Ada sebuah anekdot dari zaman yang telah lewat dan mungkin sebuah generalisasi yang mengontraskan dua buah gaya bermain dengan agak berlebihan.
Kalau anda menonton pertandingan sepakbola di Italia, tanpa anda mengetahui skornya, anda kemungkinan akan segera tahu kesebelasan mana yang sedang unggul: yang bertahan habis-habisan. Kalau anda menonton pertandingan sepakbola di Inggris, anda akan kesulitan menebak kesebelasan mana yang sedang unggul: karena yang sudah unggul dengan skor telak pun akan masih menyerang habis-habisan.
Mudah kita tebak, yang pertama adalah penggambaran catennaccio dan yang kedua kick and rush.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapapun yang mempopulerkan anekdot itu mengerti bahwa tidak ada yang lebih superior atau inferior dari kedua model itu. Kedua model itu dalam sepakbola adalah dua wajah dari uang logam yang sama. Saling berkait dan tidak bisa meninggalkan satu sama lain.
Karenanya, berkaca dari anekdot itu saya agak terganggu ketika banyak pihak menyebut sepakbola bertahan adalah sepakbola pragmatis, sementara sepakbola menyerang adalah sepakbola yang tidak pragmatis (malah ada yang dengan tinggi hati menyebutnya idealisβpadahal pragmatis bukanlah lawan kata idealis. Realis mungkin lebih tepat sebagai lawan kata idealis).
Lebih parah lagi, pragmatis dikesankan negatif. Seolah sepakbola bertahan itu inferior dan sepakbola menyerang superior. Seolah "memarkir bus di depan gawang" (atau kalau mau lebih seram "memarkir dua bus atau pesawat terbang" sekalian) sebuah cacat, sementara upaya membongkarnya adalah sebuah tindakan mulia.
Juga yang harus disadari bahwa gaya permainan bertahan bukan berarti mereka kemudian tidak berusaha mencetak gol. Tetapi menitikberatkan permainan untuk mencegah kebobolan dan memanfaatkan secara klinis dari sedikit kesempatan yang mereka punya untuk mencetak gol. Sementara gaya bermain menyerang, walau menitikberatkan upaya untuk mencetak gol sebanyak mungkin bukan berarti kemudian mengabaikan pertahanan.
Kembalilah ke arti dasar dari kata pragmatis itu: tindakan yang didasari pengalaman praktis atau pengamatan ketimbang teori, menurut kamus Oxford. Atau, kemampuan untuk mendekati persoalan dengan masuk akal sesuai pertimbangan praktis ketimbang teoritis, menurut kamus Cambridge. Tidak ada sama sekali penilaian positif atau negatif dalam penjelasan arti pragmatis itu.
Anda tahu, baik bertahan maupun menyerang adalah sebuah tindakan/pilihan pragmatis. Keduanya membutuhkan pemikiran dan latihan yang sama rumitnya. Keduanya mempunyai risiko dan membutuhkan kejelian untuk mengeksekusinya. Keduanya sama-sama mempunyai tujuan menegasi kelebihan lawan di lapangan dan sebisa mungkin menjebol gawang.
Tanpa kata pragmatis maka tidak ada yang namanya taktik dan strategi. Kukuh kaku dengan gaya permainan tertentu tanpa variasi dan kelenturan taktik dan strategi adalah paling halusnya kenaifan dan paling kasarnya ketololan. Harus selalu ada rencana A, rencana B dan kalau perlu rencana C dan D dalam menghadapi sebuah pertandingan.
Bukankah tidak ada dua pertandingan yang sama persis? Bukankah manajer harus selalu menimbang dan bereaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi di lapangan, bila apa yang dipersiapkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan dan diperkirakan? Tak menjadi soal kalau default atau insting/pilihan si manajer tersebut bertahan atau menyerang.
