Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 6): Ki Hajar dan Spirit 'Against Colonial Football'

Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 6): Ki Hajar dan Spirit 'Against Colonial Football'

- Sepakbola
Rabu, 10 Apr 2013 17:14 WIB
Ilustrasi: bandungtempodoeloe.blogspot
Jakarta - Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya di Hindia Belanda muncul kompetisi sepakbola yang mempertemukan beberapa kota di Hindia Belanda. Sebelumnya, kompetisi-kompetisi yang sudah dilakukan hanya di tingkat masing-masing kota saja.

Barulah pada 1914 ada kompetisi yang mempertemukan tim dari Batavia, Surabaya, Semarang dan Bandung dalam sebuah kompetisi. Dan itu terjadi pada sebuah Pasar Sentiling -- salah pelafalan dalam lidah lokal untuk istilah Belanda "Koloniale Tentoonstelling".

Ide digelarnya Koloniale Tentoonstelling [Pameran Kolonial] sudah muncul 2 tahun sebelumnya. Pilihan untuk menggelar acara tersebut di Semarang lebih condong disebabkan karena Jawa Tengah adalah penghasil utama perkebunan yang menjadi komoditas utama pemerintah kolonial. Bukan kebetulan jika barang-barang yang dipamerkan yang terutama adalah hasil-hasil perkebunan dan produk-produk olahannya, kerajinan, hasil-hasil industri terbaru, sampai kreasi teknologi terbaru [dari fotografi sampai kendaraan bermoror] yang hendak diperkenalkan pada publik Hindia Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ide acara ini sebenarnya juga untuk memperingati perayaan satu abad terbebasnya Belanda dari pendudukan Prancis yang jatuh tepat pada 1913. Karena dianggap terlalu mepet dalam persiapan, makanya acara ini pun diundur sampai 13 Agustus 1914 dan berakhir pada 15 November 1914.

Salah satu yang menarik dari Koloniale Tentoonstelling ini adalah digunakannya olahraga sebagai cara untuk menarik massa. Salah satu kunci keberhasilan acara ini karena panitia pelaksana acara juga mengadakan pasar malam yang bukan hanya ramai dengan para pedagang, tapi oleh banyak atraksi dan pertunjukan, dari pentas musik sampai atraksi motor. Selama 4 bulan lamanya -- dari 13 Agustus sampai 15 November 1914 --, publik di tanah jajahan ini dibuat terpukau oleh acara ini. Dan sepakbola adalah salah satu yang berhasil menarik minat itu.

Guna memperbesar antusiasme publik di Semarang untuk menonton pertandingan sepakbola di acara Koloniale Tentoonstelling, maka diundanglah empat kota besar yang sudah sejak lama dikenal memiliki klub-klub yang bertanding dalam kompetisi yang rutin yaitu Batavia, Bandung, Surabaya dan Semarang. Kebetulan baru kali inilah 4 kota yang dianggap mewakili kekuatan penting sepakbola saat itu akan saling bertemu dalam ajang yang sama. Maka nilai pertandingan di acara Koloniale Tentoonstelling pun jadi lebih terdongkrak lagi.

Tak cukup dengan itu, panitia bahkan sudah bekerja sama dengan kesebelasan militer dari Singapura untuk berpartisipasi di acara ini. Partisipasi kesebelasan militer Singapura ini bahkan sudah diberitakan jauh-jauh hari. (Saya berhasil menemukan potongan berita di koran Bataviache Nieuwsblad edisi 23 April 1914 yang sudah merilis jadwal pertandingan kesebelasan dari Singapura itu.)



Sayangnya, rencana tinggal rencana. Kesebelasan militer dari Singapura batal datang ke Semarang karena alasan yang tak mungkin ditolak: Perang Dunia I meletus dan tentara Inggris yang menduduki Singapura tentu lebih memprioritaskan isu itu daripada sekadar pameran dan/atau pertandingan yang mungkin mereka anggap sekadar tak lebih dari eksibisi.

