Tite dan Luka Brasil yang (Mungkin) Kembali Terkoyak

Tite dan Luka Brasil yang (Mungkin) Kembali Terkoyak

Sunlie Thomas Alexander - Sepakbola
Selasa, 10 Jul 2018 12:40 WIB
Tite bersama Neymar di Piala Dunia 2018 (Andrew Yates/Reuters)
Jakarta - Kendati bukanlah fans sejati Selecao, saya tak bisa tidak ikut bersedih dengan tersingkirnya Brasil dari pesta Piala Dunia 2018. Terutama ketika melihat ekspresi Adenor Leonardo Bacchi alias Tite di layar kaca saat waktu yang tersisa pada babak kedua - selepas gol tandukan Renato Augusto pada menit ke-76 yang menambahkan satu poin - tak lagi mampu dikejar oleh anak-anak asuhnya.

Tegak di pinggir lapangan, ia tak menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Tidak berteriak-teriak atau mondar-mandir tak karuan seperti si gundul Sampaoli. Namun jelas tampak bayangan kecemasan itu di wajahnya; ada asa yang perlahan mengecil di kedua matanya. Ia hanya terlihat agak tegang-tapi aku tak ingat pada menit ke berapa-tatkala memberikan instruksi kepada beberapa pemainnya pada saat laga terhenti sejenak akibat ada pemain cedera.

Gesture-nya yang terlihat paling ekspresif bagi saya adalah ketika Neymar nyaris menyamakan kedudukan pada masa injury time. Ia hampir saja memburu ke arah lapangan. Namun tangan yang sudah terkepal di udara seketika itu juga harus diturunkan kembali karena tembakan Neymar ke pojok kiri gawang Belgia setelah mendapat operan Douglas Costa dari sisi kanan lapangan ternyata ditepis Thibaut Courtois dengan anggun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Courtois juga menjadi pembeda yang nyata. Ia punya kualitas teknik yang luar biasa yang ia tunjukkan dalam dua pertandingan terakhirnya," puji pria kelahiran Caxias do Sulm, selatan Brasil ini selepas kekalahan 1-2 yang diderita oleh skuad asuhannya.



Toh begitu, bagaimanapun Tite barangkali tetaplah salah seorang manajer terbaik yang pernah dimiliki oleh Brasil. Ia, sebelumnya, disebut-sebut sebagai penyembuh luka 1-7 sepakbola Brasil; sosok yang sukses membangkitkan kembali moril Selecao pasca Tragedi Mineirazo di Piala Dunia 2014.

Karena itu, tak heran pula ia menjadi salah satu pelatih yang paling banyak disorot selama perhelatan Piala Dunia 2018. Bahkan sebelum putaran final mulai di Rusia, ia sudah menjadi topik pembicaraan berkat rekor sempurna yang diraih Timnas Brasil selama babak kualifikasi. Ia memastikan skuadnya sebagai tim pertama yang lolos ke Negeri Beruang Merah. Di bawah kepemimpinannya, Selecao juga dianggap telah menemukan kembali khitah sepakbola mereka yang sempat hilang: sepakbola yang sarat dengan permainan indah, lincah dan riang seperti menari Samba sekaligus menakutkan bagi lawan itu.

Tanpa menutup mata dengan perkembangan sepakbola modern yang cenderung lebih sistematis dan taktikal, ia membiarkan para pemainnya berkreasi dengan bebas dan mengeluarkan segenap kemampuan individual sembari tetap menjaga mereka dalam kesolidan dan ritme permainan sebuah tim. Ia mengawinkan jogo bonito dan pola permainan efektif ala sepakbola Eropa; suatu hal yang sebetulnya juga diterapkan oleh Carlos Alberto Parreira tatkala membawa Brasil memenangkan trofi Piala Dunia 1994.

"Tite adalah sosok yang fenomenal. Pada Piala Dunia 2018, Brasil akan kembali. Dengan Tite sebagai manajer kami, aku benar-benar yakin kami dapat membawa bendera Brasil kembali ke tempat tertinggi," kata Marcelo dalam suratnya yang berjudul "But First We Attack" kepada Players' Tribune, September 2017 silam.

Pengharapan begitu besar juga tersirat dengan terang dalam kata-kata mantan bek Tim Samba, Roberto Carlos: "Brasil adalah favorit saya. Saya kira ini adalah momen kita akan melihat kembali yang terbaik dari sepakbola Brasil. Tengoklah pekerjaan yang telah dilakukan Tite. Ia telah mengelola tim."

