Hal itu disampaikan oleh Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali, Jumat (31/3/2017). Marhali menganggap bahwa aturan itu memaksa pesepakbola untuk pensiun dini.
Seperti diketahui, menyongsong musim baru PSSI sudah membuat keputusan soal pembatasan usia. Di Liga 1, setiap klub hanya diperbolehkan memiliki dua pemain yang berusia maksimal 35 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemain tua dengan sendirinya akan berguguran bila kualitasnya sudah tak mampu bersaing. Ditambah hadirnya pemain muda potensial. Jadi, tak perlu dibatasi," tegas Akmal melalui rilis yang diterima Detiksport.
"Pembatasan umur maksimal pemain sepakbola ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), juga hak sebagai pekerja profesional."
Regulasi tersebut dibuat oleh PSSI memang bukan tanpa alasan. Mereka menginginkan adanya regenerasi pemain, termasuk adanya regulasi pemain U-23 di setiap tim.
Namun regulasi itu juga dinilai kurang tepat jika diterapkan di liga tertinggi Indonesia. Akmal menyebut seharusnya peraturan itu diberlakukan di kompetisi U-19 yang akan digulirkan oleh PSSI.
"Lebih progresif bila kebijakan itu diberlakukan bukan untuk U-23, tapi U-19. Jadi, nyambung dengan kompetisi U-19 antar Klub Liga 1. Usia 23 sejatinya sudah jadi pemain profesional. Mereka juga bisa dimatangkan di Liga 2 dan Liga Nusantara yang menggunakan kebijakan U-23," lanjut dia.
Akmal menilai regulasi-regulasi yang dibuat oleh PSSI terkesan terburu-buru, tanpa memikirkan dampaknya. Pun demikian dengan regulasi marquee player.
PSSI menerapkan regulasi pemain asing dengan 2+1+1 (dua pemain non Asia, satu Asia dan satu pemain marquee player). Tapi setiap klub tidak diwajibkan memiliki marquee player.
Ya, marquee player memang sangat menguntungkan dari segi bisnis. Namun regulasi itu dinilai bisa menimbulkan kesenjangan.
"Dengan disebarnya Marquee Player ke 18 klub peserta akan sangat adil dan membuat kompetisi sangat menarik dengan hadirnya para pemain bintang," kata Akmal.
"Kebijakan yang memberikan kebebasan kepada klub merekrut sebebasnya Marquee Player sesuai kemampuan akan membuat kompetisi tak sehat. Ini hanya melahirkan kesenjangan antara klub kaya dan miskin."
(ads/rin)