Sejarah PSSI (Bagian 5): NIVU vs PSSI, Perseteruan Dua Federasi

Sejarah PSSI (Bagian 5): NIVU vs PSSI, Perseteruan Dua Federasi

- Sepakbola
Senin, 15 Apr 2013 14:27 WIB
Jakarta - Juni 1938, di depan puluhan perwakilan 19 bond Anggota PSSI yang sedang berkumpul di Solo, Ir Soeratin Sosrosoegondo berpidato dan mencaci-maki Nederlandsche Indische Voetbal Unie (NIVU) --PSSI nya Hindia Belanda. Ketua Umum PSSI itu marah bukan tanpa alasan. Dia dan anggota PSSI lainnya merasa dikibuli oleh NIVU yang dengan semena-mena melanggar Gentlement Agreement yang sudah disepakati.

Saat itu juga, dengan sokongan mayoritas perwakilan bond-bond anggota PSSI yang hadir, Soeratin memutuskan untuk membatalkan Gentlement Agreement antara PSSI dan NIVU secara sepihak. Pembatalan secara sepihak itu disambut antusias tepuk tangan semua orang yang ada di dalam ruangan. Semua sepakat, PSSI tak butuh pengakuan secara de facto dan de jure dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. PSSI mampu berkembang dan menjadi besar bukan karena bantuan bangsa lain tapi berkat kerja keras anggotanya sendiri.

Apa sebenarnya isi Gentlement Agreement yang sampai sekarang masih sering dibicarakan itu?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak didirikan 19 April 1930, nama PSSI semakin dikenal oleh masyarakat. Bond-bond anggota PSSI seperti Persib Bandung, Persis Solo, VIJ Jakarta, PSIM Yogyakarta dan lainnya, semakin menyatu dengan masyarakat.

Kekaguman sekaligus ketakutan NIVU semakin menjadi, setelah PSSI berhasil melebarkan sayapnya ke beberapa daerah di dalam maupun luar pulau Jawa. Jika di awal pendiriannya tahun 1930, PSSI hanya memiliki anggota 7 bond, di tahun 1934 jumlah itu naik menjadi 13 bond dengan masuknya PPSM Magelang, PSISa Salatiga, VIT Tegal, PSIM Malang, PSTS Tasikmalaya, dan PSIS Semarang.

Tahun 1936 jumlah itu bertambah lagi menjadi 19 bond. Cirebon, Bogor, Purwekerto, Klaten, Bojonegoro serta Blitar sepakat membuat bond yang berafiliasi kepada PSSI. Andai kata regulasi pembentukan bond anggota lebih dipermudah, mungkin anggota PSSI akan lebih banyak. Banjarmasin, Makassar, Medan, Pontianak dan beberapa kota di pulau Jawa semuanya sudah masuk dalam daftar tunggu.

Secara skill dan kualitas permainan, PSSI tak kalah bagus dari NIVU, pengurus NIVU pun mengakui ini setelah menyaksikan pemain-pemain PSSI dalam kejuaraan PSSI tahun 1933 di Surabaya. Dalam laga melawan Nan Hua yang sedianya merupakan turnamen segitiga antara PSSI dan NIVU, sebagai bagian dari persiapan mengikuti Piala Dunia 1938, PSSI yang hanya diperkuat pemain-pemain dari Jawa Tengah berhasil menahan imbang 2-2. Nan Hua saat itu diakui punya tim yang kekuatannya sangat disegani di Asia. Keberhasilan itu jelas menjadi kredit tersendiri bagi PSSI yang tidak menurunkan kekuatan terbaiknya.

Perkembangan PSSI yang cukup pesat, membuat PSSI juga mampu mesejajarkan diri dengan NIVU baik secara organisasi maupun perkumpulan. Sejak 1930, PSSI tak pernah berhenti menggelar kompetisi. Dengan jumlah anggota PSSI yang terus bertambah, kualitas kompetisi yang digelar PSSI pun makin lama kian membaik.

Hal inilah yang membuat beberapa pengurus NIVU, di antaranya Johannes van Mastenbroek khawatir. Upaya lobi secara intens dia lakukan kepada Soeratin.

"We gefiliciteerd --Kami ucapkan selamat kepada Anda," ucap Mr Broek kepada Soeratin di Surabaya usai menyaksikan pertandingan VIJ melawan SIVB di Surabaya. Ucapan itu sebentuk pengakuan Van Mastenbroek terhadap level permainan bond-bond bumiputera, sekaligus sebagai bagian dari upaya lobi NIVU kepada PSSI.

Soeratin dan Van Mastenbroek memang telah saling mengenal lama di Yogyakarta sejak 1929-1931. Perkenalan ini membuat Van Mastenbroek menawarkan tawaran kerja sama secara jujur dan sportif. Tawaran ini disikapi oleh Soeratin dengan membentuk 3 orang panitia khusus dalam konfrensi khusus di Yogyakarta. Hasil panitia ini dilaporkan dalam Kongres PSSI tahun 1934 di Surakarta.