Agaknya Marcelo memang tak keliru. Selain sosok yang fenomenal, Tite barangkali juga bisa dibilang pribadi yang cukup unik. Lihat saja menjelang pertandingan babak kualifikasi kontra Ekuador 1 September 2017 di Quito misalnya, alih-alih memutar video analisis kekuatan kesebelasan tuan rumah, ia justru mengajak para pemainnya menonton video pertandingan Cleveland di final NBA melawan Golden State.

Langkah Brasil terhenti di perempatfinal Piala Dunia 2018Langkah Brasil terhenti di perempatfinal Piala Dunia 2018 Foto: John Sibley/Reuters


Padahal laga kontra Ekuador tersebut merupakan laga pertamanya sejak diangkat sebagai pelatih Selecao pada Juni 2016 oleh Federasi Sepakbola Brasil (CBF). Apalagi ketika itu posisi Brasil yang ditinggalkan Carlos Dunga cukup mencemaskan: berada di luar lima besar lantaran cuma sekali menang dalam enam pertandingan! Kalah melawan Ekuador tentu bakal membuat Brasil mendekati tepi jurang. Namun apa yang dilakukan Tite nyatanya bukanlah tanpa maksud-tujuan.

Rupa-rupanya ia ingin anak-anak asuhnya memetik pelajaran berharga dari final pertandingan bola basket yang ia perlihatkan tersebut, terutama dalam hal fighting attitude dan fokus.

"Permainan satu ini sangat indah buat saya. LeBron James mengoper bola ke Kyrie Irving, dan Kryrie mengambil tembakan yang sulit dan gagal masuk. Tapi apa yang dilakukan LeBron? Ia seorang superstar. Anda mungkin berharap ia bakal bertepuk tangan, berkata, 'Kenapa kau menembaknya?'" ujarnya dalam wawancara dengan Player's Tribune.

"Sebaliknya, LeBron sangat fokus. Ia berjuang untuk mendapatkan rebound, dan lalu apa yang ia lakukan? Apakah ia melakukan shoot? Tidak, ia mengembalikan bola ke Kyrie, dan tembakan Kyrie masuk. Saya memberitahu kepada para pemain: 'Ini adalah jenis atmosfer yang kita butuhkan di sini untuk sukses. Semua orang, bertarung satu sama lain, bahkan pemain bintang.'"

Dan hasilnya Tim Samba pun keluar sebagai pemenang laga di Quito tersebut dengan skor 3-0 berkat penalti Neymar dan dua gol Gabriel Jesus pada menit-menit akhir. Selanjutnya, kita tahu, mereka kemudian melaju mulus menuju putaran final Piala Dunia 2018 dengan rekor spektakuler. Selecao memenangkan grup klarifikasi Amerika Selatan Piala Dunia 2018 dengan 9 kali menang dari 9 pertandingan, serta hanya kebobolan dua gol dan memasukkan 26 gol.



***

TITE barangkali tak sepopuler pelatih-pelatih Brasil sebelumnya seperti Carlos Dunga atau Luiz Felipe Scolari. Meskipun membawa Corinthians menjuarai Copa Libertadores pada 2012, namanya sebagai pelatih belumlah cukup dikenal luas oleh publik sepakbola dunia. Tetapi berkat prestasi dan penampilan yang ditunjukkan oleh skuad asuhannya, Tite seolah menjadi seberkas cahaya untuk rakyat negeri penghasil kopi itu di tengah keterpurukan sepakbola mereka.

Tentu, apa yang disebut Tamparan Mineiro bukanlah sekadar tamparan biasa yang hanya sekadar membekas di pipi.

Tamparan Maracana (Maracanazo) mungkin boleh diibaratkan Menara Babel yang ambruk sekeras-kerasnya ke atas bumi dari ketinggian. "Itu seperti bom atom di Hiroshima," kata Rodriquez. Tragedi itu takkan terlupakan oleh seluruh rakyat Brasil, ia seperti sebuah aib yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sehingga "setiap orang mengingatnya, setiap hati terluka". Namun Mineirazo, bom atom kedua itu, menurut sebagian orang, sebetulnya jauh lebih menyakitkan lantaran ia terjadi di tengah penolakan sebagian masyarakat Brasil terhadap perhelatan Piala Dunia 2014 yang menghabiskan uang rakyat.