Ambil sebagai misal, sebuah kesebelasan yang menampilkan taktik dan strategi menyerang kalah atau seri karena lawan melakukan pertahanan yang ketat dan berlapis. Akan sangat aneh kalau kemudian mereka mengeluhkan hasil itu dengan alasan lawan yang dihadapi melakukan pertahanan total dan/atau hanya sekali-sekali menyerang.
Lha apa yang diharapkan? Lawan membuka pertahanan agar gawangnya kebobolan? Mempersilakan kesebelasan yang menyerang untuk mencetak gol? "Monggo lho, gawang sudah kami buka, silakan cetak gol". Hanya karena satu kesebelasan mempertontonkan taktik dan strategi menyerang, bukan berarti mereka mempunyai hak yang lebih besar untuk memenangkan pertandingan.

Sudah cukup bahwa seharusnya mereka yang memperagakan sepakbola menyerang diuntungkan. Karena berbicara tentang rasio probabilitas mencetak gol, secara otomatis kesebelasan yang memegang inisiatif penyerangan jelas lebih besar. Semestinya mereka mampu mencipta peluang gol yang lebih banyak. Kalau mereka tidak bisa mencetak gol lebih banyak, pertanyaannya adalah apa kekurangan mereka? Jangan salahkan ketatnya pertahanan lawan.
Pada saat bersamaan, bukankah mereka yang menampilkan permainan bertahan juga tidak bisa mengeluh kalau gawang kebobolan dan kalah. Mereka tidak bisa beralasan, "Habis lawan menyerang terus, ya kami akhirnya kebobolan". Risiko sudah dihitung dan taktik serta strategi sudah diambil, konsekuensi harus ditanggung. Kalau mereka yang menerapkan strategi bertahan kebobolan dan kalah, pertanyaannya adalah mengapa pertahanan bisa bobol? Jangan salahkan serangan yang datang beruntun.
Anda ingat akan ungkapan populer dalam sepakbola: menyerang adalah pertahanan terbaik. Ini ungkapan yang sudah diterima sebagai aksioma (kenyataan yang tak perlu dibantah kebenarannya) oleh kalangan sepakbola. Coba cermati implikasi logis dari pernyataan itu: inti permainan sepakbola di pertahanan dan bukan di penyerangan. Penyerangan dilakukan agar pertahanan terjaga. Sebab kalau penekanan sebaliknya, bukankah ungkapannya akan menjadi "bertahan adalah penyerangan terbaik".
Anda penggemar bola mungkin mengatakan, tetapi sepakbola bertahan itu membosankan dan sepakbola menyerang lebih menarik. Saya termasuk dalam kelompok ini. Hanya saja gaya permainan adalah persoalan preferensi, pilihan, kenyamanan yang dipengaruhi oleh sekian latar belakang. Siapakah kita yang kemudian bisa menghakimi satu permainan lebih baik dari yang lain. Apa tolok ukurnya?
Sebagai penggemar sepakbola seringkali kita tidak adil dan tidak konsisten dalam menilai gaya permainan bertahan. Ketika diterapkan oleh manajer tertentu kita menghujatnya, tetapi diterapkan manajer lain kita memujinya. Ketika diterapkan negara tertentu kita mencibirnya, tetapi oleh negara lain kita mengaguminya. Ketika klub yang kita dukung melakukannya dan menang kita bergembira, tetapi ketika klub lain melakukannya (dan terutama mengalahkan klub yang kita dukung) kita mencacinya.
Saya tidak sedang membela sepakbola bertahan atau (apalagi) mengecil artikan sepakbola menyerang. Sekadar mencoba mendudukkan persoalan. Semoga tidak menjadi lebih ruwet: Pragmatisme tidaklah berkait hanya dengan sepakbola bertahan tetapi juga menyerang. Pragmatisme tidaklah berarti negatif. Itu saja.
===
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Setelah 17 tahun di London penggemar sepakbola dan kriket ini kini pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNNIndonesia.com. Akun twitter: @dalipin68
(a2s/krs)