Mimpi untuk berlaga di ajang tertinggi antar negara di dunia itu kini memang seakan jadi satu-satunya puncak pencapaian prestasi suatu negara, terutama di Indonesia. Tidak sreg rasanya jika tidak mentargetkan "masuk ke Piala Dunia tahun XXXX" dalam setiap program pembinaan pemain usia muda. Kalau tidak 2022, ya 2026. Atau, paling banter, ya 2030. Pokoknya bakat-bakat terbaik negeri ini harus tampil bersama-sama pemain kelas dunia lainnya. Bagaimanapun caranya.
Tapi, kali pertama Indonesia, atau Hindia Belanda, mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan tim ke Piala Dunia, PSSI menanggapinya dengan dingin. Biasa saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesempatan untuk mencicipi panggung internasional pertama kalinya datang pada 1938, atau pada Piala Dunia ketiga. Saat itu Asia jadi benua yang belum pernah mengirimkan wakilnya ke kompetisi ini dalam dua penyelenggaraan sebelumnya.
Undangan sendiri sebenarnya dikirimkan oleh FIFA pada NIVU, organisasi yang resmi tercatat sebagai bagian FIFA untuk mewakili Hindia Belanda (bukan Indonesia). FIFA pun kemudian menunjuk Karl Lostji sebagai penanggung jawab penyusunan timnas Hindia Belanda.
Perihal Hindia Belanda yang mendapat undangan dari FIFA, ada dua versi tentang alasan di belakang undangan ini. Pertama adalah karena Hindia Belanda dinilai memiliki armada laut yang cukup tangguh, sehingga memungkinkan untuk pergi ke benua Eropa. Memang, di awal-awal penyelenggaraan Piala Dunia, banyak negara yang tak sanggup untuk mengikuti karena harus menempuh ganasnya perjalanan lewat laut.
Sementara versi kedua adalah karena Belanda mengirim timnasnya ke Prancis. Mungkin sekali Belanda melobi FIFA untuk dapat mengirimkan timnya yang kedua, walaupun berasal dari negara jajahannya. Apalagi NIVU memang sudah terdaftar sebagai anggota resmi FIFA.
Piala Dunia 1938 sendiri sarat dengan aroma politis dan kental dengan sikap tarik ulur antara anggota FIFA saat itu. Di era tersebut, sepakbola, dan mayoritas olahraga lainnya, memang sering digunakan sebagai alat propaganda. Hasil dari pertandingan-pertandingan internasional dilihat bukan hanya sebagai refleksi dari skill atau tingkat kemampuan sepakbola suatu negara, tapi juga cerminan dari kondisi sosio-politik dan kekuatan negara tersebut.
Tak heran jika Benito Mussolini sampai mengirimkan pesan singkat "menang atau mati" pada timnas Italia yang akan berjuang di final Piala Dunia 1938 melawan Hongaria. Atau lihat bagaimana Inggris yang menarik dirinya dari semua ajang Internasional karena tak ingin dijadikan alat propaganda negara manapun. Jerman sendiri sempat "diasingkan" dari semua turnamen internasional (termasuk di antaranya Olimpiade) oleh lawan-lawannya di Perang Dunia I.
Karena itu undangan untuk Hindia Belanda mengikuti turnamen ini pun sejatinya tak mungkin lepas dari campur tangan pemerintah Belanda dalam melakukan lobi pada FIFA.
NIVU Menjahili PSSI
Sejalan dengan isi Gentlemen Agreement, timnas Hindia Belanda sendiri mulanya akan dibentuk melalui perwakilan dari PSSI dan NIVU. Pemain-pemain akan dipilih melalui turnamen segitiga yang mempertemukan 2 tim dari NIVU dan satu tim PSSI. Di samping itu, NIVU juga akan memberikan kesempatan bagi kesebelasan PSSI untuk bertanding melawan tim luar negeri yang didatangkan ke Indonesia, yaitu Nan Hwa.
Di Semarang pada 7 Agustus 1937, untuk pertama kalinya timnas yang mewakili Indonesia (PSSI) terbentuk dan bertanding melawan tim internasional lainnya. Namun, karena masih berlangsungnya kompetisi internal PSSI, timnas saat itu hanya diwakili oleh pemain dari Persis Solo, PSIM Yogyakarta, dan PSIT Cirebon. Tak heran ada yang menjuluki timnas saat itu sebagai "PSSI Jawa Tengah".
Walau berhasil menahan imbang Nan Hwa 2-2 dalam pertandingan itu, pada akhirnya NIVU melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Pemain-pemain timnas yang terpilih untuk mewakili Hindia Belanda hanyalah mereka-mereka yang berafiliasi pada NIVU saja. Bendera yang dipakai pun bendera NIVU.
PSSI kemudian menolak cara-cara ini dan tak mau bergabung dalam bendera Hindia Belanda di Piala Dunia. [baca artikel mengenal "Gentlemen Agreement”]
Dinginnya Tanggapan dari PSSI
Berubahnya sikap NIVU terhadap seleksi pemain timnas ini, menimbulkan berbagai reaksi di kalangan PSSI dan pihak-pihak lainnya. Ada yang mendesak PSSI untuk 'menagih' janji NIVU, namun ada pula yang meminta PSSI untuk tidak menindaklanjuti konflik ini.
Namun PSSI menanggapi dorongan-dorongan untuk tetap pergi ke Piala Dunia ini dengan dingin. Melalui artikel yang diterbitkan oleh Majalah Olah Raga edisi Desember 1937, PSSI menyatakan bahwa isu (ke Piala Dunia) bukanlah suatu yang hangat. Bahwa membangun organisasi dengan "Semangat Segala Sendiri" tetap jadi tujuan utama. Sikap terhadap dunia internasional pun belum waktunya untuk ditunjukkan.
