Laga menarik Belgia kontra Amerika Serikat jadi penutup babak 16 besar. Belgia menjadi pemenang lewat dua gol di extra time, meskipun Amerika berhasil memperkecil skor dengan satu gol.
Sebuah catatan menarik bahwa babak 16 besar kali ini sering ditutup dengan gol-gol yang terjadi di fase perpanjangan waktu dan lewat adu penalti. Tercatat, dari 8 laga di babak 16 besar, 5 di antaranya berakhir dengan skor imbang hingga 90 menit. Jumlah ini adalah yang terbanyak sepanjang Piala Dunia digelar.
Hasil imbang yang bertahan hingga 2 x 45 menit ini jadi penegas, bahwa banyak tim yang bermain aman. Juga tak lepas dari performa lini belakang serta kiper tim-tim kuda hitam yang tampil ciamik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Formasi Tipuan Klinsmann]
Starting Line Up Tipuan Klinsmann
Pelatih Belgia, Mark Wilmots, tak melakukan banyak pergantian di tim inti. Hanya saja, kembalinya Vincent Kompany pasca absen di laga terakhir melawan Korea Selatan, mampu sedikit menambal kekurangan di barisan belakang. Sementara itu, nyaris tak ada perubahan di lini tengah. Duet poros ganda Alex Witsel dan Marouane Fellaini menompang gelandang serang Eden Hazard, Kevin Bruyne, dan Driens Martens.
Dalam starting line up yang dirilis FIFA, terlihat bahwa pelatih Amerika, Juergen Klinsmann, berencana memasang Geoff Cameron (bek tengah) sebagai full-back kanan. Jika formasi ini jadi dimainkan, Cameron diplot untuk man to man marking kepada Hazard. Dua pemain ini memang tak asing untuk saling bersua. Cameron yang membela Stoke City sering berjumpa Hazard yang bermain di Chelsea. Sementara itu, sang bek kanan, Fabian Johnson, dinaikkan jadi penyerang sayap. Tapi nyatanya Klismann tak menerapkan pola ini. Apa yang dilaporkannya secara resmi dirombak saat laga baru berjalan 2 menit.

Posisi Johnson yang semula flank dikembalikan jadi full-back. Lalu, Cameron dijadikan gelandang bertahan, demi membentengi gelandang serang Belgia, Kevin De Bruyne. Di barisan gedor, Amerika sebenarnya tak memakai penyerang murni. Clint Dempsey lebih cenderung mundur ke tengah dan terkadang bergerak melebar.
Namun, dengan skema ini, Amerika kesulitan untuk melancarkan serangan balik, mengingat posisi Jones dan Bradley yang cenderung ke tengah dan merapat pada bek. Sifat dua penyerang sayap Belgia yang sering melakukan cut in memaksa Klinsmann untuk membuat kedua gelandang tersebut untuk lebih bertahan.
Amerika Mematikan Flank Belgia di Babak I
Di menit-menit awal babak pertama Amerika cenderung bermain aman. Mereka lebih memilih menerapkan garis pertahanan yang dalam dan menggeser dua gelandang, yakni Cameron dan Jones, merapat pada back-four.
Belgia adalah tim dengan tingkat penyerangan tertinggi di Piala Dunia ini. Dengan rataan 20,8 shot per game dan 8 shot on target/game, Belgia memiliki kecenderungan untuk melepaskan tembakan di luar kotak penalti, atau melakukan dribble dari sayap sementara lini kedua menusuk ke dalam. Tercatat, Belgia memiliki rataan dribble paling tinggi ketimbang kontestan lainnya, yaitu 16,5 dribble/ game.
Karena itu, Amerika berupaya bermain sabar dan membendung serangan itu di luar kotak penalti. Caranya adalah lewat duet Cameron dan Jones sebagai poros ganda, ditambah Dempsey serta Bradley yang bermain jauh mundur ke tengah.
Skema ini juga ditambah dengan rencana Klinsmann mematikan barisan sayap kiri Belgia. Pelatih asal Jerman tersebut menugaskan bek kiri untuk bermain dalam saat Belgia menyerang. Dia tidak akan naik terpancing untuk pressing Hazard, karena tugas mengawal pemain Chelsea ini sudah diemban oleh gelandang, Jones dan Suzi.
Peran Johnson adalah untuk menjaga full-back kiri Belgia, yakni Jan Vertonghen yang merangsek jauh ke depan. Biasanya, saat Hazard gagal menyerang lewat flank, maka bola akan diumpan pada Vertonghen atau Witsel/Fellaini yang bermain melebar. Dibandingkan dengan laga-laga sebelumnya, pagi tadi Vertonghen memang lebih cenderung bergerak naik untuk membantu Hazard.

Duel Johnson β Vertonghen itu mampu dimenangkan oleh Johnson. Hal ini terjadi karena Vertonghen cenderung melakukan cut in, dan bukan crossing, saat mendapatkan bola. Pergerakannya dengan mudah dihadang Johnson.

