Suatu hal yang ironis mengingat arus komunikasi dan informasi zaman itu boleh dikata tak terlalu kuno-kuno amat. Hubungan lewat telepon, telegram, dan media massa mempermudah komunikasi antara masyarakat Amerika Latin dan benua Eropa. Terlebih Brasil adalah salah satu negara Amerika Selatan yang memiliki interaksi erat dengan pedagang dan pelaut Eropa lewat bisnis kopi dan hasil bumi lain.
Ketidaktertarikan mereka terhadap taktik memang wajar, mengingat bagi masyarakat Brasil, taktik selalu berkaitan dengan kekompakan tim, dan bagi mereka hal itu adalah sekat-sekat yang membatasi akan individualitas yang selalu identik dalam permainan mereka (baca: Sejarah Taktik Brasil bagian satu).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dibawa oleh Pelaut
Jika ditelusuri lebih dalam, WM sendiri sebenarnya sudah masuk ke tanah capoeira pada tahun 1929. Kala itu, WM diperkenalkan oleh Gentil Cardoso â seorang pelaut Brasil yang gemar menonton sepakbola.
Lelaki yang sempat menjadi seorang tukang semir, supir trem, tukang roti dan kemudian bergabung dengan angkatan laut ini mengakui dirinya terkesima dengan formasi WM dilihat pada tim Arsenal era Herbert Chapman. Sebagai seorang pelaut yang melanglang buana kemana-mana, Cardoso memang gemar menyimak perkembangan sepakbola di negara yang disinggahinya. Termasuk saat mengunjungi London dan markas Arsenal.
Setibanya di Brasil, ia mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan WM pada klub kecil di wilayah Sirio Libanes.
Tapi usaha untuk mengkampanyekan WM ditentang banyak orang. Terutama mengingat Cardoso bukanlah mantan pemain sepakbola dan ia seorang berkulit hitam. Kehidupannya yang hanya kelas pekerja bawah membuat resistansi itu kian mengencang. Pada periode itu, sepakbola Brasil memang representasi dari kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat (Baca: Sentimen Sosial dan Klub-Klub Brasil).
Pada 1931, Cardoso sempat diberi kesempatan melatih klub yang cukup besar yaitu Bonsucesso. Dan, seperti biasa, Cardoso kembali dikucilkan dan tak dianggap, meski formasinya belum bekerja benar-benar. WM pun lalu lenyap dalam sepakbola Brasil selama 3 tahun lebih. Pola ini baru muncul kembali pada 1934 pasca kekalahan timnas Brasil atas Yugoslavia itu.
Kekalahan itu memang membuat mereka membuka mata akan pentingnya struktur dan pola. Namun, bukan berarti Brasil bergegas melakukan perubahan. Para artis sepakbola ini tetap keukeuh memakai sistem ortodok hingga tahun 1938.
Semua berubah ketika seorang Hungaria mempopulerkan WM di klub Flamengo. Namanya adalah Dori Kruschner.
Mengenalkan Dunia Luar pada Brasil
Dori adalah pemain di klub MTK Hogan, klub kecil di Hungaria. Tapi ia belajar dari para maestro sepakbola Eropa. Di Inggris, Dori belajar dan menyerap ilmu WM. Ia pun sering kali berbicang dengan Vitorio Pozzo, pelatih legendaris Italia yang memodifikasi WM menjadi WW. Sementara itu, di Swiss Dori juga sering berdikusi dengan Karl Rappan â sang pencetus lahirnya peran libero (baca: Embrio Sweeper dan Libero dari Modifikasi WM).
Sebagai seorang Yahudi, Dori kabur ke Brasil untuk menyelematkan diri dari pembantaian Nazi. Saat datang ke tanah Amerika Latin ini, Dori pun langsung ditunjuk sebagai pelatih kesebelasan Flamengo.
Saat melatih salah satu klub tertua di Brasil itu, Dori sangat terkejut karena tanah pelariannya masih memainkan pola kolot 2-3-5. Dori pun memperkenalkan formasi WM yang sedang populer di Eropa kepada para pemainnya.
Tapi, usaha ini tidak mudah. Sebagaimana Cardoso, ia pun mendapat kecaman dari publik, wartawan, bahkan pemainnya sendiri.
Kritikan itu bermula saat ia menggeser gelandang Fausto dos Santos âseorang pemain kunci di tengah yang bertipikal stylishâmenjadi seorang bek tengah yang bersifat defensif. Untuk memperkuat posisi tengah, Dori lalu menggeser dua wingback ke tengah.
Selain itu, dua penyerang dalam (inside forward) juga ditumpuk di area tengah dan diminta untuk lebih bertahan. Tapi, saat menyerang, Kurschner tak menerapkan WM. Ia malah cenderung memainkan formasi WW dan mendorong Dos Santos ke tengah.
Tapi, mereka yang melontarkan kritik seolah tak mau melihat pola saat menyerang itu. Apapun yang dilakukan Kurschner akan selalu salah.

Modifikasi WM dengan Bumbu Lokal
Meski menerima banyak kritikan, pemainan Flamengo bersama Kurschner tidak buruk-buruk amat. Pada musim pertama, mereka mampu mencetak 83 gol dalam 22 pertandingan, di liga, Flamengo pun menempati posisi kedua di belakang rival mereka, Fluminense.
Tapi secara tragis Kruschner malah dikhianati oleh asistennya sendiri, Flavio Costa. Pelatih asal Hungaria itu ditusuk dari belakang dengan fitnah hingga ia dipecat dari kursi kepelatihan pada musim 1938.
