'Merusak' Hegemoni Liga Primer Inggris a la Slaven Bilic

'Merusak' Hegemoni Liga Primer Inggris a la Slaven Bilic

Ardy Nurhadi Shufi - Sepakbola
Selasa, 17 Mei 2016 09:02 WIB
Foto: Clive Rose/Getty Images
Jakarta - Leicester City menjadi buah bibir atas keberhasilan mereka menjuarai Liga Primer Inggris. Namun sebenarnya, West Ham United pun menjadi sosok antagonis yang membuat peta persaingan papan atas Liga Primer berubah.

Menurunnya penampilan kesebelasan-kesebelasan papan atas seperti Chelsea, Manchester United, Manchester City, Arsenal, dan Liverpool, menjadi salah satu faktor Leicester bisa mengakhiri musim 2015/2016 sebagai juara. Dan tak superiornya tim-tim papan atas tersebut, salah satu faktornya, disebabkan oleh West Ham United.

West Ham tampil sebagai kuda hitam Liga Primer musim ini. Lima kesebelasan yang disebutkan di atas, tak ada satupun yang mampu mengalahkan The Hammers . Dan hal ini terjadi karena ulah seorang pria asal Kroasia bernama Slaven Bilic.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bilic Menjadikan West Ham Sebagai Giant Killer

Tak ada yang mengira penunjukkan Slaven Bilic sebagai manajer baru West Ham pada 9 Juni 2015 akan membuat perubahan bagi wajah Liga Primer. Saat itu ia menggantikan Sam Allardyce yang sebelumnya sudah menangani West Ham sejak 2011.

Dalam rekam jejak Bilic sebagai pelatih, ia belum pernah menangani kesebelasan besar liga top Eropa. Puncak kariernya sebelum ke West Ham mungkin hanya menangani timnas Kroasia yang pada Piala Eropa 2008 melangkah ke babak perempat final sebelum ditaklukkan Turki.

Kariernya di Lokomotiv Moskow dan Besiktas setelahnya pun tak mengundang decak kagum. Bersama Lokomotiv, Bilic hanya bertahan satu musim dengan persentase kemenangan cumaa 40%. Sementara di Besiktas, kontrak tiga tahunnya sudah diputus pada tahun kedua karena manajemen kurang puas atas kinerjanya.

Karenanya tak mengherankan, saat diumumkan sebagai manajer baru West Ham, media Inggris tak terlalu tertarik untuk menggembor-gemborkan namanya. Meskipun berstatus pendatang baru sebagai manajer di Inggris, ia bukan nama baru di sepakbola Inggris karena saat masih menjadi pemain, Bilic sempat berseragam West Ham dan Everton pada periode 1996 hingga 1999.

Namun yang terjadi kemudian, Bilic langsung mengejutkan. Pada pekan pertama Liga Primer, kejeliannya menentukan strategi membuat Arsenal gigit jari di Emirates Stadium. Skuat besutan Arsene Wenger tersebut dikalahkan 0-2 oleh West Ham yang saat itu memainkan pemuda bernama Reece Oxford sebagai debutan.

Sempat tampil buruk saat dikalahkan Leiceser City dan AFC Bournemouth, usai mengalahkan Arsenal, Bilic kembali menunjukkan sihirnya dengan menjungkalkan Liverpool di Anfield. Skor 0-3 untuk West Ham tersebut menjadi kemenangan pertama dalam sejarah West Ham atas Liverpool di Anfield sejak 1963.

Dua minggu berselang, Bilic kembali menorehkan rekor untuk West Ham. Ia berhasil membuat timnya untuk pertama kalinya menang di laga tandang tiga kali beruntun. Dalam sejarah Liga Primer, hanya ada tiga kesebelasan yang berhasil melakukannya; Everton (1995-1996), Manchester United (2004-2005), dan Chelsea (2005-2006).

Uniknya, dalam kemenangan tiga kali beruntun tandang tersebut West Ham mengalahkan kesebelasan-kesebelasan besar. Kemenangan tandang ketiga (setelah mengalahkan Arsenal dan Liverpool) yang diraih West Ham saat itu adalah dengan menjungkalkan Manchester City di Etihad Stadium (1-2).

Sejak saat itu West Ham mulai diperhitungkan sebagai giant killer (pembunuh raksasa). Dan yang terjadi sepanjang musim ini pun demikian adanya. Chelsea dan Manchester United pun berhasil dikalahkan West Ham. Bahkan Liverpool berhasil dikalahkan dalam dua kali pertemuannya di Liga Primer musim ini.

Hanya Tottenham Hotspur tim top yang berhasil mengalahkan West Ham pada musim ini. Namun, Tottenham pun sebenarnya masih berstatus kuda hitam pada musim ini karena pada musim-musim sebelumnya kesulitan mengakhiri musim di posisi empat besar.

(Sumber data: Premier League)

Rahasia Bilic Menjadikan West Ham Sebagai Giant Killer

Mengalahkan kesebelasan bertabur bintang jelas bukan hal yang mudah bagi siapapun. Namun, berhasil tak kalah (bahkan menang) dari semua kesebelasan besar Liga Primer musim ini jelas prestasi yang membanggakan untuk kesebelasan sekelas West Ham.

Namun bagi Bilic, mungkin hal tersebut bukan hal yang aneh. Justru sebaliknya, bagi pelatih yang juga sempat memiliki band bernama Rawbau di Kroasia ini, mengalahkan kesebelasan besar lebih mudah ketimbang mengalahkan kesebelasan dengan level reputasi yang sama atau lebih rendah.

Hal ini sudah Bilic katakan jauh sebelum ia melatih di Inggris musim ini. Saat melatih Kroasia, ia tercatat berhasil mengalahkan Jerman, Italia, serta dua kali mengalahkan Inggris. Hasil imbang juga pernah ditorehkan saat menghadapi Prancis dan Italia.

