Jakarta -
Sepeda Brompton menjadi perbincangan usai diselundupkan oleh Direksi PT Garuda Indonesia. Seperti apa sejarah di balik sepeda idola para jutawan ini?Dua sepeda Brompton diketahui diselundupkan ke Indonesia menggunakan Garuda Indonesia bersama dengan komponen Harley Davidson sebelum akhirnya digagalkan Bea Cukai. Hal ini membuat sang Dirut,
Ari Ashkara, dicopot dari jabatannya oleh Menteri BUMN,
Erick Thohir.
Brompton merupakan sepeda lipat yang memiliki gengsi tersendiri dikarenakan harganya yang mahal. Nama itu berasal dari 'Brompton Oratory', sebuah gereja di London yang bisa dilihat dari jendela apartemen Andrew Ritchie, saat ia merintis usahanya itu di tahun 1976.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua bermula saat di pertengahan 1970-an Ritchie dikenalkan oleh ayahnya pada Bill Ingram, yang sedang mencari dana untuk Bickerton, perusahaan Inggris pelopor sepeda lipat.
 Foto: Sepeda Brompton yang dibawa pesawat Garuda Indonesia (Vadhia Lidyana/Detikcom) |
Pertemuan itu menginspirasi Ritchie. Setelah Ingram pulang, ia segera menggambar sebuah desain sepeda lipat. Setelahnya, percobaan membuat sepeda lipat pertama pun dimulai.
Awalnya, Ritchie mengajak 10 orang temannya untuk menjadi investor, masing-masing memberikan 100 pound sterling. Dari uang yang terkumpul, Ritchie membuat prototipe pertamanya, yang selesai dalam setahun.
Setelah berhasil membuat 3 sepeda lipat prototipe, awalnya Ritchie hendak menjual desainnya pada perusahaan sepeda raksasa, salah satunya Raleigh, namun tak ada hasil. Meski begitu, Ritchie tak menyerah. Ia justru berhasil mendapatkan 30 pemesan yang bersedia membayar di muka, meski sepedanya belum dibuat.
Produksi 50 Ribu Sepeda SetahunMeski hanya mendapat 30 pesanan, Ritchie justru membuat 50 sepeda lipat. Ia berharap akan ada 20 orang lainnya yang mungkin tertarik membeli sepeda lipat buatannya. Benar saja, setelah 18 bulan, pembuatan sepeda selesai dan semuanya laku terjual.
Pada awal 1980-an, Ritchie mendapatkan dana dari investor sebesar 8 ribu Pound. Dalam kurun waktu 2 tahun, ia pun memproduksi 500 sepeda. Saat itu, ia hanya memiliki seorang pegawai.
Selanjutnya, untuk memperlancar produksinya, ia mulai mencari para pemberi dana besar. Meski saat itu bisnis sepeda sedang lesu, Ritchie bisa meyakinkan Julian Vereker, pendiri Naim Audio, untuk mengucurkan dana 40 ribu Pound. Ditambah dana dari ayahnya dan rekan-rekannya, Ritchie berhasil mengumpulkan sekitar 50 ribu Pound. Sejak itu, Brompton mulai lepas landas.
Produksi dengan kondisi yang layak baru dimulai tahun 1988 di wilayah Brentford, London. Ritchie menyebut perusahaannya kala itu tak pernah memiliki stok sepeda.
Penampakan Brompton yang diselundupkan lewat pesawat Garuda Indonesia Foto: Agung Pambudhy |
"Semua sepeda lipat yang dibuat selalu terjual. Bahkan kami sudah untung sejak hari pertama," ujar Ritchie pada
Guardian, di tahun 2005.
Di tahun itu pula
Ritchie menyerahkan roda perusahaan pada William Butler-Adams, yang menjabat sebagai CEO sampai sekarang. Meski begitu, Ritchie masih menjadi pemegang saham.
Saat ini, pabrik Brompton sudah pindah ke wilayah Greenford, London dan mampu memproduksi 50 ribu sepeda lipat per tahunnya. 80 persen di antaranya diekspor keluar Inggris, dan telah dipakai di 47 negara, salah satunya Indonesia.
Untuk menjaga kualitas, Brompton sampai saat ini hanya memiliki pabrik di London dan dibuat dengan tangan. Hal ini pula yang membuat harganya cukup tinggi dan bergengsi di kalangan pecinta sepeda lipat.