"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Pepatah itu tepat untuk menggambarkan pencapaian Windy Cantika Aisah, peraih medali pertama bagi Indonesia dari cabang olah raga angkat besi di Olimpiade Tokyo 2020. Dulu ada sang ibunda yang melakukannya.
Windy Cantika Aisah, anak ketiga dari pasangan Asep Hidayat (50) dan Siti Aisah (51), mempersembahkan medali Olimpiade Tokyo 2020 buat Indonesia di usia yang masih 19 tahun. Di usia belia pula ibunda tercinta meraih medali perak Kejuaraan Dunia 1988.
![]() |
Siti Aisah, yang kini berusia 51 tahun, mengungkap perjalanan kariernya sebagai lifter wanita saat detikSport menyambangi rumahnya di Kampung Babakan Cianjur, Desa Malasari, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Selasa (27/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sembari melihat album foto di masa-masa dirinya masih jadi lifter, Siti yang terlahir sebagai seorang anak petani di kampung mengaku tak pernah terpikir akan menekuni karier tersebut.
Ketertarikan terhadap dunia angkat besi berawal saat Siti Aisah masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Ibunda Windy Cantika Aisah itu sering melihat aktivitas seorang tetangganya, yang adalah Maman Suryaman -- peraih medali Indonesia di Asian Games 1982.
"Dulu Pak Maman dapat rumah hasil juara, rumahnya depan rumah saya di Legokloa, Pameungpeuk. Berangkat, pulang sekolah, saya sering lihat pak Maman latihan angkat besi. Dari situ saya diajak sama istri pak Maman, dan saya mau aja ketika itu," tutur Siti.
![]() |
Siti menggambarkan, olahraga angkat besi saat itu bukanlah olahraga populer. Usahanya menggeluti dunia itu pun bertambah tantangannya karena adanya anggapan seorang wanita masih tabu menjadi lifter. Ada saja cibiran dari orang sekitar.
"Kita dicibir tetangga, banyak dibully-lah. Masa perempuan perempuan gini angkat besi. Ya dimaklum, dulukan televisi hanya TVRI saja, jadi kurang tahu lah angkat besi seperti apa," ujarnya sembari masih mengenakan pakaian kerjanya.
"Tapi sampai sekarang juga, angkat besi tanggapannya sebelah mata. Sedangkan, angkat besi ini bisa menembus olimpiade," lanjutnya.
Setelah lama berlatih, Siti pun diajak untuk mengikuti Kejurnas. Di Kejurnas, ia meraih posisi pertama dibanding kontestan lainnya. Ia pun melenggang ke Pelatnas untuk persiapan Kejuaraan Dunia 1987.
Saat itu, ia masih masih berusia 18 tahun ketika berangkat bersama dua atlet wanita lainnya, yakni Ponco Ambarwati dan Pergunan Tarigan.
"Waktu itu saya sering dipanggil bau kencur karena saya paling muda di Pelatnas," kata Siti sembari tertawa mengenang masa silam.
Di Amerika, petarung besi dari merah putih tidak memperoleh medali, Siti hanya berada di posisi keempat.
![]() |
Namun, pembuktian dilakukan tiga lifter itu di Jakarta ketika Kejuaraan Dunia 1988 digelar di Indonesia. Siti menjadi peraih termuda dan pertama cabor angkat besi wanita dari Indonesia.
"Kembali ke Indonesia, ada Kejuaraan Dunia kedua, diadakan di Indonesia di balai sidang. Saya dapat urutan kedua, saya kalah dari China, di bawah saya Amerika," ungkap Siti.
Pasca-Kejuaraan Dunia, Siti pun mengikuti sejumlah multievent di luar negeri dan dalam negeri. Akhirnya, ia benar-benar pensiun dari dunia angkat besi ketika Windy berusia satu tahun.
![]() |
"Terakhir ikut perlombaan pas Cantika belum satu tahun, kira-kira 2002, saya masih ikut Porda, di Indramayu, dapat ke satu juga. Umur 30-an lebih. Cantika dibawa, nonton digendong sama bapaknya," tuturnya Siti.
Saat ini, Siti telah memiliki tiga orang anak. Ketiga anaknya mengikuti jejak sang ibu menjadi atlet dan wasit angkat besi. Anak pertama, Sendy Jaidul Hikmat (27), kemudian Randy Firmansyah(22) dan Windy Cantika Aisah (19).
Di masa pensiunnya, kini ia menghabiskan waktu bekerja di instansi pemerintahan. Kecintaannya pada angkat besi tidak luntur, di sela pekerjaannya ia pun melatih angkat besi untuk anaknya dan anak di kampungnya di halaman rumah.
(krs/ran)