Please, Please Gerrard....

Please, Please Gerrard....

- Sepakbola
Senin, 23 Mar 2015 15:31 WIB
Getty Images
Jakarta -


[I]

22 Maret 1963, band legendaris asal Liverpool, The Beatles, merilis album perdana yang diberi tajuk Please, Please Me. Tajuk album itu diambil dari judul salah satu lagu di album tersebut yang berjudul sama.

Please, Please Me sendiri merupakan singel kedua Beatles setelah rilisan singel lagu berjudul Love Me Do. Lagu Please, Please Me ini menjadi debut pertama Beatles di tangga-tangga lagu Inggris. Lagu yang ditulis John Lennon ini menembus tangga nomer 1 versi New Musical Express dan Melody Maker. Melalui lagu inilah Beatles mulai dikenal publik, termasuk di Amerika Serikat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lagu ini berisi monolog seorang lelaki pada seorang gadis – mungkin kekasihnya mungkin juga bukan. Si lelaki mengutarakan sejumlah permohonan, merajuk, bahkan nadanya seperti mengemis-ngemis.

Last night I said these words to my girl
I know you never even try, girl
Come on, come on, come on, come on
Please, please me, wo yeah, like I please you

You don't need me to show the way, love
Why do I always gave to sat, love
Come on, come on, come on, come on
Please, please me, wo yeah, like I please you

Dua bait di atas memperlihatkan usaha si lelaki untuk membujuk, merajuk, agar si gadis bersedia mencoba memberinya kebahagiaan (atau kesenangan). Berkali-kali muncul “please” dan “come on”. Seperti ada semacam pamrih di sana, ketika si lelaki mengingatkan si gadis untuk melakukan apa yang pernah ia lakukan kepadanya, yaitu menyenangkannya, dan ia ingin si gadis membalasnya dengan memberi kesenangan yang setimpal.

Lagu Please, Please Me ini sering disebut sebagai ekspresi generasi muda Inggris era 1960an yang merayakan relasi antarmanusia, termasuk cinta, dengan berbagai ragam penyalurannya. Hubungan seks yang banal, murahan, atau sambil lalu, sebagaimana terlihat dalam peristiwa Woodstock yang legendaris dengan kebebasan menikmati narkoba dan seks seraya jejingkrakan menghayati musik rock, sering dirujuk sebagai latar psike yang melahirkan lagu Please, Please Me.

Bahkan tidak sedikit yang menyebut lagu ini secara spesifik mengisahkan hasrat si lelaki yang ingin dilayani oral seks. Jika tafsir ini benar, dengan kembali pada lirik lagu, berarti si lelaki sudah pernah memberi kesenangan yang sama atau setara dengan oral seks kepada si gadis, sehingga ia ingin menerima dan mendapatkan kesenangan yang sama.



Tapi bait terakhir lagu Please, Please Me memberi kesan bahwa hubungan tersebut tidaklah sebanal dan segampangan yang diduga. Bait terakhirnya menguarkan kesenduan yang serius, kerapuhan yang merawankan hati – sesuatu yang tak mungkin terjadi pada hubungan iseng yang sambil lalu.

Dengan nada yang murung, lewat kalimat-kalimat yang semakin sayu, si lelaki berkata dengan penuh frustasi:

I don't want to sound complaining
but you know there's always rain in my heart
I do all the pleasing with you,
it's so hard to reason with you
wo yeah, why do you make me blue?

Ia mencoba menegar-negarkan dirinya dengan mengatakan bahwa ia tak ingin seperti sedang mengeluh. Tapi dengan itu justru ia terlihat sedang mengeluh.

Lalu ia kembali merajuk, minta dikasihani, dengan mengatakan bahwa perasaannya selalu membasah oleh hujan yang bersemayan di hatinya. Sekali lagi ia mengatakan bahwa dirinya telah berbuat banyak untuk menyenangkan hati si gadis. Tapi, demikianlah lagu itu ditutup dengan keluhan, kenapa kau selalu membuatku menjadi penuh haru-biru, membikinku menjadi rapuh dan sendu?

Tapi sepertinya si gadis bergeming. Ia tak melakukan apa yang diminta, dimohonkan dan diinginkan si lelaki. Dan dengan itulah lagu ini berakhir dengan kalimat yang tragis: ihwal hubungan yang tak sepadan, tentang cinta yang tak berbalas sebagaimana yang diinginkannya....

