Premier League Sebagai Frankenstein (Bagian 2)

Premier League Sebagai Frankenstein (Bagian 2)

- Sepakbola
Rabu, 13 Mar 2013 14:50 WIB
Mark Thompson/Getty Images
Jakarta - (Bagian pertama baca di sini)


BSkyB dan Revolusi Komersial Sepakbola Inggris

Berdirinya Premier League bertepatan dengan berakhirnya perjanjian hak siar dengan BBC dan ITV. Klub-klub bersiap untuk merenegosiasi nilai kontrak dan mendapatkan jumlah yang lebih besar lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keinginan ini juga disambut oleh pihak televisi yang juga mencium adanya pasar besar yang bisa dikapitalisasi dari sepakbola. Salah satu di antaranya adalah BSkyB, perusahaan milik taipan media Rupert Murdoch.

Berbeda dengan ITV yang mendapatkan pemasukan dari iklan dan menayangkan sepakbola secara gratis, BSkyB adalah televisi berbayar (pay TV). Sumber pemasukan utama mereka adalah dari iuran berlangganan. Pada waktu itu, televisi berbayar sendiri masih dianggap sebagai barang mewah di Inggris. BSkyB melihat sepakbola, khususnya Premier League, sebagai salah satu alat mereka untuk melakukan penetrasi pasar televisi di Inggris. Karena itu mereka berani untuk mengeluarkan dana gila-gilaan untuk menyaingi BBC dan ITV.

Setelah melewati proses voting, mayoritas klub pun akhirnya memilih BSkyB sebagai pemegang hak siar televisi. Nilai kontraknya pun naik hampir 240%-nya. Pada musim 1988-1992 BBC dan ITV membayar £11 juta per tahun untuk hak siar 92 klub. Untuk musim perdana Premier League, BSkyB berani mengeluarkan hingga £38.3 juta/tahun untuk kontrak 22 klub.

Namun, bukan hanya uang yang diberikan BSkyB, tapi juga cara-cara bagaimana sepakbola dikemas. Saat melakukan negosiasi dengan ke-22 klub Premier League, BSkyB sekaligus memberikan suatu platform revolusi komersial sepakbola. Hal ini dilakukan untuk (lagi-lagi) menarik pelanggan. Pada awal 1990-an, membayar untuk tayangan sepak bola adalah hal asing bagi penduduk Inggris. Karena itu diperlukan strategi khusus agar para penggemar bola mau merogoh kocek untuk menyaksikan pemain kesayangan beraksi di televisi.

Dengan tayangan langsungnya, BSkyB sangat memanjakan para fans yang melihat sepakbola dari televisi. Mulai dari mengatur letak microphone dalam stadion untuk lebih memperdengarkan suara suporter, menempatkan berbagai kamera untuk mendapatkan sudut gambar terbaik, serta meningkatkan teknik replay video dilakukan Sky untuk membuat mata penonton lekat pada televisi. Jadwal pertandingan juga diatur agar big match selalu mendapatkan hari dan jam yang paling baik.

"Olahraga sebagai drama dan olahraga sebagai opera sabun -- itu apa yang orang ingin saksikan di televisi," ujar Dave Hill kepala Sky Sports (bagian dari BSkyB ) pada 1991. Karena itu, tidak heran jika sepakbola yang hanya berlangsung dalam waktu 2 x 45 menit bisa "diperpanjang" oleh BSkyB. Wawancara, diskusi, preview pertandingan, build-up, dan pernak-pernik tayangan televisi lainnya mulai diperkenalkan dengan format yang lebih menarik penonton.

BSkyB pun mulai mengemas brand Premier League. Liga ini 'dikenalkan' ke seluruh dunia sebagai kompetisi sepakbola terketat di seluruh dunia.

Salah satu ikon yang sering digunakan oleh BSkyB adalah pertandingan antara Liverpool dan Newcastle United pada 3 April 1996 yang berakhir 4-3. Berulang kali cuplikan pertandingan ini ditayangkan untuk menanamkan "ilusi" bahwa Premier League adalah liga dengan tensi tertinggi dan atmosfer terbaik yang mampu memacu jantung penontonnya. Keinginan Alex Fynn pun tercapai. Ada satu liga yang menjadi showcase sepakbola Inggris.