Tapi pertandingan sepakbola antarkota itu tetap digelar kendati Singapura tak jadi ikut. Kompetisi digelar dengan sistem gugur. Di pertandingan pertama (29 Agustus), kiper tangguh yang pernah memperkuat tim nasional Belanda sebanyak 19 kali, berhasil mempecundangi Belanda dengan skor telak 5-0. Di pertandingan kedua (30 Agustus), Semarang di luar dugaan berhasil mengalahkan Surabaya dengan skor meyakinkan 3-1.

Pertandingan final yang mempertemukan Semarang melawan Batavia digelar pada 31 Agustus. Artinya, Semarang tak mencicipi istirahat barang sehari pun. Tak mengherankan jika Semarang gagal meraih gelar juara kendati mereka bertanding di hadapan publiknya sendiri. Semarang kalah telak 0-3 melalui gol yang dicetak oleh Davies, Jolly, dan Fischer. Tiga pemain Batavia itu berasal dari klub di Batavia yang paling terkemuka. Davies berasal dari klub Hercules, Jolly dari klub Olveo dan Fischer dari klub VIOS.

Perlu dicatat, salah satu yang menarik perhatian para penggila bola saat itu adalah kehadiran tiga pemain yang pernah memperkuat tim nasional Belanda sebelum ketiganya akhirnya memutuskan pergi ke Hindia Belanda. Mereka adalah Reinier Beeuwkes [kiper Batavia yang memiliki 19 caps bersama timnas Belanda], Ben Stom [kapten Batavia, 9 caps] dan Guus Luutjens [pemain Semarang, 14 caps].

Yang menarik lagi, Ben Stom hanya bermain di partai final dan absen di laga pembukaan saat menghadapi Bandung. Hal itu disebabkan karena sebagai seorang letnan dalam tentara Belanda, dia tak boleh bermain jika ada tentara dengan pangkat lebih rendah bermain untuk tim lawannya. Itu aturan yang sudah berlaku sejak tahun 1909/1910, khususnya di Batavia.

Pertandingan yang melibatkan empat kota ini berlangsung sukses dan terbukti menjadi cikal bakal dari kompetisi berlevel nasional. Sebelumnya kompetisi hanya berlangsung di tingkat kota [staden-wedstrijden]. Acara Koloniale Tentoonstelling juga menangguk sukses besar. Surat kabar memberitakannya tanpa henti, dan banyak buku diterbitkan untuk mengabadikan acara ini.

Kendati demikian, kritik bukannya tak datang terhadap acara ini. Tak tanggung-tanggung, acara ini memancing Ki Hajar Dewantara [saat itu masih menggunakan nama Soewardi Soerjaningrat] menulis pemflet kritik yang sangat tajam. Artikel panjang berjudul "Als Iks Nederlander Was [Andai Saya Orang Belanda]" ini menimbulkan kehebohan panjang dalam dunia politik di Hindia Belanda karena mempersoalkan niatan utama Koloniale Tentoonstelling.

Seperti sudah diuraikan di atas, acara ini memang untuk merayakan pembebasan Belanda dari penjajahan Prancis. Dengan bahasa yang cerdas dan lugas, Ki Hajar menggugatnya dengan pertanyaan: bagaimana mungkin perayaan bebasnya Belanda dari penjajahan Prancis harus dirayakan juga oleh bangsa kami yang justru sedang dijajah Belanda?

Lebih jauh lagi, jurnalis dengan ketajaman kata-kata yang legendaris, Mas Marco Kartodikromo, juga merilis artikel berjudul "Koloniale Tentoonstelling Boekan Boetoehnja Orang Djawa" di surat kabar Doenia Bergerak edisi 1 no. 20 tahun 1915. Dia mengkritik, semua yang dipamerkan itu tak ada relevansinya dengan kebutuhan riil orang bumiputera. Pameran mobil, misalnya, bagi Mas Marco itu artinya pembangunan dan perbaikan jalan. Dan itu berarti rakyat bangsa terjajah yang harus bekerja karena tugas perbaikan jalan itu dibebankan pada rakyat jelata melalui kewajiban yang saat itu disebut "gugur gunung".



