Merawat Khayalan dan Keriangan dari Favela

Merawat Khayalan dan Keriangan dari Favela

- Sepakbola
Kamis, 13 Jun 2013 10:51 WIB
London - Bulan ini dan tahun depan Brasil akan menjadi tuan rumah Piala Konfederasi dan Piala Dunia. Sepakbola, katakanlah, akan tumpah ruah di negara yang dikenal sebagai gudangnya seniman permainan ini.

Seniman bola dianggap sebagai kasta tertinggi dalam tataran heirarki persepakbolaan. Mereka terbedakan bukan sekadar karena berketerampilan tinggi jauh di atas sesama pemain bola, tetapi juga karena memiliki imajinasi yang tidak lumrah,baik dalam pemahaman spasial, pergerakan pemain, memaknai peran mereka dalam permainan maupun kelakuan mereka untuk mencoba mengeksekusi hal-hal yang kita anggap tidak wajar.

Jumlah mereka ini tak banyak dalam setiap kurun generasi. Karena memang tak banyak pemain bola yang mampu melestarikan daya imajinasi anak-anak, dan kegembiraan berkhayal dalam bermain bola sesudah mereka menginjak dewasa. Meminjam perkataan Pablo Picasso, "Setiap anak adalah seniman. Problemnya adalah bagaimana tetap menjadi seniman ketika ia tumbuh dewasa."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan menjadi dewasa rupanya berbanding lurus dengan tergerusnya kemampuan berkhayal. Mungkin karena dengan menjadi dewasa kita dituntut untuk selalu berpikir logis-masuk akal. Karenanya, "Orang dewasa sering gumunan (gampang heran) dan menganggap cara pandang kanak-kanak adalah magis," kata sahabat saya, sastrawan AS Laksana (@aslaksana). Mereka lupa pada satu ketika mereka juga pernah menjadi anak-anak dan punya daya khayal.

Tak heran kalau dalam masyarakat, seniman sering dianggap aneh, nyleneh (eksentrik?) dan tidak normal. Sama seperti kita menganggap seniman bola berbeda (aneh) dari pemain bola rata-rata.

Tapi bagaimana ketika ketidaknormalan itu dianggap sebagai kenormalan hal yang biasa saja? Saya mengalaminya ketika berkunjung ke Brasil tahun 2008.

Saya bersama dengan 24 wartawan lain dari Eropa dan Brasil sedang melakukan ekspedisi menyusuri ruas sungai Amazon antara Manaus dan Santarem di Brasil guna mengkaji dampak pemanasan global terhadap alam dan kehidupan sosial di kawasan Amazon. Karena terhadang badai, kami terpaksa membuang sauh di sebuah gugusan pulau di tengah sungai raksasa itu untuk bersembunyi.

Ceritanya sebenarnya kemudian agak memalukan. Di pulau itu, sambil menunggu badai reda, kami ditantang bermain bola di bantaran sungai oleh bocah-bocah berusia belasan tahun. Kami wartawan, semuanya pintar berbicara tentang bola dan serba-serbinya, hanya bisa bertahan bermain paling lama 20 menit. Pasir tebal dan bola yang berat dan kempes menambah kesengsaraan kami. Kedodoran nafas kami kalah telak. Saya tak ingat skornya.

Padahal sebisa mungkin kami telah mencoba bermain dengan "benar": menggunakan taktik, bekerja sama dan memanfaatkan fisik kami yang rata-rata lebih besar dan kuat. Sementara mereka, setidaknya di mata kami, bermain ngawur tanpa pola, berlebihan pamer keterampilan menggocek bola -- sialnya, mereka memang bagus -- dan terlalu individualistik. Semua yang menurut kami serba salah dalam permainan sepakbola.

Intermezzo bola itu bukanlah hal yang serius. Kecuali untuk satu dua orang, keterampilan kami bermain bola memang biasa-biasa saja. Namun tetap saja menjadi kejengkelan buat kami yang merasa mengerti sepakbola. Kecuali bagi dua orang wartawan asal Brasil sendiri, laki-laki dan perempuan, yang berjanji mengantar kami berkunjung ke favela (kawasan kumuh) bila kami mampir ke Sao Paulo. "Anak-anak itu belum seberapa," kata mereka.

Seingat saya hanya empat atau lima orang termasuk saya yang kemudian benar-benar ikut berkunjung ke favela yang bertebaran di Sao Paulo. Yang lain punya jadwal dan kesibukan sendiri-sendiri.

Untuk Amerika Latin, Sao Paulo memiliki penduduk terbesar yang tinggal di daerah-daerah kumuh ini, sekitar dua juta orang. Sama dengan daerah kumuh di negara lain, penduduk favela memanfaatkan setiap benda yang mereka dapat untuk membangun perumahan mereka: dari kardus, seng, puing bangunan, hingga kayu buangan. Bangunan permanen dan semi permanen berhimpitan satu sama lain.



Mereka secara tidak sah menginvasi setiap jengkal tanah yang tersedia dan memaksimalkan penggunaannya untuk tempat tinggal. Dari tempat yang rawan banjir hingga perbukitan yang terjal semuanya disikat oleh mereka.

