Kesabaran Mantan Sprinter Nasional dan Istri Dampingi Atlet Disabilitas

Kesabaran Mantan Sprinter Nasional dan Istri Dampingi Atlet Disabilitas

Amalia Dwi Septi - Sport
Selasa, 09 Okt 2018 17:35 WIB
Foto: Amalia Dwi Septi/detikSport
Bogor - Puspita Mustika Adya berpredikat pebalap sprinter terbaik nasional di masa jayanya. Kini, dia menjadi otak Timnas balap sepeda di Asian Para Games 2018.

Puspita memutuskan menjadi pelatih para-cycling sejak 2015. Kendati memiliki pengalaman sebagai pebalap dan melatih (salah satunya timnas balap sepeda Brunei Darussalam), Puspita membutuhkan adaptasi saat menangani pebalap disabilitas. Dia dituntut untuk pandai-pandai melakukan pendekatan secara psikologis saat menularkan taktik dan strategi.

"Kalau atlet normal kami sampaikan program, mereka dibiarkan sendiri bisa. Tapi kalau atlet seperti mereka kami tidak boleh keras, perasaan mereka lebih lembut. Jadi apa yang saya sampaikan harus benar-benar dari hati," ujarnya kepada detiksport saat ditemui di Sirkuit Sentul, Bogor, Selasa (9/10/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT




Makanya, Puspita mengambil banyak cara untuk membuat situasi di pelatnas akrab. Tidak ada jarak.

Hal paling sederhana lewat sapaan. Tak ada panggilan coach layaknya atlet kepada pelatihnya.

"Saya tidak mau dipanggil coach, om atau apa. Saya minta dipanggil pakde saja. Saya ingin mereka menganggap saya bapak mereka, pak de, biar tidak ada jarak di antara kita," kata Puspita.

Nah, untuk urusan mendekati atlet, Puspita meminta istri, Riries Widya, untuk ikut turun tangan.

"Jadi saya ini sudah seperti ibu bagi mereka. Saya ingin mereka menganggap kami sebagai orang tua, yang ngemong mereka. Melengkapi kekurangan mereka karena mereka jauh dari orang tua mereka," kata Riries.

"Kalau ada apa-apa mereka suka curhat sama saya. Misalnya soal urusan asmara atau yang lain. Saya juga selalu mengingatkan mereka soal makanan," tambahnya.

Puspita menambahkan di balap sepeda ada beberapa kategori nomor sesuai klasifikasi. Di antaranya, C1-C5 (tunadaksa dengan amputasi kaki) seperti M Fadli, Saori Sufyan, dan Losu Marthin. Sementara, H adalah handbike karena kakinya lumpuh ke bawah.

Diantaranya H-3 yang artinya lemah pinggang, jadi posisinya agak tidur. H-3 itu rata-rata karena polio atau amputasi dari lahir.




Lalu ada nomor B yang artinya untuk atlet tuunanetra. Itu pun ada kategorinya, B1 half dan B2 itu buta total. Sementara B3 itu adalah atlet yang tidak bisa berjalan lurus. Biasanya menggunakan tiga roda.

"Jadi kami dari para-cycling Indonesia sendiri baru lahir, tahun 2017 di ASEAN Para Games 2017. Jadi, ini adalah tahun kedua. Atlet pertama para-cycling itu adalah M. Fadli," katanya.

Dengan kegigihannya dan keikhlasannya melatih atlet berkebutuhan khusus tersebut, pengorbanan Puspita terbayar lunas. Sejumlah medali pun akhirnya ditorehkan oleh para atletnya. Total tiga medali perak didapatkan dan enam medali perunggu disumbangkan dari balap sepeda.




(ads/fem)

Hide Ads