Judul Buku: Jalan Lain ke Tulehu
Penulis: Zen RS
Penerbit: Bentang
Tebal: 300 halaman
Cetakan: I, 2014
-----
"Ada batas sumir antara ingatan dan kenangan. Kadang kala keduanya tidak bisa dibedakan, kadang kala ingatan dan kenangan saling menelikung."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana sepakbola kerap bertahan dalam konflik atau keadaan sulit bisa jadi adalah sesuatu yang tak terjelaskan. Sepakbola bisa dimainkan di tengah-tengah konflik, meskipun itu konflik berdarah sekalipun. Tengok saja bagaimana Piala Dunia 2014 berlangsung.
Sudah bukan rahasia apabila perhelatan akbar tersebut berlangsung di tengah-tengah ketidaksukaan rakyat Brasil. Ketika mereka yang berada di tampuk-tampuk kekuasaan menyatakan Piala Dunia harus jalan terus, mayoritas rakyat menolak lantaran kondisi negara sedang sulit. Demonstrasi pun mencuat, tapi toh Piala Dunia tetap jalan-jalan saja.
Contoh lain tidak jauh-jauh dan berada di masa yang belum lama berlalu: dualisme kompetisi dan federasi di Indonesia. Di tengah konflik tersebut, liga tetap jalan, Indonesia tetap bisa mengirimkan tim nasionalnya mengikuti turnamen, suporter tetap datang ke stadion. Namun, sisa dari masa itu masih bisa dilihat. Klub-klub menunggak utang, gaji-gaji pemain tidak terbayar.
Meski terdengar klise, sepakbola mungkin jadi jalan keluar untuk sebagian (jika bukan banyak) orang. Sebagai permainan yang (sebenarnya) diperuntukkan untuk kelas pekerja, sepakbola adalah hiburan setelah satu pekan penuh memerah peluh untuk menghasilkan uang.
Β
Saya pernah mendengar bagaimana para pekerja kelas menengah di Inggris menghabiskan waktu dalam sepekan. Dalam buku autobiografi Sir Alex Ferguson, digambarkan bagaimana para pekerja galangan kapal di Govan kerja sampai Jumat, dapat bayaran pada sore harinya, dan "menyumbangkan" sebagian uangnya kepada pub yang dikelola keluarga Sir Alex. Buat apa? Tentu saja buat minum-minum. Sebagian lainnya, mereka habiskan buat nonton bola di akhir pekannya. Begitu Senin datang, mereka kerja lagi, cari duit lagi. Begitu seterusnya.
Demikian pula dengan para pekerja tambang dulu. "Mereka kerja, Jumat dibayar. Minum-minum lalu nonton bola. Senin masuk tambang lagi," kata seorang senior saya yang lama tinggal di Inggris sana.
Sepakbola seolah-olah jadi imbalan atas peluh yang bercecer seminggu penuh. Mereka, para kelas pekerja yang seolah-olah kalah dalam kehidupan sehari-hari, untuk sesaat bisa menjadi bebas hanya dengan menyaksikan timnya bertanding. Jika tim mereka menang, para orang-orang yang kalah dalam kehidupan sehari-hari tadi ikut-ikutan merasa jadi pemenang.
===
Meminjam istilah Thom Yorke dalam menggambarkan bagaimana musik seharusnya dibuat: "Apa yang paling penting dari musik adalah sense of escape," sepakbola sejatinya juga demikian. Yorke menyebut dua kata, yakni "sense" (rasa) dan "escape" (pelarian), karena musik yang bagus acapkali membuat orang masuk ke dalam dunianya sendiri, melarikan diri dari realita untuk sejenak. Sepakbola, melihat contoh di atas, juga acapkali demikian.
