Stadion Andi Mattalatta di Makassar jadi sorotan karena kondisinya yang tak terawat. Tapi itu bukan satu-satunya stadion terbengkalai di Indonesia.
Ada banyak alasan stadion menjadi terbengkalai. Mulai dari utang-piutang, terputusnya alokasi dana Pemda, hingga kasus korupsi.
Pengelolaan pasca Pekan Olahraga Nasional (PON) juga menjadi salah satu momok dalam kasus terbengkalainya stadion. Setidaknya ada tiga stadion yang dilupakan setelah selesainya penyelenggaraan PON, yakni Stadion Palaran, Stadion Utama Riau, dan terkini Stadion Gelora Bandung Api.
Di Indonesia, stadion akan dirawat jika bisa menjadi tempat yang memadai untuk sebuah event, utamanya sepakbola. Saat banyak penonton yang hadir, ada alokasi dana untuk biaya perawatan.
Sudah diketahui bersama kalau stadion di Indonesia dimiliki oleh Pemda. Klub hanya bertindak sebagai penyewa kepada dinas olahraga, pengelola stadion, atau Pemda.
Artinya, tanggung jawab perawatan stadion bukan berada di tangan klub. Melainkan pengelola atau instansi yang terkait.
Ketika stadion tak digunakan lagi sebagaimana dalam kasus Stadion Andi Mattalatta, maka alokasi perawatan pun terhenti. Nah hal ini yang biasanya jadi sumber masalah utama.
Berikut tujuh stadion yang terbengkalai di Indonesia
1. Stadion Palaran
Venue yang diklaim bisa menampung lebih dari 60 ribu penonton itu pernah menyihir masyarakat Indonesia. Kapasitasnya terbilang cukup besar dan bisa menyaingi Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) di Jakarta.
Sampai-sampai PSSI menggelar babak perebutan ketiga dan final Divisi Utama musim 2008/09. Persisam Putra Samarinda (kini menjadi Bali United) pun pernah berkandang di sana pada Indonesia Super League (ISL) 2014.
Ajang pramusim Piala Gubernur Kaltim edisi 2018 juga pernah menggelar event di sana. Setelahnya praktis tak ada lagi kegiatan hingga akhirnya kondisi stadion mulai memburuk.
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang berada di bawah Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Kaltim lebih menganakemaskan Stadion Madya Sempaja soal anggaran. Alasannya Stadion Palaran tak ada kegiatan sehingga alokasi dana perawatan dialihkan ke Stadion Madya Sempaja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Stadion Utama Riau
Membangun stadion megah seolah menjadi tradisi Pemprov saat hendak menjadi tuan rumah PON. Stadion Utama Riau memang terbilang istimewa kala dibuka untuk menggelar PON 2012.
Maklum dana pembangunannya dikabarkan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Timnas Indonesia U-22 pun pernah menjadi tuan rumah Kualifikasi Piala Asia U-23 2013 di sini.
PSPS Pekanbaru (sekarang bernama PSPS Riau) pernah beberapa kali berkandang di stadion berkapasitas lebih dari 40 ribu penonton ini. Namun PSPS lebih banyak memainkan laga kandangnya di Stadion Kaharudin Nasution.
![]() |
Pemasukan untuk biaya perawatan pun terbilang minim. Selain itu, stadion ini pernah disengketakan. Pemprov Riau selaku pemilik stadion ternyata berutang Rp 264 miliar kepada kontraktor.
Setelah PON, Kualifikasi Piala Asia U-23, dan PSPS, tak ada lagi event yang digelar. Stadion pun dikabarkan beralih fungsi menjadi lokasi mesum.
3. Stadion Gelora Bandung Lautan Api
Semua tampak indah buat GBLA meski PON 2016 telah berakhir. Tak ada tanda-tanda stadion ini akan terbengkalai sebagaimana nasib Stadion Palaran dan Stadion Utama Riau.
Persib Bandung rutin menggelar pertandingan kandangnya di GBLA sejak Indonesia Soccer Championship (ISC), tepatnya mulai Juli 2016. Sebelumnya lebih identik berkandang di Stadion Siliwangi di Stadion Si Jalak Harupat. Sayang insiden tewasnya suporter Persija Jakarta, Haringga Sirla, pada 23 September 2018, seolah menjadi akhir kejayaan GBLA.
Maung Bandung pun dihukum pertandingan usiran di luar Pulau Jawa di sisa musim Liga 1 2018. Perlahan-lahan kondisi GBLA mulai terbengkalai.
Saat hukuman partai kandang usiran selesai, Persib lebih memilih kembali ke Stadion Si Jalak Harupat. Di media sosial kemudian mulai bertebaran kondisi miris GBLA.
![]() |
Banyak gambar-gambar keretakan di dinding dan lintasan lari GBLA. Usut punya usut ternyata pembangunan stadion belum sepenuhnya rampung.
Hal itu diperparah dengan kasus korupsi pada 2015. Yayat Ahmad Sudrajat yang merupakan mantan Sekretaris Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, divonis hukuman 5 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Senin 22 Januari 2018, akibat tindakannya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 103 miliar.
4.Stadion Benteng
Persikota Tangerang dan Persita Tangerang pernah identik dengan Stadion Benteng. Meski kondisi stadion tak bisa dibilang bagus, kedua klub pernah mencuri perhatian insan sepakbola Indonesia kala masih berkandang di sana.
Persikota yang terbilang muda karena baru dibentuk pada 1995, langsung menggebrak kala tampil di Divisi II Liga Indonesia 1995/96. Mereka akhirnya menembus babak final dan menang 1-0 atas Persewangi Banyuwangi sehingga promosi ke Divisi I.
Semusim di Divisi I, Persikota langsung promosi ke Divisi Utama musim 1999/2000. Itu setelah mereka menjuarai Divisi I musim 1996/97.
![]() |
Pada musim pertamanya di kasta tertinggi, Persikota berhasil menduduki peringkat ketiga Wilayang Tengah. Sayang kompetisi musim 1997/98 dihentikan di tengah jalan akibat memanaskan suhu politik di Tanah Air.
Meski begitu, Persikota berhasil mencuri perhatian. Julukan Bayi Ajaib pun mulai disematkan kepada mereka. Kiprahnya pada musim-musim selanjutnya pun terbilang stabil.
Saudara tua Persikota yakni Persita juga tak mau kalah. Bahkan Persita hampir menjadi juara Liga Indonesia 2002 dan peringkat ketiga semusim berikutnya.
Persaingan panas sesama penghuni Stadion Benteng akhirnya merambat ke suporter. Sudah dipastikan kedua kelompok suporter akan baku hantam jika saling berhadapan. Tanpa ada pertandingan pun keduanya kerap melakukan aksi onar.
Pada 2012, Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat pun mengeluarkan fatwa haram sepakbola di Tangerang akibat ulah kedua kelompok suporter. Akibatnya Persita dan Persikota tak bisa bermain di sana lagi.
Kondisi itu perlahan-lahan membuat Stadion Benteng tak terawat. Rumput alang-alang yang sudah tinggi saat stadion aktif digunakan pun makin meninggi kala ditinggal kedua klub.
(Halaman selanjutnya)