Ironisnya, Flavio yang dulunya keras menentang WM malah menggunakan formasi itu bersama Flamengo. Hanya saja, Flavio memodifikasi bentuk WM itu dengan poros gelandang dan lini depan yang diagonal.

Jonathan Wilson dalam buku "Inverting The Pyramid" menjelaskan bahwa Flavio menempatkan dua gelandang berposisi tak sejajar. Jayme digeser agak lebih tengah, sementara Vollante berperan defensif di area lebih dalam.
Â
Hal serupa juga terjadi pada penyerang dalam, Zizinho dan Peracio. Peran metronom di lini tengah diserahkan pada Zizinho, yang membentuk kombinasi segitiga dengan Vollante dan Jayme. Lantas, Peracio didorong naik sebagai penyerang tengah, namun bermain agak lebih dalam diapit Pirilo dan Veve.
Sekilas, serangan Flamengo ini timpang cenderung ke kiri mengingat banyak pemain menumpuk di sana. Namun, nyatanya pada masa itu, Flamengo malah banyak menyerang di sayap kanan. Hal ini untuk memanfaatkan ruang kosong pada zona tersebut.
Menumpuk banyak pemain di kiri adalah pancingan kepada lawan. Tak heran bintang Flamengo yang banyak mencetak gol bukanlah Peracio, Pirilo atau Veye, melainkan Valido dan Zizinho. Dua orang ini memiliki kemampuan kecepatan menggiring dan mengolah bola yang baik, layaknya pemain sayap Brasil pada umumnya.
Kepopuleran WM di era Flavio, tak lain dari kekalahan Brasil pada Piala Dunia 1938 oleh Italia. Kala itu Vittorio Pozzo, pelatih Gli Azzurri, memakai sistem WW yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Kurchner di Flamengo.
Kesamaan dari formasi WM dan WW adalah pengurangan pemain sejajar di lini depan. Pada masa itu, tim-tim yang sedang berjaya seperti Swiss, Hungaria, Inggris dan Italia memiliki kecenderungan 1-2 penyerang lebih mundur ke tengah. Dalam taktik Flavio, ia memanfaatkan Valido dan Peracio.
Kegagalan WM dalam Tragedi Maracanazo
Kesuksesan WM yang diterapkan Flavio Costa membuatnya didapuk jadi pelatih timnas Brasil tahun 1949. Saat Piala Dunia untuk pertama kalinya digelar di Brasil pada tahun 1950, beban Flavio untuk membawa Tim Samba amatlah berat. Tapi mereka mampu melewati babak penyisihan dengan sempurna.
Sayangnya di laga final mereka ditekuk oleh Uruguay 2-1. Kejadian ini orang akan lebih mengingatnya sebagai tragedi Maracanazo (baca: Maracazano: Sebuah Tragedi di Tanah Brasil).
Dalam soal taktikal, banyak pihak mengkritisi kekalahan ini terjadi karena formasi WM Brasil tak mampu membongkar pertahanan Uruguay yang memakai skema Verrou ala Karl Rappan.
Dengan memakai taktik Verrou 1-3-3-3, Uruguay menempatkan Gonzales sebagai pemain yang memerankan posisi sebagai libero di lini belakang. Peran libero ini mungkin yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah final piala dunia. Keberadaan Gonzales ini membuat frustasi Zizinho.
Â
Dengan sistem diagonal seperti yang dijelaskan di atas, gelandang Brasil tersebut biasanya muncul tiba-tiba di depan gawang lawan. Lalu, sistem man marking yang lazim digunakan pada masa itu akan mendorong bek lawan terpancing, lantas saat itulah Zizinho menusuk ke area kanan.
Namun, sistem libero yang diterapkan Uruguay membuat Zizinho menjadi tak efektif. Gonzales, yang memainkan zonal, disiplin menjaga area lini belakang. Taktik ini membuat Zizinho kesal. Sebagaimana diutarakan kepada Alex Bellos, penulis buku "Futebol: The Brazilian Way of Life".
"Memakai WM menghadapi Uruguay adalah sebuah kesalahan dan alasan tepat untuk dijadikan penyebab kekalahan. Semua tim kala itu bermain WM. Spanyol bermain WM, Swedia bermain WM, Yugoslavia bermain WM, dan mereka kami kalahkan juga dengan memakai WM. Namun Uruguay tak memakai WM. Mereka bermain dengan menempatkan satu orang di belakang yang membuat saya kesulitan. Menghadapi hal ini, kenapa pelatih tak peka untuk mengganti WM?" keluhnya.
Masalah lain dari taktik Brasil pada laga itu adalah bobroknya lini belakang. Dua gelandang bertahan mereka, yakni Bauer dan Danilo, cenderung ofensif ketimbang bertahan. Terlebih lagi bek sayap kanan, Joao Ferreira, juga diintruksikan naik membantu serangan dalam skema Costa. Hal inilah yang membuat para pakar di Brasil memutuskan untuk memperkuat lini pertahanan. Kekalahan adalah pembelajaran, tapi kali ini Brasil memutuskan untuk tak membiarkan keborokan itu berlarut-larut.
Usai tragedi Maracanazo, muncul taktik yang membuat Brasil menjadi salah satu kekuatan sepakbola dunia. Sebuah formasi yang identik menjadi masa kejayaan sang raja sepakbola. Formasi 4-2-4.
(bersambung)
====
*ditulis oleh @aqfiazfan dari @panditfootball
Bagian 1: Kenaifan Taktik Sang Raja Sepakbola
(roz/a2s)