Dalam pemaparannya saat mengalahkan Jerman dengan skor 2-0 di Piala Eropa 2008, selain strategi yang ia terapkan, Bilic mengatakan bahwa baginya lebih mudah mengalahkan kesebelasan yang lebih kuat dari timnya. Hal ini dikarenakan kesebelasan besar biasanya memiliki pakem bermain tertentu sehingga mudah terbaca permainannya.

"Lucunya, lebih mudah mempersiapkan tim untuk menghadapi kesebelasan seperti Jerman ketimbang menghadapi kesebelasan seperti Austria. Semakin besar sebuah kesebelasan, semakin bisa terprediksi cara bermain mereka," ujar Bilic seperti yang dikutip Independent pada 2008.

"Ini sama halnya jika kita membicarakan Manchester United, misalnya. Mereka sudah memiliki cara bermain mereka sendiri. Yang tinggal dilakukan selanjutnya adalah dengan memastikan para pemain agar bisa menghadapi mereka," sambungnya.

Ternyata apa yang dikatakannya delapan tahun lalu itu bukan omong kosong. Pada pertemuan pertama menghadapi Manchester United, anak asuhnya berhasil bermain imbang 0-0 di Old Trafford. Sementara saat bermain di Boleyn Ground, Bilic berhasil menjungkalkan MU dengan skor 3-2.

Bilic menyukai permainan terbuka. Dan permainan terbuka, menurutnya, sangat cocok menghadapi kesebelasan besar yang biasanya sama-sama memainkan permainan terbuka.Β  Dengan lawan bermain terbuka, akan mudah menemukan celah yang bisa dieksploitasi.
[Sumber foto: Clive Rose/Getty Images]

Selain itu, Bilic juga tak ingin membuat para pemainnya gugup saat di lapangan. Mental seperti ini penting saat menghadapi kesebelasan besar di mana para pemain dari kesebelasan besar biasanya sering tertekan karena tuntutan harus menang menghadapi kesebelasan lebih kecil.

"Saya tak bisa memengaruhi pertandingan kecuali dengan kata-kata saya. Saya memberikan instruksi pada mereka, tapi saya tidak pernah mengkritik mereka saat bermain. Saya tidak ingin membuat mereka gugup, saya ingin mereka tetap dalam momentum," ungkap Bilic.

"Beberapa manajer mungkin melakukan cara yang berbeda saat mereka berada di pinggir lapangan. Saya tak mengatakan yang ini benar dan yang lainnya lebih baik. Tapi dengan mendorong para pemain saya, mengarahkan mereka, adalah cara saya melakukannya [mengalahkan tim besar], dan saya tidak akan mengubah cara tersebut," tuturnya.

Bilic memang berusaha selalu berhubungan baik dengan para pemainnya. Ia tak pernah melarang apapun pada pemainnya. Bahkan saat ia menangani Kroasia, ia tak masalah dengan dua pemainnya yang merupakan perokok.

"Di tim saya [Kroasia], saya memiliki dua perokok," kata Bilic pada 2008 seperti yang dikutip The Guardian. "Hal ini tak mengganggu saya. Mereka tak merokok di ruang ganti, mereka juga tak merokok di depan saya. Tapi jika pun mereka merokok di depan saya, jika itu di bar hotel saat kami sedang makan siang, mengapa saya harus menyuruhnya berhenti merokok?"

Soal rokok, sebenarnya tak aneh Bilic memperbolehkan para pemainnya menjadi perokok. Hal ini dikarenakan saat Bilic menjadi pemain, ia pun seorang perokok. Bahkan saat ia menjadi pemain sangara Kroasia, pelatihnya saat itu, Miroslav Blazevic, merokok bersamanya, juga bersama sembilan pemain Kroasia lainnya.

Pro dan kontra tentunya muncul atas keputusan-keputusan Bilic pada pemainnya. Tapi menurutnya, kebebasan yang ia berikan pada anak asuhnya tidak salah. Hal ini sudah ia konsultasikan dengan Arsene Wenger dan Marcello Lippi.

"Saya keliling Eropa untuk banyak belajar. Saya kemudian menemui Marcelo Lippi di Juventus dan Arsene Wenger di Arsenal," aku Bilic. "Saya tidak bermaksud besar kepala, tapi Lippi dan Wenger tak memberi tahu saya sesuatu yang baru. Mereka hanya menunjukkan bahwa apa yang sudah saya lakukan benar."

***

Filosofi yang dianut Bilic terbukti membuat kesebelasan-kesebelasan papan atas Liga Primer gigit jari. Karena ulahnya, Manchester United, Manchester City, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea harus kehilangan setidaknya empat poin. Belum lagi setiap kekalahan, apalagi dikalahkan kesebelasan dengan reputasi lebih kecil, bisa memengaruhi mental para pemain kesebelasan besar.

Dengan cara itulah Bilic "merusak" hegemoni Liga Primer yang biasanya hanya menjadi milik kesebelasan-kesebelasan mapan. Meski tak berakhir seperti Leicester City, menempati peringkat enam di akhir klasemen (atau peringkat lima jika menyalip Manchester United pada pekan terakhir) merupakan prestasi terbaik dalam 16 tahun terakhir.

Belum lagi pada tengah musim ini mereka sempat terganggu ketika Dimitri Payet yang menjadi andalan musim ini mengalami cedera dan absen di delapan pertandingan West Ham. Musim depan, West Ham bisa jadi akan lebih mengerikan dibanding musim ini.

[Sumber foto: Clive Rose/Getty Images]


=====

* Penulis adalah anggota redaksi @PanditFootball, beredar di dunia maya dengan akun twitter: @ardynshufi

(a2s/roz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads