Sepakbola Tanpa Anarki, Bukan Tanpa Penonton
Rabu, 07 Feb 2007 12:14 WIB

Jakarta - Sepakbola tidak ada hubungannya dengan tindakan anarkis? Memang demikian seharusnya jika melihat sepakbola sebagai olahraga. Tapi kenyataannya sepakbola bukan sekedar cabang di Olimpiade, ada nilai lebih besar didalamnya.Lewat duel 22 orang di tengah lapangan, manusia merasa ikut mempertaruhkan kebanggaannya, harga diri bahkan kehormatan. Ketika sampai tahap ini, maka sepakbola bertautan dengan anarkis.Jika ditelusuri, insiden demi insiden yang mencoreng makna sportifitas sepakbola teramat panjang. Penghentian Lega Calcio akibat tragedi di Catania, contoh kasus teranyar yang mengingatkan kita betapa dekat sepakbola dengan anarki.Biar terasa lebih dekat, kita mundur sedikit mengenang insiden di Surabaya November 2006 dalam perempatfinal Copa Dji Sam Soe Persebaya melawan Arema Malang. Sedihnya, ini merupakan pengulangan yang kesekian kali di Kota Buaya.Tetapi bukan hanya Surabaya, banyak tempat di seluruh dunia yang tidak beda jauh. Manusia enggan belajar bagaimana menempatkan sepakbola di antara kebutuhannya.Tanpa sepakbola manusia tetap hidup, karena fungsinya hanya sebagai pelengkap. Namun status sekunder tadi menjadi vital saat sudah menopang banyak individu dengan melintasi batas geografis. Lama-kelamaan, sepakbola pun menjadi sejarah yang berperan dalam proses terbentukya budaya manusia sekarang.Namun budaya itu terus menerus diusik dengan anarki segelintir orang tapi dari banyak kelompok. Ketika korban yang jatuh terlalu besar, orang pun terpecut untuk berfikir bagaimana caranya "mensucikan" sepakbola.Salah satu alternatif yang dipilih yaitu dengan memisahkan penonton dari dari sepakbola. Banyak yang menempuh cara ini, termasuk UEFA saat kerusuhan derby Milan di Liga Champions musim lalu, juga FIFA saat Israel tidak bisa memberikan jaminan keamanan di kualifikasi Piala Dunia. Di Indonesia hal ini pun ditiru.Tetapi benarkah setelah prosesi selesai, sepakbola tidak terkontaminasi anarki lagi? Jawabannya, tidak!Lebih dari kesia-siaan itu, budaya manusia justru sangat jauh dirusak. Sepakbola dibuat untuk dinikmati. Tanpa manusia yang menjadi penonton, untuk apa sepakbola? Tanpa manusia, di mana mau diletakkan kebanggaan, harga diri bahkan kehormatan yang dipertaruhkan?Membersihkan sepakbola dari anarki bukan dengan memisahkannya dari penonton. Inggris yang mengklaim dirinya sebagai tanah kelahiran sepakbola, punya pengalaman yang seharusnya dijadikan panutan. Tragedi Haysel 1985, memaksa negeri Ratu Elisabeth itu mencari formula yang tepat untuk mengobati sepakbolanya yang sekarat karena holigans.Tidak dengan sejentik jari, tetapi proses yang diiringi keseriusan dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuan, menjadikan sepakbola Inggris sebagai budaya yang sulit disamai belahan bumi mana pun.Turis yang melihat budaya sepakbola Inggris, dijamin merasa punya pengalaman baru. Emosi di mana-mana sama, hanya saja istrumennya berbeda. Anda anarki, berarti bukan suporter. Anda akan dicap, ditolak bahkan dijemput untuk diamankan. Dengan demikian, terjadilah proses pemisahan anarki dari sepakbola dan suporter.Tatatan dan aturan yang diciptakan harus membuat sepakbola menjadi budaya yang nyaman. Investor akan berlomba-lomba, bahkan sampai membentuk salah satu industri terbesar di dunia.Di luar semua keuntungannya, yang terpenting bagi manusia ialah sepakbola menjadi kebutuhan yang memang layak dikonsumsi. Karena manusia ingin menikmati sepakbola tanpa anarki. Tetapi sepakbola tanpa anarki bukan berarti tanpa manusia penonton. (lom/mel)