Akademisi meminta Panitia Kerja (Panja) DPR RI lebih cermat membahas Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No.3 Tahun 2005. Salah satunya terkait hal yang berkaitan masa depan pembinaan atlet.
Dosen Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Tommy Apriantono menilai Panja DPR RI pemerintah perlu mengambil langkah tegas terkait regulasi dan dana pensiun atlet.
Sebab, regulasi saat ini masih abu-abu karena ada peraih medali Olimpiade yang turun di PON. Hal ini, dikhawatirkan Tommy, dapat mematikan regenerasi atlet sehingga ia berharap Panja RUU SKN dapat memberi solusi.
"Jepang punya Japan Institute of Sports Science (JISS) yang terafiliasi dengan Kementerian, seperti Deputi IV Kemenpora kalau di Indonesia. JISS adalah pengawas berisi expertise dan independen, mereka mengatur siapa yang boleh turun di National Sports Festival atau semacam PON versi Indonesia. Mereka tegas, tidak boleh atlet Olimpiade, apalagi yang peraih medali turun di sana," kata Tommy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/10/2021).
"Belum lagi soal pembajakan atlet dan bonus yang tidak diatur, sehingga akhirnya terkesan daerah ingin buahnya saja dan tidak ada yang membina sejak awal. Termasuk mengatur bonus, mulai dari PON, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade. Regulasi. Ini perlu diatur tegas pemerintah karena negara-negara maju juga mengatur hal tersebut, multi event sekelas PON tidak perlu ada bonus sehingga juga terpacu."
"(Soal dana pensiun atlet) Dulu sudah pernah ada, tetapi menurut Kementerian Keuangan tidak ada dasar hukumnya sehingga diberhentikan. Ini yang perlu dimasukkan oleh Panja RUU SKN agar atlet-atlet memiliki orientasi meraih medali Olimpiade," ujar Tommy.
Hal lain yang juga ia soroti terkait rencana penyatuan KONI dan KOI. Menurutnya, Panja DPR RI tak perlu beradu pendapat untuk menyatukan kedua lembaga tersebut sebab secara fungsi berbeda. KOI mengurus keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dan KONI mengurus olahraga di sektor nasional.
Fungsi itu tercantum dalam UU SKN. Pasal 36 menuliskan KONI yang dibentuk federasi olahraga nasional bersifat mandiri dan melaksanaan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya serta melaksanakan dan mengoordinasikan kegiatan multi event tingkat nasional.
Sementara Pasal 44 menulis keikutsertaan Indonesia di multievent internasional dilakukan KOI atau National Olympic Committee (NOC) yang diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC). Pada Ayat 4 pun disebut, KOI bekerja sesuai dengan aturan IOC, Dewan Olimpiade Asia (OCA), serta South East Asia Games Federation (SEAGF) serta organisasi olahraga Internasional lain yang terafiliasi dengan IOC dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-Undang.
"KOI dan KONI tinggal memaksimalkan fungsi karena berbeda tugas. Apabila disatukan cakupan kerjanya sangat luas dan tidak bisa satu organisasi mengatur semua. Menurut saya sistem saat ini sudah tepat, pembinaan di induk federasi olahraga nasional, tetapi perlu di atur atlet mana yang turun di multi event tersebut," kata Tommy.
Sistem tersebut, menurut Tommy, telah diterapkan di banyak negara. Salah satunya Jepang yang memiliki Japan Olympic Committee (JOC) dan Japan Sports Association (JSPO). JOC, diterangkan Tommy, seperti KOI yang berafiliasi dengan IOC dan OCA untuk mengurus dan mengatur multi event internasional. Sementara JSPO serupa KONI yang mengurus multi event nasional.
Selain itu, ada beberapa poin penting yang perlu disoroti Panja RUU SKN, di antaranya menyertakan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON).
"Tren di Indonesia ganti pimpinan, ganti kebijakan. Bappenas era Bambang Brodjonegoro pernah menyusun peta jalan prestasi olahraga Indonesia. Kemenpora saat ini punya DBON yang sudah menjadi Perpres, tetapi tak cukup. Perlu undang-undang agar tak berubah ketika pimpinannya berganti," kata Tommy.
Simak Video "Didesak Mundur dari Kepala BRIN, Tri Handoko: Ya Boleh-boleh Saja"
[Gambas:Video 20detik]
(mcy/cas)