Sepakbola juga punya tempat yang spesial di benak Gentur, tokoh utama dalam novel ini. Sebagai mahasiswa yang nebeng "ngekos" di kampusnya sendiri, bermain bola di lapangan yang gawangnya terbuat dari bambu adalah salah satu kegiatan Gentur selama berkuliah. Hubungan Gentur yang cukup erat dengan sepakbola terlihat tidak hanya dari bagaimana Gentur menolak berhenti bermain sepakbola ketika Maghrib sudah datang, tetapi juga sudah datang dari ucapan Gentur sendiri: "Sepakbola tak pernah melukaiku. Selalu dunia di luar lapangan bola yang membuat kekacauan demi kekacauan."
Gentur kemudian berhenti bermain sepakbola ketika kerusuhan pada Juli 1997 pecah. Namun, justru lewat konflik pula dia dipertemukan kembali dengan sepakbola. Pada awal 2000-an, Gentur berangkat dengan kapal laut menuju Ambon yang tengah berkecamuk akibat konflik agama. Perjalanan Gentur dengan kapal laut tersebut pun sama tidak mudahnya dengan apa yang akan ia hadapi di Ambon kelak.
Gentur lantas berteman dengan Said, seorang mantan pemain sepakbola yang gagal, dan juga Dudi. Dari pertemuan ini jugalah Gentur, yang sudah dipisahkan lama oleh sepakbola, dipertemukan kembali dengan hal yang paling disukainya itu. Dibawanya Gentur ke sebuah kampung sepakbola bernama Tulehu. Sepakbola membawa ingatannya kembali mengalir ke masa lalu, masa di mana dia bisa dengan tenangnya melupakan tugas-tugas yang perlu dia kerjakan.
Selain sepakbola, ingatan juga menjadi tema penting dari novel ini. Seperti ingatan dan kenangan pada kutipan di awal tulisan ini, sepakbola dan ingatan juga saling menelikung, berpagutan, dan saling membangun satu sama lain.
Ingatan dan kenangan yang berada dalam novel ini memang tidak selamanya menyenangkan, seperti halnya bagaimana Gentur mengingat sepakbola. Tapi, dari ingatan dan kenangan inilah Gentur perlahan-lahan menerima kondisi yang dihadapinya di depan mata. Salah satu ingatan tidak menyenangkan yang diterimanya adalah bagaimana sang kekasih, Eva Maria, menemui nasib tragis di tengah konflik.
Ingatan dan kenangan juga seringkali mengendalikan sikap seseorang di masa depan. Lagi-lagi, sepakbola dan ingatan berpagutan di sini. Novel yang berlatar semifinal Euro 2000 ini juga memperlihatkan betapa pentingnya sepakbola untuk kehidupan masyarakat yang sedang berkonflik saat itu. Pada akhirnya, sepakbola juga yang menyatukan mereka. Di dalam sepakbola, tidak dibeda-bedakan apa agama si pemain atau si pelatih, dan inilah yang kemudian menjadi pembaur dari dua identitas agama yang berkonflik. Dalam hal ini, sepakbola kembali jadi pelepasan, pelepasan atas konflik dan batasan.
Kini, tiap kali ada hasutan untuk menyemai konflik, mereka akan mengacu pada ingatan, pada masa-masa suram tersebut, dan berpikir bahwa tidak ada gunanya lagi mengulanginya.
Novel "Jalan Lain ke Tulehu" juga mengajak para pembacanya untuk terbawa ke dalam dunianya sendiri, ke dalam dunia milik Gentur. Tidak dipungkiri juga jika pada akhirnya yang membacanya justru akhirnya malah terhanyut akan kenangan dan ingatan masing-masing, entah itu soal sepakbola atau yang lainnya.
===
Zen RS, penulis novel ini, sudah lama memendam hasrat untuk menulis novel. Namun, baru lewat "Jalan Lain ke Tulehu" ini dia berhasil mewujudkannya.
Meminjam ucapan Albert Camus bahwa, "Untuk segala sesuatu yang saya ketahui mengenai moralitas dan kewajiban, saya berutang kepada sepakbola," bisa juga disimpulkan: "Untuk sesuatu yang diidam-idamkan penulis, dia berutang kepada sepakbola."
***
-penulis artikel ini adalah wartawan @detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
(roz/cas)