Ada satu hal yang membuat Belgia tampil beda, yaitu serangan sayap mereka yang relatif seimbang. Gagal mengeksploitasi sayap kanan Amerika, Belgia mengalihkan perhatian ke sayap kiri.
Bedanya, jika di sayap kanan Wilmots mengandalkan seorang gelandang, maka di sayap kiri dia memilih full-back Alderweireld untuk overlap jauh di depan. Martens didorong agak lebih dalam, dan diberikan tugas sebagai pemantul bola kepada Alderweireld. Hal inilah yang membuat Martens tak begitu dominan di babak pertama. Ia jarang melakukan cut in dan lebih bermain melebar. [Lihat heatmap di atas]

Pola Amerika yang menjaga kerapatan antara lini depan, tengah, dan belakang membuat Belgia kesulitan menembus dari tengah. Dari grafik passing Belgia babak pertama, kita bisa melihat bahwa taktik yang dilakukan Wilmots tak bisa menembus area final third Amerika.
Jangankan masuk kotak penalti, bebas memainkan bola di depan kotak penalti pun mereka selalu kesulitan. Attempt yang mereka ciptakan selalu berawal dari serangan balik lewat dribbling ke tengah dan diakhiri tembakan dari luar kotak penalti.

Pergantian Taktik di Babak Kedua
Memasuki babak kedua, Klinsmann mencoba bermain lebih terbuka. Namun apa daya, Belgia memainkan pressing yang lebih ketat dibandingkan dengan babak pertama.
Pada babak kedua, Belgia memang lebih cenderung menyerang lewat bola-bola pendek dan memanfaatkan kecepatan serta pergerakan pemain yang mengacak. Sering terlihat tiga pemain The Red Devils, yakni Fellaini β Witsel dan Bruyne, silih bertukar posisi. Meski di babak pertama mengambil peran sebagai gelandang serang, di babak kedua Bruyne tak segan untuk mundur jauh ke belakang saat Belgia menyerang. Ini diimbangi oleh Witsel dan Fellaini yang lalu maju ke depan untuk memudahkan aliran bola dari tengah ke sayap.

Keberanian Wilmots yang mendorong Witsel dan Fellaini untuk sejajar dengan De Bruyne adalah sesuatu hal yang amat berisiko. Namun skema ini ternyata mampu menambah intensitas serangan Belgia. Menumpuknya gelandang di depan kotak penalti, mau tak mau mendorong pemain Amerika untuk berkumpul di dalam kotak penalti.
Kondisi mengurung Amerika ini yang membuat Belgia banyak menciptakan peluang di babak kedua. Tak tanggung, mereka menyarangkan 22 attempt dengan 8 di antaranya adalah tembakan dari luar kotak penalti.
Lantas pressing Belgia ini pula yang membuat fullback Amerika cenderung bergeser ke tengah merapat dengan bek tengah. Alhasil, Belgia beralih bermain melebar dan dengan leluasa mengekploitasi sayap untuk melakukan umpan silang.

Pergantian Pemain yang Memanaskan Menit-menit Akhir
Pertandingan ini boleh dikata telat panas. Kedua tim baru bermain total terbuka di menit-menit akhir. Patut diakui, kokohnya barisan lini belakang Amerika dan kemampuan Tim Howard melakukan penyelamatan telah membuat Wilmots frustasi. Karenanya, di menit 90, dia menarik Origi dan memasukkan Lukaku.
Pergantian ini mengubah permainan Belgia, yang semula cenderung menyerang jadi defensif. Seperti dijelaskan dalam preview, Lukaku adalah striker yang dapat optimal jika tim yang dia bela cenderung bermain melebar. Sejak masuknya Lukaku, Belgia memang lebih cenderung bermain melebar.
Coba perhatikan proses sebelum terjadinya gol. Di saat rekan-rekannya mundur, Lukaku lebih cenderung diam di depan, beda dengan Origi yang selalu ikut mundur untuk melakukan penguasaan bola. Lukaku cenderung bergeser ke sayap untuk menarik bek tengah, Besler. Tapi dengan keberadaan Lukaku, Belgia malah bisa mencetak dua gol.

Kesimpulan
Sikap Belgia yang memutuskan untuk berlama-lama dengan bola pada babak pertama dan separuh babak kedua nyatanya tak terlalu efektif untuk membongkar lini belakang Amerika. Upaya Wilmots yang membiarkan AS berlama-lama dengan bola pada akhir babak pertama pun nyatanya malah membangun rasa percaya diri Amerika untuk menyerang lebih gencar. Wajar saja pada babak kedua Belgia lebih memainkan pressing yang ketat.
Keputusan Wilmots memasukkan Lukaku di babak perpanjangan waktu sebenarnya adalah sebuah perjudian. Karena, Belgia memberikan keleluasaan untuk Amerika menyerang. Namun, siapa sangka lewat skema itu juga Belgia bisa memancing Amerika untuk mencetak dua gol.
Performa De Bruyne dan Hazard belum mampu memberikan hasil optimal. Kemenangan Belgia di pertandingan kali ini mutlak atas kerja sama tim, tak bergantung pada satu atau dua orang pemain.
Lantas, di kubu Amerika, taktik yang diterapkan Klinsmann sebenarnya amatlah efektif untuk meredam serangan Belgia. Lepas dari performa ciamik yang dilakukan Tim Howard, Amerika mestinya mampu menahan imbang dan memaksa Belgia hingga babak adu penalti.
Dari soal serangan, Amerika tidaklah memainkan sepakbola negatif. Mereka sering menyerang dan tak segan untuk memainkan garis pertahanan yang tinggi, termasuk beberapa kali menaikan full-back guna mendorong gelandang sayap Belgia turun ke bawah. Sampai menit akhir pun tim Paman Sam ini tetap tampil ngotot dan berhasil mencetak gol untuk memperkecil ketinggalan. Amerika memang kalah, tapi tidak dengan kepala tertunduk.
====
* Pandit Football Indonesia Mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia, meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Twitter: @panditfootball Facebook: panditfootballΒ Website: www.panditfootball.com.
(a2s/din)











