Kesan saya ketika melihat favela untuk pertama kalinya adalah sebuah kreativitas untuk bertahan hidup dalam kesemrawutan tingkat super yang sepertinya tak mungkin lagi bisa diurai. Layanan sosial penunjang kehidupan yang tersedia bisa dikatakan nol besar. Sanitasi, kalaupun ada, tambal sulam tidak karuan. Satu-satunya cara untuk bisa hidup layak adalah mendapat pekerjaan yang baik dan keluar dari sana.

Favela di Sao Paulo ini menyajikan stereotipe yang banyak kita jumpai di buku atau cerita orang: di samping kemiskinan yang sangat, sepanjang waktu anak-anak bermain bola dengan riangnya di setiap jengkal lahan yang dianggap luang. Ada yang hanya sebuah gang sempit, pelataran bekas rumah yang dihancurkan, lahan yang tidak datar, pokoknya asal bola bisa digocek dan ditendang. Bola yang dipakai juga agak berbeda, semacam karet yang agak lunak dan berat agar tidak bisa ditendang terlalu jauh.

Sempitnya tempat bermain memaksa mereka harus sebisa mungkin membuat bola terus menempel di kaki, menyesuaikan diri dengan ruang permainan yang ada dan menyatukan semuanya dalam sebuah imajinasi guna melewati lawan. Permainan bola anak-anak itu seperti cerminan kreativitas imajinasi orangtua mereka untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan dan barang yang tersedia agar bisa dijadikan tempat berteduh.

Sebenarnya di beberapa favela terkadang ada lapangan kecil, sebesar lapangan futsal, untuk bermain. Tetapi antrean kadang terlalu panjang. Dan mereka yang menunggu sering menggelar permainan mereka sendiri di jalanan sekitar lapangan itu berada.



Ya, kami terkagum-kagum dengan keterampilan bermain mereka. Kadang-kadang tertawa terbahak-bahak melihat trik-trik yang tak pernah terbayangkan dalam benak kami. Kaki-kaki kecil itu seperti berubah menjadi tangan yang mampu memanipulasi bola sekehendak mereka. Bukan hanya kaki, tetapi juga pinggul, dada, bahu, lirikan mata, kepala dan bahkan juga tubuh lawan, menjadi alat untuk memperdaya lawan. Mereka juga mampu menciptakan ruang-ruang kosong untuk mengoper bola dalam kesempitan ruang yang tersedia.

"Prinsipnya sama dengan anak-anak yang bermain di pulau itu," kata teman wartawan dari Brasil, mengingatkan kami akan permainan bola di bantaran sungai Amazon. "Keterampilan itu penting. Tetapi itu hanyalah perwujudan dari imajinasi-daya khayal menghadapi situasi, keadaan dan ruang yang mereka hadapi."

Ucapan teman ini dan apa yang saya saksikan di favela mengingatkan saya akan buku dari Jonathan Wilson: Inverting Pyramid: The History of Football Tactics. Wilson menyinggung tentang evolusi gaya permainan sepakbola berpuluh tahun setelah olahraga ini diperkenalkan ke Amerika Latin oleh "misionaris" sepakbola Inggris lebih seabad silam.

Ketika sepakbola mulai dimainkan oleh mereka yang bukan lagi elite masyarakat Amerika Latin, demikian kira-kira buku itu menyebut, elemen kreativitas baru lalu masuk dalam permainan bola. Sesuai dengan kondisi alam dan sosial dimana permainan itu berkembang. Bukan lagi seperti di Inggris yang segalanya serba teratur dan dengan fasilitas yang memenuhi syarat.

Saya kemudian membayangkan, melakukan ekstrapolasi, berapa banyak favela yang ada di Brasil ini? Rio de Janeiro jelas memiliki favela yang tak kalah besar dan rumitnya dengan Sao Paulo. Porto Alegre. Vitoria. Aracaju. Banyak lagi kota besar lainnya. Sedikitnya, berdasarkan sensus resmi pemerintah Brasil, 12 juta penduduk Brasil tinggal di favela. Walau jumlahnya konon lebih banyak lagi.

Bagi penduduk favela, cara bermain yang penuh daya khayal itu adalah satu-satunya cara bermain yang mereka tahu, kenal dan akrabi. Bagi mereka apa yang dianggap keanehan oleh dunia luar adalah keseharian cara bermain sepakbola. Bahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Saya tidak tahu bagaimana kemudian bakat-bakat dari favela itu kemudian diserap oleh industri sepakbola Brasil. Bagaimana pula industri sepakbola Brasil menananamkan ukuran kedisplinan dan teknikalitas sepakbola modern sambil melestarikan daya khayal dan keriangan dari favela itu. Serta pula bagaimana mengkorporasikan dengan bakat-bakat dari luar favela. Atau bagaimana daya khayal bisa memberi inspirasi dan menggosok mereka yang tidak dibesarkan di favela.

Bagi saya kalau sejauh ini daftar seniman bola dunia begitu banyak yang datang dari Brasil, bisa diambil kesimpulan bahwa mereka -- industri bola dan badan sepakbola Brasil -- telah melakukan sesuatu yang benar.



=====

* Foto-foto: Getty Images
* Akun Twitter penulis: @dalipin68
* Tentang 'Dalipin Story', baca di sini




(a2s/krs)

Hide Ads