Thierry Henry adalah sosok kondang di dunia sepakbola. Di balik nama besarnya, Henry ternyata sudah lama memerangi rasa depresi.
Semasa bermain dulu, Thierry Henry meninggalkan goresan dengan tinta emas di Arsenal dan timnas Prancis. Termasuk dengan menjadi top skor sepanjang masa the Gunners.
Namun, seperti diakui Henry dalam podcast Diary of a CEO-nya Steven Bartlett, di balik itu ada perjuangan panjang dirinya menghadapi rasa depresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sepanjang karierku, dan sejak aku lahir, aku seperti sudah depresi," kata Thierry Henry seperti dilansir talkSPORT.
"Apa aku menyadarinya? Tidak. Apa aku melakukan sesuatu? Tidak. Tapi aku beradaptasi sampai titik tertentu. Bukan berarti aku melangkah lurus, tapi aku tetap melangkah. Aku harus menaruh satu kaki di depan kaki lain, berulang-ulang, dan melangkah. Sejak kecil, itu yang diberitahukan kepadaku."
"Aku tidak pernah berhenti melangkah, (padahal) jika melakukannya mungkin aku bisa menyadarinya. (Tapi saat) COVID, aku berhenti melangkah. Aku tidak bisa (melangkah lagi). Barulah aku mulai menyadari," tuturnya soal rasa depresi.
Menurut Henry, semasa merintis karier sebagai pesepakbola ia banyak memakai "jubah" sebagai mekanisme pertahanan diri. Tindakan membentengi diri itu mulai runtuh sejak pensiun pada 2014.
Sejak tidak lagi bermain, Thierry Henry sudah terlibat di timnas Belgia dan klub raksasa Prancis Monaco, sebelum melatih Montrel Impact pada 2019 yang membuatnya terdampar di Kanada semasa pandemi COVID-19 melanda.
"Aku dalam isolasi di Montreal dan tidak bisa menemui anak-anakku selama satu tahun terasa amat berat," ucap Henry.
Pada momen itulah Henry "menangis nyaris setiap hari tanpa ada alasan." Ia kemudian menambahkan, "air mata terus bercucuran. Aku tidak tahu kenapa, tapi mungkin perasaan itu sudah mengendap lama. Secara teknis, (yang menangis) bukanlah diriku tapi sosok kecil di dalam diriku. (Menangis karena) segala hal yang tidak ia dapatkan: pengakuan."
Henry menganalisis, sumbernya adalah sang ayah yang amat ketat kepadanya semasa dini bermain bola. "Waktu aku bocah, selalu saja 'kamu tidak melakukannya dengan baik'. Tentu saja kelewat sering mendengarnya akan bikin hal itu membekas."
Setelah menyadari dirinya depresi, dan sumber dari rasa depresi itu, Thierry Henry perlahan-lahan mulai mendapatkan pencerahan. Sebuah momen di 2021 membuatnya tersadar apa yang sungguh-sungguh krusial dalam hidupnya saat ini. Momen itu terjadi ketika dirinya hendak terbang balik ke Montreal dan harus meninggalkan keluarganya.
"Aku menaruh tas bawaan untuk berpisah dan semua tiba-tiba menangis, mulai dari kekasihku, pengasuh, sampai anak-anak. Untuk kali pertama, aku merasa... 'oh, mereka sungguh melihat diriku, bukan si pemain bola, bukan penghargaan (di dunia bola)', dan detik itu aku sungguh merasa jadi manusia," ujarnya.
"Aku kemudian berhenti melatih di Montreal. Aku bergumam 'apa yang aku lakukan? mau merasakan situasi itu lagi hanya demi menyenangkan orang lain? Mereka cinta Thierry, bukan Thierry Henry'. Aku tidak jadi pergi, untuk pertama kalinya merasa jadi manusia... dan rasanya menyenangkan," tutur Thierry Henry.
----
CATATAN: Jika Anda merasa depresi yang mengarah pada tindakan menyakiti diri sendiri atau orang lain, segera cari bantuan dengan menghubungi psikolog atau psikiater terdekat. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami tanda-tanda depresi berat, bisa hubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes 021-500-454.
(krs/cas)