[II]

22 Maret 2015, tepat 53 tahun setelah album Please, Please Me dirilis, kapten Liverpool FC, Steven Gerrard, dikartumerah oleh wasit di laga melawan Manchester United. Kartu merah itu diterima oleh sang kapten saat ia baru menginjakkan kaki selama 38 detik di atas lapangan.

Tertinggal 0-1 di babak pertama, Liverpool menghadapi babak kedua dengan melakukan pergantian pemain. Adam Lallana, yang bermain jelek di babak pertama, digantikan oleh Gerrard. Beberapa detik menjelang dimulainya babak kedua, kamera menyoroti Gerrard yang sedang berdiri di pinggir lapangan, menunggu isyarat dari wasit untuk masuk, sembari membenahi letak ban kapten di lengan kirinya.

Beberapa orang mungkin menganggap hal itu sebagai hal ganjil. Kendati kapten pertama, tapi Gerrard masuk dari bangku cadangan. Kecuali kapten yang memimpin sejak menit pertama ditarik keluar, yaitu Henderson, barulah biasanya ban kapten berpindah.

Tapi tak ada standar dalam hal-hal etik seperti ini. Juga tak diatur oleh Law of the Game.

Lagi pula ini laga penting. Juga laga akbar. Liverpool menghadapi United, atau sebaliknya, selalu berarti laga yang penuh emosi, juga mempertaruhkan gengsi dan harga diri. Apalagi Liverpool sedang berusaha merebut posisi United di Empat Besar demi mengamankan jatah tiket ke Liga Champions. Butuh orang besar, bermental besar, sang pemimpin besar, untuk mengomandoi pasukan The Reds.

Gerrard dibutuhkan, sepertinya amat dibutuhkan malah, setelah Liverpool bermain buruk di babak pertama. Nyaris tak ada jejaknya performa gemilang Liverpool sepanjang 2015 di 45 menit pertama itu. Kecuali Coutinho, hampir semua pemain Liverpool terlihat tertekan. Lallana dan Joe Allen redup. Henderson yang terlihat menjanjikan sebagai kapten masa depan Liverpool dalam dua bulan terakhir juga tampak kepayahan memimpin rekan-rekannya.

Dalam 40 detik yang pendek itu, Gerrard langsung terlihat begitu sibuk. Ia langsung terlibat dalam permainan. Dalam tempo hanya 38 detik saja, ia sudah membuat lima umpan. Artinya setiap delapan detik sekali ia membuat umpan. Sibuk. Sangat sibuk. Sepertinya ia ingin memperlihatkan seperti apa caranya bersikap di laga sepenting ini.

Seantero Anfield terlihat bergairah melihat kesibukan Gerrard itu. Anfield seperti bergemuruh dengan rasa senang melihat kapten kebanggaan mereka dengan berani, sungguh-sungguh, sekaligus nekat atau bisalah menggunakan frase “tanpa kompromi”, berusaha mengambil bola yang lebih dekat ke kaki Juan Mata. Gerrard berhasil mengambil bola itu, dengan gerak yang setengah seperti mengumpan dan setengahnya lagi seperti menekel.



Bola nanggung itu datang dari Henderson. Sebelumnya, Gerrrd dengan cantik sekali mengumpan dengan cara men-chip bola, melewati kepala Herrera. Bola jatuh tepat ke kaki Henderson. Tapi kapten Liverpool di babak pertama itu memberi umpan balik kepada Gerrard dengan cara yang buruk, sehingga malah mengarah lebih dekat ke arah Juan Mata.

I know you never even try, mate
Come on, come on, come on, come on

Dua baris yang diambil dari lirik lagu Please, Please Me itu, dengan kata “girl” diubah menjadi “mate”, bolehlah dipakai untuk menggambarkan apa yang sepertinya sedang dikatakan dan ditunjukkan Gerrard dalam 38 detik yang tragis itu. Juga memperlihatkan teladan yang ingin ditunjukkan Gerrard, khususnya saat mencoba menguasai bola dengan cara menekel Juan Mata, kepada rekan-rekannya yang klemer-klemer sepanjang babak pertama.

Enam detik kemudian, setelah aksinya pada Juan Mata yang membuat penonton di Anfield menjadi bergairah, Gerrard kembali menerima bola, kali ini dari Sakho. Dengan amat tenang ia mengendalikan bola lebih dulu dan kemudian menyodorkan umpan pendek yang akurat kepada Henderson (begitu caranya mengumpan, Hendo!).