Bahkan PSSI beberapa bulan kemudian kembali secara tegas menyatakan sikapnya dalam artikel yang diterbitkan di Majalah Olah Raga edisi Februari 1938. "Telah saja bantah soeara soeatoe pihak yang menanyakan sikap PSSI? Soedah saya djawab: biasa!
Hal ini bukan berarti tidak adanya keinginan dari pihak PSSI untuk mengirimkan "Pahlawan XI", istilah yang digunakan untuk menyebut timnas saat itu, ke Olimpiade atau Piala Dunia. Tetapi keinginan itu dibendung oleh keadaan yang nyata. Bahwa kondisi rumah tangga saat itu belum sempurna.
"Bereskanlah dahoeloe roemah tangga, kemudian menindjau keluar" jadi satu semboyan yang dianut oleh PSSI.
Perkataan itu sendiri keluar dari mulut Dr. Bauwens seorang ahli asal Jerman dan wasit internasional terkemuka pada jamannya. Bauwens juga jadi orang yang telah memobilisasi pemuda untuk memulihkan kondisi sepak bola Jerman pasca perang besar Eropa dan kondisi persepakbolaan Jerman terlantar.
Bahwa semboyan Bauwens kemudian dijadikan pijakan untuk melangkah oleh PSSI menunjukkan keinginan untuk merapihkan organisasi sebagai tugas yang penting. PSSI sendiri kemudian menepati ucapannya. Dari 1931 hingga 1941 terhitung 11 kompetisi berhasil dilaksanakan oleh PSSI tanpa terhenti setahunpun.
Siapa yang Terpilih?
Meski tidak mengikutsertakan pemain-pemain PSSI, para pemain NIVU yang memperkuat kesebelasan Hindia Belanda ke Prancis sebenarnya kebanyakan adalah kaum bumiputera. Hanya saja mereka umumnya bekerja di perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Disebutkan dalam buku "70 Tahun PSSI: Mengarungi Milenium Baru", bahwa nama-nama yang tercatat dan sekaligus menjadi pemain inti yang diturunkan bertanding di Prancis adalah: Bing Moheng (kiper), Herman Zomers, Isac Pattiwael, Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Djien, Samuels, Soedarmadji, Anwar Sutan, Frans Meeng, dan kiri luar Nawir yang juga merangkap sebagai kapten.
Perjalanan NIVU ke Prancis sendiri bukannya tanpa keberuntungan. Di tingkat penyisihan Asia, Jepang, yang semestinya jadi lawan Hindia Belanda mengundurkan diri karena adanya perang Asia Timur. Sementara itu, Amerika Serikat yang jadi lawan berikutnya pun menyerah tanpa bertanding. Timnas Hindia Belanda pun dinyatakan menang 5-0 atas Amerika. Jadilah kesebelasan Hindia Belanda tampil di Prancis tanpa sekalipun bertanding di babak penyisihan.
Namun keberuntungan ini "habis" saat timnas Hindia Belanda menjejakkan kakinya di benua Eropa. Di putaran awal (babak 16 besar --peserta yang ikut hanya 15 negara sehingga tidak ada fase grup), mereka langsung bertemu tim asal Eropa Timur, Hongaria. Tim inilah yang jadi cikal-bakal dari sebuah tim yang kelak akan menggegerkan dunia sepakbola dengan permainannya yang memukau: Wunderteam. Hongaria kemudian menang cukup mudah atas Hindia Belanda dan mencetak enam gol tanpa balas.
Hungaria sendiri kemudian menang atas Swiss 2-0 di perempat final, dan membantai Swedia 5-1 di babak semi final. Namun, mereka lalu kalah dari timnas Italia di partai puncak, dan "menyelamatkan" timnas Italia dari ancaman Mussolini.
Walau singkat, pengalaman bermain di Piala Dunia itu memiliki bekas yang mendalam bagi para pribumi yang ikut terpilih di timnas Hindia Belanda. Salah satunya adalah Isaac Pattiwael, pemain yang menempati posisi kanan dalam.
"Pertandingan melawan Hungaria itu suatu pengalaman besar dan tidak bisa saya lupakan. Paling tidak, saya boleh bilang sekarang saya orang pribumi yang pernah main di putaran final Piala Dunia. Bukan cuma babak penyisihan. Kedengarannya memang sombong. Tapi itu yang betul-betul terjadi," ujar Isaac bangga.
Nyaris 75 tahun kemudian, walau tidak membela bendera Indonesia, Isaac masih jadi satu-satunya pribumi yang berlaga di Piala Dunia. Bedanya dulu PSSI masih bisa berkelit di balik alasan "demi kerapihan kompetisi dan organisasi". Kalau kini?
=====
*Akun Twitter penulis: @vetriciawizach dari @panditfootball
Baca artikel sebelumnya:
Sejarah PSSI (Bagian 1): Dari Depresi Ekonomi hingga Jadi Organisasi
Sejarah PSSI (Bagian 2): Kami Indonesier, Bukan Inlander!
Sejarah PSSI (Bagian 3): PSSI Era Soeratin 'Mengkloning' PSIM
Sejarah PSSI (Bagian 4): Kisah UNI Melawan dan Membubarkan Federasi
Sejarah PSSI (Bagian 5): NIVU vs PSSI, Perseteruan Dua Federasi
Sejarah PSSI (Bagian 6): Ribut-ribut Menjelang Piala Dunia 1938
(roz/roz)