Lobi ini sendiri membuat federasi bond-bond asal Belanda terpecah menjadi dua golongan yaitu yang menolak PSSI dan yang mendukung pendekatan kepada PSSI. Di saat konflik inilah, Van Mastenbroek mengambil alih dengan membubarkan kepengurasan lama dan membentuk kepengurusan baru dengan ia sendiri sebagai ketuanya.

Pada akhirnya,tanggal 15 Januari 1937 di Yogyakarta, Soeratin dan Van Mastenbroek sepakat untuk membuat suatu perjanjian yang dikenal dengan sebutan Gentlement Agreement. Ada tiga poin dalam isi perjanjian itu.

Satu, menegaskan bahwa di Hindia Belanda hanya ada dua perkumpulan organisasi sepakbola tertinggi yang diakui oleh negara yaitu NIVU dan PSSI, di luar itu adalah illegal. Dua, NIVU dan PSSI wajib untuk menghargai dan mengakui satu sama lain sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran pendiriannya masing-masing. Dua poin pertama sangatlah berarti bagi PSSI, karena secara jelas PSSI disamakan derajatnya dengan NIVU. PSSI yang dikenal sebagai alat perjuangan menentang kolonialisme, malah diakui oleh bagian dari sistem kolonial itu sendiri.

Sementara itu untuk poin tiga lebih membahas hubungan teknis antara dua organisasi. Ada 6 sub-poin dari poin ketiga ini. Yang pertama adalah PSSI dan NIVU sepakat memperbolehkan anggotanya untuk bertanding satu sama lain.Sebelumnya memang NIVU membuat aturan melarang anggotanya bertanding melawan PSSI. Dengan adanya aturan ini sangatlah menguntungkan PSSI, karena klub-klub anggota PSSI bisa mencicipi kekuatan tim meneer-meneer.

Selanjutnya pada sub-poin kedua dijelaskan, untuk mengatur pertandingan anggota PSSI versus anggota NIVU klub diberi kewenangan untuk mengatur segala sesuatunya, baik itu soal lapangan, karcis, maupun akomodasi tim lawan, namun kedua tim yang bertanding wajib melapor terlebih dahulu ke dua pucuk pimpinan organisasi.

Yang menarik adalah isi dari penjanjian sub-poin ketiga. Ditegaskan bahwa kedua belah pihak bersepakat untuk melarang pemain-pemain yang terkena skorsing bermain di kompetisi sepakbola. Di zaman itu, tak sedikit pemain yang terkena skorsing di PSSI, hijrah ke NIVU agar bisa tetap bermain
bola. Adanya aturan ini membuat PSSI lega. Soalnya sikap tegas yang kerap dilakukan PSSI dengan menskorsing pemain yang tak menggunakan kostum tim (misalnya), kadang direspons pemain yang kena skorsing itu dengan kabur ke klub-klub anggota NIVU.

Sub-poin empat menjelaskan kedua belah pihak setuju untuk tak saling berebutan dan mempengaruhi klub-klub agar masuk ke organisasinya. Persaingan antara NIVU dan PSSI membuat klub-klub merasa galau, banyak klub NIVU yang memutuskan bergabung dengan PSSI, begitupun sebaliknya, tak sedikit klub-klub PSSI yang membangkang bergabung NIVU. Boleh dibilang, kesepakatan ini secara fifty-fifty menguntungkan dan merugikan PSSI. Namun apa boleh dikata, perjanjian tetaplah perjanjian dan harus tetap dilaksanakan.

Sedangkan pada sub-poin kelima membahas soal pertandingan internasional. "Karena perdjandjian ini, maka tak moengkin bila salah satoe tim melakoekan pertandingan dengan kesebelasan loear negeri, maka fihak yang lain joega haroes toeroet ambil bagian didalamnja," demikian tertulis dalam perjanjian. Secara gamblang dipaparkan bahwa pembentukan tim nasional lebih bersifat kooperatif dan tak merugikan kedua belah pihak.

Isi dalam perjanjian ini secara tegas membantah anggapan yang mengatakan bahwa tim nasional yang berangkat ke Piala Dunia 1938 di Prancis adalah pemenang antara tim NIVU melawan PSSI. "Perdjanjian ini dibikin, dengan maksoed agar kemaoean sutji bekerdja bersama-sama kelak dapat ditetapkan," isi sub-poin enam yang merupakan penutup perjanjian.

Dari semua poin di atas adakah yang membuat Anda ingat dengan situasi yang belum lama ini terjadi dalam sepakbola Indonesia?

====

*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball

Baca artikel sebelumnya:
Sejarah PSSI (Bagian 1): Dari Depresi Ekonomi hingga Jadi Organisasi
Sejarah PSSI (Bagian 2): Kami Indonesier, Bukan Inlander!
Sejarah PSSI (Bagian 3): PSSI Era Soeratin 'Mengkloning' PSIM
Sejarah PSSI (Bagian 4): Kisah UNI Melawan dan Membubarkan Federasi


(roz/krs)

Hide Ads