Situs Globo Esporte misalnya, melukiskan kekalahan tragis ini dengan "the disgrace of all disgraces" - kalimat ironis yang mengacu pada statement Presiden Brasil Dilma Rousseff bahwa penyelenggaraan World Cup 2014 merupakan "Piala Dunia dari Segala Piala Dunia". "A historic humiliation", tulis situs suratkabar paling berpengaruh di Brasil, Folha de S.Paulo. Sementara itu koran olahraga Lance menyebutnya sebagai "the biggest shame in history".

"Limapuluh tahun lagi, anak-anak kita masih akan membicarakan kekalahan Brasil di rumah sendiri oleh Jerman, satu banding tujuh. Menurut pandangan saya sebagai seorang profesional, hasil itu sungguh menyedihkan. Saya bersimpati mengetahuinya," kata The Special One Jose Mourinho kala itu.

Memang tak seorang pun menjadi kambing hitam tersial sampai seumur hidup seperti kiper Moacir Barbosa selepas tragedi tersebut meskipun banyak jari orang Brasil seketika itu teracung pada Scolari yang dianggap sebagai biang keterpurukan Selecao karena menghilangkan prinsip sepakbola indah yang mestinya tertanam pada sepakbola Brasil.

Selepas itu, dalam kurun waktu 2014-2016, ada sederet kegagalan yang membuat orang-orang kemudian semakin yakin mereka bakal sulit untuk memulihkan diri dari luka, atau setidaknya butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk sembuh dari trauma. Mineirazo memang ibarat sesosok hantu.

Ya sampai akhirnya Tite muncul layaknya sebuah keajaiban yang membangkitkan optimisme. Dan salah satu kunci keberhasilannya, seperti yang diutarakan oleh analis sepakbola terkemuka Brasil, Paulo Vinicius Coelho adalah "Tite sukses karena berhasil mengelola para pemainnya."

"Tite berbicara kepada pemainnya setiap hari dan mengirim video dan analisis lewat WhatsApp. Ia sangat berbeda dari pelatih Brasil sebelumnya. Ia menghabiskan 10 jam sehari di CBF menganalisis para pemainnya. Tite menjalankan Selecao seolah-olah itu adalah sebuah klub. Hanya dalam waktu satu tahun, hubungan dengan para pemain dan sistemnya telah berubah. Dan, hasilnya berasal dari ini," demikian kata Coelho kepada The Guardian.



Sementara itu Marcelo mengenang saat-saat dirinya dipanggil Tite secara cukup emosional: "Bagi saya, panggilan itu adalah segalanya. Itu adalah momen di mana saya mendapat panggilan dari manajer, dan saya sudah ada di timnas selama 11 tahun. Saya rela membunuh demi Tite, dan saya akan melakukan segalanya demi menempatkan trofi emas itu di lemari kakek saya."

Tetapi ya apa mau dikata. Pada partai perempat final di Kazan Arena, Sabtu (7/7) dinihari WIB kemarin, langkah Tite sang fenomenal untuk membawa Selecao berjaya lagi di pentas akbar Piala Dunia 2018 akhirnya mesti dikandaskan oleh generasi emas De Rode Duivels (Si Setan Merah) asuhan Roberto Martinez yang bermain super defensif.

Kendati tampil dengan sangat impresif sejak pluit kick-off ditiupkan dan begitu unggul dalam penguasaan bola serta menciptakan banyak peluang, mereka tampak kepayahan menjebol gawang Courtois yang dikawal ketat oleh Marouane Fellaini si tukang sikut dkk.

"Bagi saya, Brasil adalah tim terbaik di turnamen dan merupakan ancaman terbesar dari permainan terbuka. Kami harus bertahan dengan baik selama 90 menit. Melawan mereka, ada hambatan psikologis. Kaos kuning, lima gelar juara dunia, dan segalanya yang terjadi dengan itu. Karena itu kami harus berani secara taktik. Mengubah berbagai hal adalah sebuah perjudian besar dan kami ingin para pemain yakin," tukas Martinez sang arsitek.

Lantas ia pun mengambil sikap adaptif. Sembari mencoba membaca pikiran Tite, ia memutuskan untuk mencadangkan Dries Mertens dan memainkan Fellaini sejak menit pertama. Pilihan taktiknya itu membuat Setan Merah hanya bisa mengandalkan serangan balik yang bertumpu pada Romelu Lukaku dan Eden Hazard, serta De Bruyne yang digeser lebih ke depan.