Tapi agaknya Gerrard sedang kelewat bergairah. Tepat ketika ia sedang mengumpan kepada Henderson itu, Herrera (yang sebelumnya dikecengin olehnya dengan men-chip bola melewati kepala pemain asal Basque ini) melakukan sliding tackle. Gerrard tak tersentuh oleh kaki Herrera, tapi ia malah menginjakkan kakinya ke tulang kering kaki kiri Herrera.

Setelah itu semuanya kemudian menjadi lebih sendu – make me blue, untuk atau kata Gerrard, dengan merujuk frase dalam lagu Please, Please Me.



[III]

Dengan kening yang agak berkerut, dan gelengan kepala yang begitu lemah sehingga nyaris tak kelihatan, ia melangkahkan kaki menuju kamar ganti. Ia berjalan dengan sedikit menunduk. Ia terlihat sedikit membetulkan letak lengan bajunya – sebuah gerak kecil yang tak berarti, suatu gestur tanpa makna.

I don't want to sound complaining
but you know there's always rain in my heart

Saya bayangkan Gerrard mengatakan itu dalam hatinya tepat saat melemparkan ban kapten kepada Henderson. Ban kapten itu kembali ke tempat yang semestinya, sebab memang Henderson yang mengenakannya sejak menit pertama, dan seharusnya tetap begitu hingga menit akhir selama Henderson tak diganti.

38 detik kepemimpinan yang ganjil. 38 detik yang membelokkan nasib. 38 detik yang aneh, bukan untuk Gerrard kalau menurut saya, melainkan bagi Henderson: kepemimpinannya diinterupsi oleh 38 detik kepemimpinan lain yang lebih menggairahkan, lebih membangkitkan adrenaline, sekaligus juga lebih dramatis.

Dan interupsi 38 detik, anehnya, seperti menjadi selang infus yang menghidupkan ban kapten di lengan Henderson sepanjang waktu tersisa. Justru sejak Gerrard diusir, permainan Liverpool membaik. Mereka bisa keluar dari tekanan, mampu tampil lebih agresif, sanggup bertarung dengan lebih berani dan berduel dengan lebih gagah.

Kartu merah itu, mungkin, menjadi simbol dari akhir kepemimpinan panjang Gerrard di Liverpool. Bahwa kartu merah itu malah menjadi titik balik yang justru menghidupkan permainan Liverpool, di situlah letak keindahannya: mungkin ini isyarat puitik bahwa kepergian Gerrard, kendati berlangsung dengan agak sedikit pahit, akan menjadi awal dari kebangkitan Liverpool di masanya yang baru.



Sejak September 2003, Gerrard menjadi kapten Liverpool, mengambilalih ban kapten dari lengan Samy Hyppia. 16 tahun bukan waktu yang panjang. Bukan periode yang sepenuhnya buruk. Dari trofi Liga Champions, Piala UEFA, Piala FA dan Piala Liga hingga Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub sudah didapatkannya.

Kecuali, ya apa boleh buat, trofi juara Liga Inggris. Dalam hal yang satu itulah Gerrard tak henti-hentinya berjumpa dengan mimpi buruk. Kegagalan demi kegagalan. Kesalahan demi kesalahan. Menghantuinya lagi dan lagi. Menghampirinya lagi dan lagi. Dari terpeleset, salah umpan, terpeleset, hingga salah umpan lagi. Gerrard “dihinakan” oleh tragika mengejar juara Liga Inggris.

Selamanya, trofi juara Liga Inggris akan menjadi lubang hitam dalam hayat dan karya Gerrard. Trofi Liga Inggris ini, bagi Gerrard, tak ubahnya sebuah kasih yang tak sampai, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan setelah kartu merah yang tragis, semuanya nyaris komplit menjadi sebuah cerita ihwal hubungan yang tak sepadan, cerita tentang kesetiaan dan intensitas yang tak mendapatkan balasan. Persis seperti cerita laki-laki dalam lagu Please, Please Me-nya The Beatles itu.

It's so hard to reason with you
Wo yeah, why do you make me blue?

22 Maret yang agak aneh dan sedikit sedih, ya?


====

* Salah satu pendiri, sekaligus editor kepala, www.panditfootball.com. Bisa dihubungi lewat akun twitter: @zenrs

(krs/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads