- Kemacetan Manila melebihi ibu kota Jakarta. Hal itu boleh jadi benar. Apalagi jika merasakannya sendiri.
Jumat (29/11/2019) menjadi hari yang baru bagi saya sebagai seorang pewarta. Saya diberi tugas meliput pelaksanaan
ke-30 di Filipina. Ini menjadi negara yang baru buat saya. Antusias tentu saja. Tapi tak menyangka ketika benar-benar berada di kotanya.
Ya, Bandara Ninoy Aquino menjadi tujuan pertama sama sebelum bergeser ke New Clark.
menurunkan dua pewarta dan satu fotografer, termasuk saya.
Bertolak dari Soekarno Hatta Cengkareng saya harus transit selama tiga jam di Kuala Lumpur sebelum benar-benar tiba di Filipina. Praktis waktu seharian saya habiskan di udara dan di jalanan. Dimulai pukul 05.00 WIB, tiba di Manila pukul 15.00 waktu setempat.
Menuju hotel yang berjarak 13 KM dari bandara saya memutuskan menggunakan taxi meters. Namun siapa sangka, sudah banyak penumpang yang mengantre.
Antrean dibagi menjadi dua kategori. Kategori disabilitas dan lansia mendapat prioritas untuk lebih dulu mendapatkan taxi. Sementara, orang biasa akan satu persatu mendapat giliran masuk taksi.
Dua jam menunggu akhirnya saya mendapat giliran mendapat taxi. Saya meminta supir untuk mengantarkan ke hotel Heroes. Tepatnya di Florentino Torres St. Osmena Highway, San Andres Bukid, Manila, Metro Manila, Philippines, 1260.
Belum juga mobil berjalan berapa meter, taxi kami sudah dihadapkan pada kemacetan yang luar biasa. Jarak yang harusnya ditempuh 27 menit pun molor sampai lebih dari satu jam. Tak hanya soal macet, ternyata banyak truk di bagian sisi kanan kiri kami.
"Di sini memang macetnya cukup parah. Apakah di negaramu ada yang seperti ini?" tanya Edwin, supir taxi, 35 tahun.
Saya bilang, "Wilayah ini seperti Jakarta tapi ini mungkin parah juga."
Sesekali Edwin menunjukkan kemacetan di beberapa titik. Kebetulan kami melewati flyover yang bisa melihat keadaan jalanan di bawah. "Itu mirip parkiran mobil padahal ini jalan besar, jalan raya," ucapnya.
Sontak, saya berpikir. Jika Manila saja semacet ini, bagaimana peliput melaksanakan tugasnya untuk SEA Games nanti dalam 12 hari ke depan.
"Kamu memang tugasnya di mana? Jika di Clark mungkin tak separah ini sebab itu kota baru," Edwin menjelaskan.
Filipina sebagai tuan rumah memang menetapkan empat wilayah untuk pelaksanaan event 56 cabang olahraga, yakni Clark, Subic, Metro Manila, dan area Lain atau BLT (Batangas, La Union, dan Tagaytay).
Tuan Rumah Lupa Anstisipasi KemacetanTuan rumah sepertinya lupa untuk mengantisipasi kemacetan di daerahnya. Menukil dari
news.abs-cbn, seorang pengendara membutuhkan waktu tempuh 4,9 menit dalam perjalanan dengan jarak 1 km di ibukota Filipina.
Manila lebih buruk ketimbang Bogota, Kolombia, yang membutuhkan waktu 4 menit untuk jarak yang sama. Sementara Indonesia hanya 3,83 menit.
The Asian Development Bank bahkan baru-baru ini menempatkan Metro Manila sebagai kota paling padat di Asia. Apalagi dengan kurangnya transportasi umum yang efisien menjadi faktor terjadinya kemacetan yang berkepanjangan sampai-sampai memakan korban jiwa. Sebab, ambulans kesulitan membawa pasiennya mencapai rumah sakit karena keterlambatan yang parah.
Tak hanya itu, dilansir dari Manilatimes.net, dalam sebuah penelitian data Numbeo, basis data terbesar dari data kontribusi tentang kota dan negara di seluruh dunia, menjadikan Manila sebagai kota kelima di dunia dengan kondisi lalu lintas terburuk tahun ini dengan Indeks Lalu Lintas 309,37.
ILL adalah Indeks gabungan waktu yang digunakan dalam lalu lintas karena pekerjaan, estimasi ketidakpuasan konsumsi waktu, konsumsi karbon dioksida (CO). Empat negara lainnya, yaitu India, Dhaka, Bangladesh, dan Nairobi, Kenya.
Numbeo juga menetapkan Manila sebagai kota di urutan kelima dalam Indeks Emisi CO2, perkiraan konsumsi CO2 karena waktu lalu lintas.
Data dari Biro Manajemen Lingkungan Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam (DENR-EMB) mengungkapkan 12 persen kematian dini di Metro Manila disebabkan oleh kualitas udara yang buruk, terutama partikel.
Menghirup dan menelan polutan ini dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan kardiovaskular seperti asma, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit jantung dan stroke.
"Paparan polutan udara sebagian besar di luar kendali individu dan membutuhkan tindakan oleh otoritas publik di tingkat nasional, regional dan bahkan internasional," kata WHO, dalam Manilatime.net
Belajar dari Indonesia yang menyelenggarakan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Indonesia juga memiliki persoalan yang sama, yakni kemacetan.
Namun, pelaksanaan diupayakan agar tidak terganggu dengan pengalihan arus. Selain itu, anak sekolah diliburkan, memanfaatkan vorijder. Bahkan, para pewarta mendapatkan shuttle untuk meliput.
Sementara di Manila, pada kenyataannya untuk shuttle sejauh ini belum ada. Bahkan, para peliput kesulitan untuk mencari armada transportasi. Meski di sini tersedia transportasi online.