Andrea Pirlo bukan penggemar taktik defensif. Mantan pelatih Juventus ini mengaku, dirinya lebih suka kalah daripada menang dengan mengusung strategi bertahan.
Satu-satunya pengalaman Pirlo melatih di level tertinggi adalah ketika menukangi Juventus pada musim 2020/2021. Pirlo didapuk menggantikan Maurizio Sarri, yang diberhentikan meski sukses mengantar Bianconeri menyabet Scudetto kesembilan beruntun.
Sayangnya, masa kerja Pirlo di Stadion Allianz berakhir singkat. Pirlo juga dipecat setelah menyelesaikan musim debutnya, lebih cepat semusim dari kesepakatan kontrak awal sampai 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andrea Pirlo tercatat memimpin Juventus di 52 pertandingan di seluruh kompetisi dengan hasil 34 menang dan delapan kali kalah. Namun, Juve-nya Pirlo 'cuma' memenangi Coppa Italia, kandas di babak 16 besar Liga Champions, dan bahkan finis keempat di Liga Italia.
Setelah berpisah dengan La Vecchia Signora, Pirlo belum lagi melatih tim manapun. Namun, yang jelas Pirlo tidak akan mau mengubah filosofi permainannya, yang mengedepankan taktik menyerang.
"Anda melihat pelatih-pelatih muda yang ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Bagi saya, sepakbola sedang menuju ke arah situ. Guardiola sudah menunjukkannya selama beberapa tahun terakhir," ucap allenatore berusia 42 tahun ini di Football-Italia.
"Kalau Anda tidak mengendalikan pertandingan, sulit memikirkan bahwa Anda akan memenanginya. Tentu saja, mungkin ada waktu-waktu ketika Anda menguasai 90 persen bola dan kebobolan dari satu-satunya tembakan lawan yang mengarah ke sasaran," sambung eks gelandang top AC Milan dan Juventus ini.
"Namun, saya lebih suka kalah daripada menghabiskan sepanjang pertandingan dengan bertahan di kotak penalti sendiri dengan mencoba mencetak gol dari sebuah serangan balik," ungkap Pirlo.
(rin/mrp)