Dari Qatar, China, kini Arab Saudi
Melansir The Athletic, taktik Arab Saudi berinvestasi besar-besaran di sepakbola juga terkait Visi 2030. Salah satu tujuan Arab Saudi adalah membuat diversifikasi ekonomi, salah satunya lewat permainan paling populer itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cara itu sedianya sudah pernah diterapkan China dan Qatar. China sempat menjadikan Liga Super China proyek besar guna mewujudkan impian menjadi salah satu kekuatan dunia pada 2050.
Dalam perjalanannya, bintang-bintang top Eropa didatangkan. Upaya itu menjadi faktor penunjang tiga target utama, yakni lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah Piala Dunia, dan menjadi juara Piala Dunia.
Namun, proyek itu runtuh perlahan. Wabah COVID-19 membuat banyak raksasa sepakbola China runtuh. Beberapa skandal terbongkar, dan proyek naturalisasinya berantakan.
Sementara Qatar, lewat Qatar Sports Investment, menjadikan olahraga sebagai investasi negara. Proyek yang dijalankan Qatar itu masih berjalan sampai saat ini.
QSI bisa mengakuisisi Paris Saint-Germain dan mendatangkan bintang-bintang top seperti Neymar, Kylian Mbappe, serta terakhir Lionel Messi. Selain itu, Qatar juga sukses menggelar Piala Dunia 2022 tahun lalu, yang dimenangkan Argentina.
Sementara Arab Saudi, proyek sukses pertamanya di sepakbola bisa dibilang adalah mengakuisisi Newcastle United pada 2021. Lewat Public Investment Fund (PIF), lembaga kekayaan negaranya, PIF menjadi pemilik klub Liga Inggris itu, meski ditentang dengan isu Hak Asasi Manusia.
Dan yang terbaru adalah PIF baru saja mengakuisisi empat klub top Arab Saudi. Al Hilal, Al Ittihad, Al Nassr, dan Al Ahli baru saja diakuisisi PIF, dengan kontrol mencapai 75 persen.
Upaya Arab Saudi bangkit lewat olahraga sudah dimulai sejak 2018. Banyak ajang olahraga bergengsi digelar di negaranya dari tinju, reli dakar, Formula 1, golf, dan tentunya sepakbola.
Momen itu bersamaan dengan banyak dugaan keterlibatan Arab Saudi dalam beberapa hal. Mulai dari Perang Yaman hingga pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis Washington Post.