Pelatih Lazio Edoardo Reja paham betul, andaikan Lazio kembali memakai pola tiga bek seperti yang diterapkan pada empat pertandingan sebelumnya, ia hanya akan jadi bulan-bulanan AS Roma.
Karenanya di laga tadi malam, Reja merombak total dengan memakai pola yang sama dengan AS Roma, yaitu 4-3-3. Apa yang dilakukan Reja ini tentu berangkat dari keinginan untuk meredam serangan Roma yang kerap menyerang lewat flank. Terlalu riskan jika masih tetap memaksakan pola 3-4-2-1.
Alasan utama Reja melakukan ini karena Lazio memang tak memiliki pemain bertipikal wingback murni, terlebih back-three sejajar yang biasa berduet di lini belakang Lazio adalah pemain yang uzur-uzur dan akan kesulitan jika beradu lari dengan striker Roma macam Gervinho atau Alessandro Florenzi. Meninggalkan pola tiga bek di belakang jadi hal yang tepat bagi Lazio.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan memainkan empat bek sejajar, otomatis Lazio kembali ke pola lama dengan memainkan Stefan Radu sebagai fullback kanan dan Abdoulay Konko sebagai fullback kiri.
Lazio memang terlihat mencari aman, namun bukan berarti Lazio dirancang untuk bermain bertahan. Dari susunan line-up tercermin Lazio pun bermain menyerang. Senad Lulic, yang sejatinya adalah pemain sayap, digeser ke lini tengah untuk memberi tempat striker muda, Baldo Keita.
Kehilangan Hernanes memang membuat Lazio tak memiliki seorang gelandang serang. Dalam dua laga terakhir, Lazio tak memasang seorang pun gelandang serang. Melawan Roma kali ini, peran sebagai gelandang serang dimainkan bergantian oleh para gelandang. Sementara untuk melindungi lini pertahanan, Lazio menempatkan Cristian Ledesma dan Alvaro Gonzales sebagai gelandang bertahan yang secara bergantian konstan berdiri di depan empat bek.
Di kubu lawan, AS Roma sendiri tampil komplet. Tapi seperti biasa, dengan kedalaman skuat yang mumpuni, pelatih Rudi Garcia tak segan merotasi kekuatan di lini tengah dan depan.
Jika saat melawan Napoli di semifinal Coppa Italia kemarin Garcia memilih Radja Nainggolan di lini tengah, kali ini dia memilih Miralem Pjanic. Dibandingkan Nainggolan, naluri menyerang Pjanic lebih baik. Kehadiran Pjanic tampaknya disengaja terutama untuk memanfaatkan Lazio yang kehilangan banyak kekuatan di lini tengah.
Roma Memberi Jalan Bagi Lazio di Awal Pertandingan
AS Roma punya tipikal yang menonol di musim ini saat menghadapi tim-tim kuat yaitu menggunakan serangan balik. Pun begitu di derby kali ini. Di awal babak pertama, Roma memancing Lazio untuk bermain terbuka dan menyerang. Garcia terlihat ingin menghancurkan Lazio melalui serangan balik. Garcia memancing dua geladang bertahan Lazio (Ledesma-Gonzales) untuk naik ke depan. Karena itu saat bertahan, kadang dia menarik tiga gelandang Roma (Pjanic-Daniele De Rossi-Kevin Strootman) untuk rapat sedekat mungkin dengan empat bek di lini belakang.

Naiknya dua defensive midfielder (DM) Lazio yang kadang diplot sebagai attacking midfielder (AM) tak pernah dibarengi dengan naiknya dua bek tengah. Duet bek tengah Lazio memilih bertahan di kedalaman kendati dua DM mereka sudah naik jauh ke depan. Hal ini dipicu oleh penempatan posisi Gervinho yang konstan berdiri sendirian di pertahanan Lazio.
Alhasil, ada ruang yang cukup lebar antara bek tengah Lazio dengan para gelandangnya. Di ruang itulah justru area bermainnya Francesco Totti. Dengan leluasa Totti bisa memasok bola kepada Gervinho yang memulai gerakannya dari area sayap kanan.