Perubahan kemasan ini membawa dampak finansial positif bagi klub-klub. Mereka lebih mudah mengikat kerjasama dengan sponsor dan menjual pernak-pernik ke pasar luar negeri. Karena BSkyB-lah maka klub-klub Premier League kini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam pendapatan komersial dan pendapatan penjualan tiket.

Hanya dalam lima tahun pengaruh BSkyB telah berdampak signifikan. Klub Premier League mampu meningkatkan kemampuan dalam membayar gaji pemain bintang. Akibatnya, pemain-pemain Eropa dan Amerika Selatan yang dulunya lebih memilih Liga Italia atau Spanyol mulai melirik tanah Inggris. Pemain seperti Dennis Bergkamps, Gianfranco Zola, atau Gianluca Vialli pun berdatangan.

Selain itu, perubahan dari sisi komersial ini juga semakin mendorong perubahan motif dalam sepakbola Inggris. Dulu, maksimasi profit dan keuntungan finansial dilihat sebagai hal yang tabu untuk dikejar. Bahkan hal ini secara nyata dilarang melalui peraturan pembatasan pembayaran dividen pemegang saham pemilik klub. Akan tetapi pada 1998, enam tahun setelah adanya Premier League, peraturan ini pun dihapuskan. FA berargumen bahwa klub sepak ola haruslah lebih ramah lagi pada investor.

Bagaimana dengan BSkyB sendiri? Pertaruhan mereka membayar mahal hak siar Premier League dan memasuki pasar olahraga berhasil. Hingga saat ini, sekitar 7 juta dari 10 juta konsumen Sky berlangganan saluran sepakbola.

Perjudian Klub-Klub Kecil

Seiring dengan peningkatan pendapatan klub Premier League, gap antara Premier League dan liga di bawahnya pun semakin besar. Dari seluruh uang yang beredar di sepakbola Inggris, pada 2003 saja Premier League menguasai hampir 74%-nya. Sementara divisi 1, 2, dan 3 hanya 18%, 6%, dan 3%-nya saja. Pada tahun itu, total pendapatan Premier League mencapai £ 1,25 miliar, sementara divisi 1 (Championship) hanya £ 206 juta.

Berlimpahnya uang yang berada di Premier League kemudian mendorong klub-klub di divisi bawah untuk promosi dan kemudian mempertahankan diri di Premier League. Mereka lalu ber-'investasi' dengan meningkatkan gaji untuk mendatangkan pemain-pemain berbakat yang bisa membantu klub untuk promosi. Bahkan, pada musim 2001/2002 saja, gaji pemain yang dibayarkan klub-klub divisi 1 hampir setara dengan pendapatan yang diterima.

Tapi tindakan ini memiliki risiko tinggi. Kalaupun klub berhasil promosi ke Premier League, maka tantangan selanjutnya yang harus dihadapi adalah mempertahankan diri di liga ini. Mereka-mereka yang ingin bertahan harus berinvestasi lagi pada pemain berbakat dan kembali meningkatkan gaji pemain. Padahal, jika mereka terdegradasi dan balik ke divisi 1 maka mereka tetap harus menanggung kontrak gaji pemain yang nilainya tak mungkin diturunkan.

Akibatnya, krisis finansial mulai menghampiri klub-klub kecil. Pada periode 1999-2004 tercatat 22 klub dari divisi 1, 2, dan 3 mengalami kebangkrutan. Bahkan, ada 3 klub yang sampai dua kali bangkrut, yaitu Bradford, Luton, dan Swindon. Rata-rata klub ini gagal membayar tumpukan utang sementara mereka kehilangan pemasukan dari hak siar televisi karena terdegradasi.

Kondisi tersebut berbeda dengan klub-klub besar yang notabene memiliki jaring pengaman lebih kuat yang berasal dari penjualan tiket dan sponsorship. Bagi klub-klub kecil, uang dari hak siar televisi ini (hampir) jadi segalanya.

Bak monster ciptaan Victor Frankenstein yang kemudian membunuh orang-orang di sekitarnya, Premier League kini membunuh klub-klub kecil yang mencoba masuk kedalamnya. Alex Fynn kini hanya mampu mengulangi kata-kata "seharusnya dulu..." sebagai pembenaran untuk monster yang dulu ia bantu ciptakan. Sebagaimana Victor menyesali mengapa mata monster berwarna kuning dan berair dan bukan putih dan berbinar bak mata seorang manusia.



==

* Akun twitter penulis: @andreasmarbun dari @panditfootball





(a2s/rin)

Hide Ads