Namun akibatnya? "Brazil yang sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri" pun sekali lagi harus terisak di tengah lapangan setelah laga berakhir. Upaya Lukaku membuka ruang serbuan yang diakhiri dengan sebuah umpan tajam kepada De Bruyne di sisi kanan lapangan pada menit ke-31 seolah-olah mengoyak luka Selecao yang baru saja mengering. Gawang Alisson Becker bergetar untuk kedua kalinya setelah pada menit ke-13 sepak pojok yang dilakukan Hazard membuat usaha Fernandinho menghalau bola menjelma jadi gol bunuh diri.

***

AH, saya tak ingin mengomentari lemahnya penyelesaian akhir Paulinho dkk sebagaimana pengakuan Tite yang dilansir oleh Sportsmole. Saya juga tak ingin membayangkan masa depannya sebagai pelatih yang belum ingin ia pikirkan itu, ataupun masa depan sepakbola Brasil sendiri pasca kandasnya harapan baru mereka. Namun saya jadi teringat terus pada cerita Tite kepada Players' Tribune tentang radio, dari mana ia dan ayahnya mendengarkan siaran langsung pertandingan Piala Dunia.

"Ketika saya masih kecil, radio bukanlah sekadar kotak hitam kecil. Bagi saya benda itu ajaib," demikian tulis Tite, "Saat saya tumbuh besar, keluarga saya tidak memiliki televisi."

Tite dianggap mampu membangkitkan kembali Brasil setelah terpuruk parah di Piala Dunia 2014 Tite dianggap mampu membangkitkan kembali Brasil setelah terpuruk parah di Piala Dunia 2014 Foto: Buda Mendes/Getty Images


Ya, seperti sekian banyak pemain Brasil lain, Tite adalah produk kemiskinan negerinya. Ayahnya seorang buruh pabrik anggur, dan ibunya ikut mencari nafkah sebagai tukang jahit. Begitu miskinnya mereka sehingga untuk membelikan ia sekaleng minuman soda saja, sang ibu mesti terjaga sampai pukul tiga dinihari menjahit pakaian. Ayahnya bukanlah orang yang suka bicara, namun mereka memiliki benang merah yaitu sepakbola.

"Saya ingat saat Piala Dunia 1970, seluruh negeri seperti berhenti dan fokus kepada pertandingan. Umur saya baru sembilan tahun. Saya duduk di depan radio bersama ayah dan mendengarkan keajaiban sepakbola. Pertandingan-pertandingan itu seperti cerita dramatis yang didongengkan kepada kami. Ia semacam seni, menurutku. Seperti lukisan atau novel besar. Brasil akan menyerang. Dan penyiar radio itu menghadirkan sebuah gambaran ke dalam pikiran kami lewat kata-katanya. Ini tak berarti menonton sepakbola lewat televisi tidak menyenangkan. Tetapi itu adalah pengalaman amat berbeda. Kurang misterius, kurang imajinatif. Ketika cuma radio yang kami miliki, kami menyimak dengan saksama setiap kata."

"Saya ingat betul tatkala mendengarkan laga semifinal Brasil melawan Uruguay. Itu adalah bagian dari memori emosionalku, karena Brasil kalah pada babak pertama. Selama aku duduk di depan radio itu, aku berulang-ulang menciptakan gol kemenangan dengan imajinasiku. Tentu saja, tepat sebelum pertandingan berakhir, kami mendengar kenaikan emosi dalam suara penyair, dan kami tahu sesuatu sedang terjadi: "Tostão... Clodoaldo... Clodoaldoooooooooooooooo!!!!" lanjutnya.

Pada bulan Juni 2016 ketika Federasi Sepakbola Brasil meneleponnya, Tite hampir saja menolak tawaran menjadi pelatih Selecao lantaran berpikir itu bukanlah waktu yang pas baginya. Sampai akhirnya ia teringat pada gambaran ibunya yang berada di depan mesin jahit pada pukul tiga pagi, juga bagaimana ia duduk di depan radio itu bersama ayahnya mendengarkan pertandingan Brasil kontra Uruguay. Ia pun berefleksi dengan impian kanak-kanaknya yang mula-mula menjadikannya seorang pemain bola.

Ya, itu hanyalah sepotong kenangan masa kecil Tite, seorang pelatih yang dianggap sebagai penyembuh trauma sepakbola negerinya. Namun seperti kata pria kelahiran Caxias do Sulm, selatan Brasil ini kemudian: "Kisah pelatih seperti juga halnya cerita para pesepakbola. Sulit ditebak."


=======

*) Penulis adalah cerpenis, tinggal di Yogyakarta. (din/krs)

Hide Ads