Sony dan Cederanya: Seperti Angkot Rusak yang Dipaksa Terus Bekerja

Sony dan Cederanya: Seperti Angkot Rusak yang Dipaksa Terus Bekerja

Femi Diah - Sport
Jumat, 24 Feb 2017 11:40 WIB
Foto: AFP PHOTO / NOAH SEELAM
Jakarta - Cedera dan faktor usia membuat Sony Dwi Kuncoro tersingkir dari pelatnas pada pertengahan 2014. Bermula dari telapak kaki yang kapalan, Sony menjadi akrab dengan cedera.

Sony memang berhasil menyodok persaingan tunggal putra papan atas dunia. Sebuah prasasti dibuat arel Surabaya itu dengan meraih medali perunggu Olimpiade 2004 Athena. Dia juga tiga kali menjadi juara Asia.

Namun, laju Sony inkonsisten. Dia berulang kali kalah dari cedera.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Baca Juga: Sony Dwi Kuncoro Menaruh Kebanggaan dan Masa Depan di GOR Enam Lapangan]

Hingga kemudian PBSI melepaskan Sony dari pelatnas pada pertengahan 2014. PBSI menyebut Sony terlalu sering dibekap cedera, sudah begitu usianya tak lagi muda.

"Soal cedera itu memang sudah jadi teman saya. Saya kan juga tak mau cedera, tapi sudah terlanjur ada cedera mau apa lagi," kata Sony.

Suami Gading Safitri itu menyebut gangguan fisik pertama yang dialaminya justru karena salah penanganan saat mengalami kapalan di telapak kaki. Dia bilang pengikisan kapalan itu memengaruhi syaraf di telapak kakinya.

Menurut dokter pelatnas PBSI, dr. Michael Triangto, cedera-cedera Sony memang bermula dari salah penanganan kapalan di telapak kaki itu yang kemudian merembet hingga ke punggung.

"Sony sering mengeluhkan kakinya kapalan. Kemudian sempat dibersihkan, tapi dampaknya dia tak bisa menapak hingga sempat vakum," kata Michael dalam obrolan dengan detikSport baru-baru ini.

"Setelah itu dia cedera lutut. Kemudian dampaknya naik ke pinggang. Pinggangnya sering sakit dan itu yang paling mengganggu, kemudian punggungnya kena," tutur dia.

Selama berada di PBSI, Sony mendapatkan penanganan khusus. Cedera di telapak kaki itu ditangani dengan pemakaian insole dari dokter PBSI.

[Baca Juga: Masa-Masa Berat Sony Setelah Tinggalkan Pelatnas PBSI]

Namun, justru Sony yang tak enak hati untuk terus menggunakan insole (alas sepatu) dari PBSI. Sebab, harga insole untuk perawatan cedera lumayan mahal.

"Cedera itu pernah dikoreksi. Saya minta dia menggunalan insole. Setelah itu kondisinya membaik dan mampu menjadi juara di beberapa turnamen," jelas Michael.

"Tapi Sony itu orangnya terlalu berpikiran jauh bahwa penggunaan insole itu bukan sesuatu yang murah. Padahal nilai suatu medali ataupun piala tidak bisa dibeli. Bagi saya apapun juga selama dia bisa berprestasi pasti kami suport, tentunya selama dalam batasan kami sanggup dengan teknologi dan dana. Kecuali, di luar jangkauan kami," tutur dia.

Menurut Michael menjadi hal yang wajar jika seorang atlet dibekap cedera. Dia mengibaratkan kondisi seorang atlet bak mobil pribadi yang dipaksa menjadi angkutan umum. Mobil pribadi itu dipaksa untuk bekerja melampaui kemampuan maksimalnya. Hanya saja seperti mobil jika si empunya mampu merawat dengan baik maka mobil masih bisa dimanfaatkan.

"Atlet harus berlatih melebihi batas kemampuannya supaya leboih tangguh lagi, lebih kuat lagi. Tapi, dampaknya menjadi lebih mudah cedera. Ini yang terjadi pada Sony," ungkap dia.


(fem/din)

Hide Ads