Mengapresiasi Atlet Berprestasi dengan Insentif Pajak

Catatan Roy Suryo

Mengapresiasi Atlet Berprestasi dengan Insentif Pajak

- Sport
Rabu, 21 Agu 2013 15:50 WIB
Ilustrasi: ANTARA/Andika Wahyu
Jakarta - Dunia olahraga Indonesia seperti bangkit dari tidur panjangnya di SEA Games 2011. Di tahun 2011 itu atlet-atlet Indonesia keluar sebagai juara umum dan mengembalikan panji-panji kebangsaan sebagai penguasa Asia Tenggara.

Dengan raihan 182 medali emas, 151 perak dan 143 perunggu, Indonesia mengakhiri tidur panjang sejak 1997, kali terakhir menjadi juara umum di event tersebut.

Jika ditilik ke belakang, sejak SEA Games 1995 di Thailand, prestasi Indonesia sudah mengalami penurunan. Tren penurunan itu terjadi hingga 2007, baik dari sisi peringkat dan perolehan jumlah medali (emas), grafik Indonesia tidak pernah naik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tingkat Asia, prestasi Indonesia sejak tahun 1998 di Bangkok hingga 2006 di Qatar, juga menunjukkan penurunan yang konsisten, terutama jika dibandingkan dengan prestasi yang diraih oleh Thailand, Malaysia, Singapura,dan Filipina.

Setelah tahun 1997 Indonesia tidak pernah lagi menjadi juara umum SEA Games. Grafik peringkat Asian games sejak tahun 1982 terus menunjukkan penurunan prestasi yang konstan, sementara Thailand dan Malaysia menunjukkan prestasi yang stabil dan cenderung dengan tren membaik.

Di cabang bulutangkis pun Indonesia mengalami kemunduran. Sejak tahun 2002, Indonesia tidak lagi memenangi Piala Thomas. Bandingkan dengan era 1960-1980, pebulutangkis Indonesia menjadi langganan juara Thomas. Bahkan, beberapa kali berhasil menyandingkannya dengan Piala Uber.

Pemicu

Kemunduran prestasi yang terjadi secara hampir merata di berbagai cabang olahraga ini banyak pemicunya. Mulai dari belum adanya program pembinaan atlet yang komprehensif berskala nasional, kekurangan fasilitas olahraga, rendahnya kualitas sistem kompetisi di tanah air, hingga minimnya pendanaan terhadap kegiatan olahraga.

Hal yang menarik adalah temuan dari Paramadina Public Policy Institute, tentang beberapa pokok masalah faktor penurunan prestasi olahraga nasional. Pertama, profesi atlet tidak menarik bagi anak bangsa. Kedua, olahraga tidak terintegrasi dengan sistem pendidikan. Ketiga, minimnya dana untuk pembinaan olahraga. Keempat, belum optimalnya keterlibatan berbagai pihak terutama swasta dalam pembinaan olahraga. Kelima, sarana dan prasarana olahraga yang minim. Keenam, strategi, peran dan prioritas pemerintah.

Salah satu yang menggelitik dari temuan Paramadina ini adalah masalah profesi atlet tidak menarik bagi anak bangsa. Ini tentu mengkhawatirkan karena bisa memicu berkurangnya bibit-bibit muda untuk meneruskan prestasi.

Pemicu tidak menariknya atlet dijadikan profesi karena dinilai memerlukan pengorbanan jangka panjang, pendapatan kurang menarik ketika masa produktif datang, serta tidak adanya jaminan masa depan ketika seorang atlet pensiun dari karir keatletannya.

Untuk diketahui, grafik fase karier seorang atlet itu biasanya di pecah dalam 14 tahun masa pembinaan, yang dimulai dari tahapan pengenalan, pengembangan minat, latihan dan kompetisi yunior, yang dimulai dari usia tiga tahun hingga 14 tahun. Biasanya masa ini sumber dana dari orangtua atau beasiswa.

Di masa 14 tahun kedua adalah dari usia 17 tahun hingga 30 tahun, di mana atlet mengikuti kompetisi nasional atau internasional. Sumber pendanaan bisa berasal dari klub, sponsor, hadiah, atau bonus.

Jika dianalogikan dengan alternatif investasi, selain berjangka panjang dan berisiko tinggi, return investasi relative rendah, sehingga hanya investor yang benar-benar mempunyai kecintaan sangat tinggi saja yang akan berinvestasi dan jumlah investor seperti ini tidaklah banyak.

Alhasil, dari kondisi ini menjadikan profesi atlet bukanlah pilihan utama bagi anak-anak muda Indonesia.

