sampai FA "capek-capek" membangun rencana seperti EPPP ini. Hampir semua negara kuat di sepakbola tidak main-main dengan sistem pembinaan usia muda, dan hasilnya pun tidak main-main, dengan populasi seadanya, mereka terus-menerus mencetak pesepakbola-pesepakbola handal di level dunia.

Manchester City telah membuat blue print bagaimana sistem dan infrastruktur akademi mereka akan dijalankan dalam jangka panjang. Ya, mereka telah mencanangkan pembangunan infrastruktur sepakbola kelas atas yang terintegerasi dengan Etihad Stadium, yang termasuk di dalamnya terdapat fasilitas latihan bagi tim akademi dan first team. Perencanaan pembangunan tersebut sangat "membelalakkan mata", mereka berencana membangun 10 lapangan bola yang bersebelahan dengan Etihad Stadium, Wow!

Selain itu, dalam rangka mendukung strategi mengimpor pemain muda, beberapa klub di Eropa juga telah menjalin joint-venture atau kerja sama dengan klub-klub lainnya. Manchester City dikabarkan telah sepakat bekerja sama dengan dua klub asal Portugal, Boavista dan Gil Vicente, dengan beberapa mutual agreement. Dua klub tersebut berperan sebagai feeder club bagi City, yang berfungsi sebagai "pemoles’"pemain-pemain muda City, tempat singgah selagi mematangkan izin kerja, dan mendapatkan akses menemukan bakat-bakat terpendam di Portugal dan Brasil. Selanjutnya, Boavista dan Gil Vicente mendapat dukungan pemberdayaan sistem scouting, merchandising, dan pemasaran dari City.

Ajax Amsterdam telah melakukan strategi yang hampir serupa sejak lama, yaitu dengan membangun jaringan pencarian bakat-bakat pemain muda di beberapa negara. Ajax Cape Town adalah salah satunya. Klub profesional asal Afrika Selatan tersebut adalah franchise dari Ajax. Arsenal pun telah melakukan jalinan kerjasama dengan beberapa klub di luar Inggris, diantaranya yang paling terkenal adalah ASEC Mimosas. Klub asal Pantai Gading tersebut telah memproduksi nama-nama terkenal seperti Yaya Toure, Kolo Toure, Didier Zokora, Gervinho, Salomon Kalou, Emmanuel Eboue, dan lain-lain. Model strategi seperti ini terbukti sangat efektif karena lagi-lagi dapat menekan biaya atas pemain sepakbola yang semakin mahal.



Akademi sepakbola sangatlah penting. Model bisnis Arsenal FC menunjukkan bagaimana pengelolaan sistem akademi yang baik masih dapat menghasilkan profit. Tiap tahunnya Arsenal selalu mendapatkan laba dari penjualan pemain-pemain akademi mereka, yang dianggap memiliki standar kualitas yang tinggi. Strategi mereka adalah menjaring pemain-pemain muda terbaik, mendidiknya, menyeleksinya, dan apabila tidak masuk first team, mereka menjualnya (beli murah, jual mahal), karena sudah pasti mendapatkan calon pembeli yang sudah siap untuk membayar "ulusan-lulusan akademi Arsenal" tersebut. Walaupun penjualannya bersifat "receh", namun keuntungan selanjutnya adalah mendapatkan pemain-pemain masa depan dengan biaya yang relatif murah.

Ajax, Barcelona, dan Man United pernah berjaya dan meraup laba yang besar karena keunggulan akademi mereka. Tahun 1995 Ajax menjuarai Piala Champions dengan skuad yang mayoritas adalah lulusan akademi Ajax, begitupun Manchester United dengan Class of '92 yang berhasil menjuarai Liga Champions 1999 dan beberapa trofi lain di eranya. Barcelona? Jangan tanya lagi, Messi, Busquets, Xavi, Iniesta dll. adalah produk orisinil La Masia. Riset CIES Football Observatory baru-baru ini menunjukkan bahwa La Masia adalah akademi paling produktif kedua di dataran Eropa dalam menghasilkan pemain-pemain sepakbola di level elite.

Inggris sedang gencar memikirkan dan membangun fondasi mereka melalu EPPP. Belanda, Belgia, dan Jerman sudah lebih dahulu membangun fondasi pembinaan pemain muda. Jepang, bahkan sudah mulai mengekspor tak hanya pemain bola, tapi juga pelatihnya! Spanyol? Menurut Arrigo Sacchi, pemain-pemain muda di Spanyol diberi kesempatan yang lebih untuk bermain di level tertinggi dibanding negara eropa lainnya.

Melihat fakta-fakta dan analisis di atas, teruntuk negaraku, wahai Indonesia-ku, wahai PSSI-ku, masihkah urusan anak-anak bermain-main bola akan terus disepelekan?

Coventry, 19 Februari 2014

=====

* Penulis adalah mahasiswa yang sedang menempuh studi MSc Sport Management, Coventry University. Akun twitter: @amalganesha






(nds/a2s)

Hide Ads