Dari cara bermain ini, setidaknya empat kali Roma berhasil membongkar pertahanan Lazio. Skema serangan balik ini, yang memanfaatkan kesenjangan antara bek tengah dan DM Lazio, berhasil membuahkan 1 peluang yang sayangnya gagal dimanfaatkan oleh Roma [lihat grafik passing Totti babak 1]

Di Babak pertama kedua tim bermain terbuka melakukan transisi serangan dan bertahan yang teramat cepat. Namun di laga tadi malam memang terlihat ketimpangan antara pemain Lazio dan AS Roma.
Seperti yang disebut di awal, ketidakhadiran seorang gelandang serang di Lazio membuat alur serangan Lazio lebih didominasi lewat sayap dan bukan dimulai dari lini tengah. Lazio mulai serangan dari belakang, lalu dialirkan pada kedua fullback yang lantas dilanjutkan pada para penyerang sayap (Keita-Candreva).
Duet gelandang bertahan Lazio, Ledesma-Gonzales, nyaris absen dalam upaya membangun serangan. Lazio sebenarnya mempunyai Lucas Biglia, seorang pemain bertipikal deep-lying midfielder langganan timnas Argentina. Sayang Biglia di laga ini harus absen karena karena akumulasi kartu kuning.
Ketidakmampuan DM Lazio dalam memainkan peran sebagai penghubung antara lini belakang dan depan ini membuat Roma dengan leluasa menguasai lini tengah. Lazio sempat mencoba mengatasi ini dengan banyak membuat umpan-umpan panjang dari lini belakang. Tapi dari 35 percobaan, hanya 11 yang tepat sasaran.
Hal yang membuat Lazio kalah di lini tengah karena peran Lulic yang lebih banyak cenderung bergeser sebagai penyerang sayap. Lulic terpaksa lebih banyak bermain melebar karena Keita cenderung lebih sering melakukan cutting inside dan mendekati areanya Klose. Alhasil, di tengah Lazio kalah jumlah pemain.
Di babak kedua, Lazio sempat mencoba menarik Keita dan memasukkan Stefano Mauri. Sejatinya Mauri adalah seorang gelandang serang, tapi di laga tadi malam Reja malah memainkannya sebagai seorang striker. Alhasil, Lazio memang jadi bulan-bulanan Roma di lini tengah nyaris sampai akhir pertandingan. [Lihat Grafis Pemain Kedua Tim Babak Pertama]
Kelemahan Lazio inilah yang terbaca oleh Garcia. Ruang kosong di antara bek dan tengah dimanfaatkan Garcia dengan meminta Totti-Florenzi-Gervinho bertukar posisi. Terkadang Totti ke sayap kiri, Gervinho ke kiri atau Florenzi ke sayap kanan.
Namun yang pasti otak seragan di final-third adalah Totti. Selain pengalir bola dari tengah ke depan. Dia pun kerap jadi pemantul umpan-umpan through-pass yang dialirkan ke area flank khususnya kepada Gervinho.
Selain itu, Rotasi yang dilakukan tiga striker Roma di depan berhasil memecah konsentrasi bek-bek Lazio yang disiplin membuat garis pertahanan yang dalam. Pertukaran posisi antara Gervinho-Totti-Florenzi ini juga untuk memberi memberi celah bagi para gelandang untuk membuat attempt di luar kotak penalti. Jangan heran jika Roma sanggup membuat 7 attempt di luar kotak penalti, 6 di antaranya dibuat para gelandang.
Kesimpulan
Roma sejatinya memenangi derby tadi malam, mereka menguasai derby sepanjang 90 menit pertandingan. Dari ball possession, Roma unggul 65% berbanding 35%. Dari jumlah passing sukses Roma bahkan ungggul 3 kali lipat. Lazio hanya bisa mengoper 152 kali dan Roma 412 kali.
Dominasi Roma juga terlihat dari jomplang-nya statistik percobaan mencetak gol. Sepanjang laga Lazio hanya diberi kesempatan 3 kali melakukan attempt, beda jauh dengan Roma yang mengancam gawang kiper Lazio sebanyak 13 kali.
Jika ditilik dari angka-angka di atas Roma berhak memenangi pertandingan. Tapi terkadang angka statistik memang tidak berbanding lurus dengan hasil akhir. Skema yang dirancang oleh Rudi Garcia memang berjalan mulus, tapi sayangnya itu tak berhasil dikonversi menjadi satu pun gol. Hasil kacamata, akhirnya, menjadi hasil yang sangat jauh dari mewah untuk sebuah derby yang biasanya seru dan menegangkan.
====
*dianalisis oleh @panditfootball. Profil lihat di sini