Insentif

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pun menyadari hal ini. Sebagai pembuat kebijakan di bidang olahraga, kemenpora tengah menggodok regulasi pemberian insentif pajak bagi donasi pada olahraga.

Insentif ini bervariasi baik dalam bentuk tarif khusus maupun pengurangan penghasilan kena pajak dari donasi tertentu.

Hal yang menjadi prioritas sekarang adalah menelurkan kebijakan meminimalkan pajak bonus atau hadiah bagi atlet berprestasi.

Kenapa ini dilakukan? Mari simak yang terjadi usai SEA Games 2011. Pemerintah mengeluarkan bonus total sebesar Rp 124 miliar bagi atlet dan pelatih yang berprestasi.

Para atlet mendapatkan bonus dalam keadaan utuh karena pajaknya sudah ditalangi oleh pemerintah. Padahal, sesuai aturan yang berlaku, bonus tersebut bisa dikenakan pajak maksimal hingga 30 persen.

Bayangkan jika pajak tidak ditalangi. Dari total bonus atlet Rp 45 miliar, pajak yang harus dibayar kala itu sebesar Rp 15 miliar. Alhasil dana total yang harus dikeluarkan menjadi Rp 60 miliar.

Salah satu pertimbangan pemerintah melalui Kemenpora untuk menalangi pajak bonus selain untuk mengapresiasi prestasi juga ingin mengembalikan gairah dari bibit-bibit muda untuk menekuni dunia olahraga agar bisa mengharumkan nama bangsa.



Belum Diatur dalam peraturan perundangan

Jika merujuk yang terjadi di negara lain, pajak untuk uang hadiah dan barang atau pajak untuk bonus uang dari pemerintah seperti di Malaysia dan Filipina adalah 0 persen. Sementara di Indonesia bisa dikenakan hingga maksimal 30 persen.

Pada Undang-undang (UU) tentang Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, terdapat peluang untuk menurunkan atau meminimalkan pajak bagi atlet yakni dengan menerapkan pajak final.

Contoh Pajak Final terdapat di pajak final deposito (20%), Pajak Final Dividen (10%), pajak final penjualan tanah (5%), dan pajak final transaksi jual beli saham (0,1%).

Merujuk pada pasal 4 ayat (2) dikatakan: Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final. Sedangkan di 2e: Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).

Saat ini untuk penghasilan dari turnamen olahraga maupun bonus prestasi belum diatur oleh PP. Kemenpora mengusulkan pajak final untuk prize money atlet dan bonus prestasi sebesar 0,1%. Kemenpora telah mengirimkan surat permohonan pada Kementerian Keuangan guna meninjau kembali penetapan pajak untuk bantuan dunia olahraga.

Alasan utama wacana meminimalisir pajak bonus ini. Pertama, sebagai bagian dari apresiasi terhadap prestasi atlet. Rasanya hal yang wajar ini dilakukan jika melihat pengorbanan yang mereka lakukan terhadap bangsa dan negara dibandingkan harus dibebani lagi dengan pajak terhadap pengorbanan mereka.

Kedua, membantu atlet untuk berprestasi kembali. Seperti paparan di atas, salah satu pemasukan bagi atlet adalah hadiah dan bonus. Jika tidak ada pemotongan tentu akan signifikan menjadi dorongan untuk berprestasi.

Terakhir, sebagai bagian dari transparansi. Jika pajak bonus diminimalisir atau (kalau bisa) dihilangkan, ini tentu akan mengurangi rasa curiga antara atlet dengan pengurus organisasi. Pasalnya, selama ini pajak dibayarkan oleh pengurus organisasi, sementara atlet menerima bonus sudah terpotong.

Negara pun sebenarnya tidak dirugikan jika minimalisir pajak bonus dan hadiah ini dilakukan karena sebenarnya nilainya tidak besar. Apalagi, sekarang atlet yang berprestasi bisa dihitung dengan jari.

Jika kebijakan ini bisa mulus keluar dampaknya akan luar biasa. Atlet akan merasa dihargai secara profesional oleh negara dan prestasi pun kembali berlimpah.

Kunci sukes dari kebijakan yang akan dikeluarkan ini adalah semua pemangku kepentingan memiliki pola pandang yang sama terhadap para atlet, dengan mengakui mereka sebagai pejuang yang menegakkan panji-panji bangsa dan negara, sehingga hal yang wajar mendapatkan keistimewaan, yakni insentif pajak.


===





* Penulis adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu II.




(krs/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads