Dijelaskan Harsiwi, dalam mengembangkan industri harus dilakukan bersama-sama. Memang harus ada penyesuaian seperti itu sebagaimana yang terjadi di Piala Dunia Qatar ataupun jam malam di Liga 1.
Ia mencontohkan sepakbola Eropa yang harus menyesuaikan waktu dengan China. Harsiwi menekankan, yang penting adalah tak menyalahi aturan jam orang olahraga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi Liga 1 tayang 20.30 WIB, itu tak menyalahi apa-apa, masih oke, masih boleh secara kesehatan. Jadi apa yang dilakukan PSSI dan LIB tak apa apa. Kan boleh. Kecuali puasa main setelah buka puasa. Nanti bisa sakit perut. Itu gak boleh. Maka terjadi diskusi antara pihak broadcaster yang membeli right untuk itu ke PSSI dan LIB," ucap Harsiwi.
"Kenapa 20.30? Salah satunya harus menyesuaikan jadwal pertandingan. Yang kedua kita negara muslim, kami ingin memberikan waktu penonton sholat dulu. Lalu, jam 7 (pukul 19.00) dan 8 (pukul 20.00) di sekitar lapangan ada yang suara suara masjid atau azan. Nah itu merupakan pertimbangannya juga. Intinya kalau tidak menyalahi aturan kesehatan tak masalah. Saya rasa penonton paham yak," tuturnya.
Sebenarnya bukan hanya masalah kickoff saya yang menjadi keluhan. Kualitas tayangan Liga 1 maupun Liga 2 dinilai kurang baik, ada yang menilai belum high definition (HD).
Di media sosial, tak sedikit yang melakukan perbandingan kualitas tayangan sepakbola Indonesia saat masih dipegang oleh broadcaster lama. Kritikan ini sudah sering diutarakan, namun kualitasnya dianggap tak kunjung membaik.
"Saya mau tanya. Nah itu jangan termakan dulu, karena sosmed belum tentu real. Tolong dicek dulu. Jangan berburuk sangka dulu, tonton dulu," ujar Harsiwi menjawab kritikan kualitas tayangan Liga 1.
"Sekarang kami punya terobosan slow motion, yang baik akan kami lanjutkan. Hal yang kurang kami perbaiki dan tingkatkan terhadap diri sendiri, PSSI, LIB, dan yang produksi tayangan sepakbola. Bahkan, penerimaan gambar kami jadikan evaluasi terus agar kelihatan keren," ucapnya.
(cas/krs)