Penderitaan rakyat terjajah seperti inilah yang selalu ditutupi dalam acara-acara Pameran Kolonial ini. Dan mereka sadar benar memang itulah niat utamanya menggelar acara seperti ini. Iklan acara Koloniale Tentoonstelling di surat kabar bergengsi Inggris, The Independent [edisi 13 Juli 1914 hal. 49], dengan tanpa malu menyebut acara di Semarang itu memang diperuntukkan agar bisa memberi "… a comprehensive picture of the Dutch Indies in their present prosperous condition obtained since the restoration of dutch rule in 1814."

Acara seperti ini memang baru pertama kali digelar di Hindia Belanda, tapi sudah berkali-kali digelar di dunia internasional. Pertama kali ajang ini digelar pada 1851 di London dan terakhir pada 1948. Acara ini digelar oleh negara-negara penjajah yang memamerkan obyek-obyek dari negeri jajahannya. Acara seperti ini sering dikritik oleh kaum progresif sebagai "penghinaan terhadap umat manusia". Tidak jarang, negara penjajah yang ikut berpartisipasi sampai memajang manusia pribumi seperti sedang memamerkan binatang dalam acara-acara pasar malam.

Inilah kiranya yang menyebabkan perlawanan terhadap Koloniale Tentoonstelling [Pameran Kolonial] mulai bermunculan memasuki abad 20. Dalam acara Pameran Kolonial yang terbesar di Paris pada 1931, digelar di lahan seluas 110 hektar, perlawanan terhadap acara seperti ini sudah tak tertahankan lagi. Di saat yang bersamaan dengan digelar Pameran Kolonial itu, digelar juga Pameran Anti-Kolonial bertajuk "Truth on the Colonies".

Ada koinsidensi yang terlalu sayang untuk dilewatkan dari Pameran Kolonial 1931 di Paris ini. Ternyata di Paris pun "mengikuti" apa yang dilakukan panitia Koloniale Tentoonstelling di Semarang. Mereka juga memanfaatkan pertandingan sepakbola untuk meramaikan acaranya itu. (Saya menemukan secarik berita di Algemene Handelsblad edisi 8 Maret 1931 yang melaporkan pertandingan antara First Vienna melawan Antwerp FC.)



Perlawanan yang dilakukan Ki Hajar dengan menulis pamflet menggelegar berjudul Als Iks Nederlander Was menegaskan suara kaum progresif yang sudah mulai marah dengan kolonialisme yang makin tak punya malu dalam memamerkan kejahiliyahannya. Ki Hajar akhirnya dibuang ke luar negeri dari 1913 sampai 1918 gara-gara keterusterangannya itu.

Ki Hajar sesungguhnya adalah seorang penggemar sepakbola. Dia banyak menyokong kegiatan sepakbola terutama yang dilakukan oleh kaum bumiputera, dalam hal ini PSIM -- sebagaimana Otto Iskandar Dinata dengan Persib dan MH Thamrin dengan VIJ. Karenanya mungkin saja Ki Hajar akan menonton pertandingan sepakbola di acara Koloniale Tentoonstelling jika tak keburu dibuang ke luar negeri.

Tapi barangkali Ki Hajar tak sekadar menonton. Saya bayangkan Ki Hajar akan menonton pertandingan itu sembari membentangkan spanduk: "Against Colonial Football" -- sebagaimana para suporter St. Pauli atau FC United of Manchester datang ke stadion sembari membentangkan spanduk: "Against Modern Football".

Dan memang semangat "Against Colonial Football" itulah yang jadi penggerak utama berdirinya PSSI pada 1930, 16 tahun setelah Koloniale Tentoonstelling -- Pameran Para Penjajah.



===

* Akun twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball





Baca artikel sebelumnya:
Politik sebagai Panglima Sepakbola Indonesia
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 1): Nusantara Bermain Bola
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 2): Sepakbola dan Kolonialisme
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 3): Minke, Edgar, dan Sepakbola Anak-Anak Sekolah
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 4): Klub-klub Bermula dari Surabaya
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 5): Kisah Dimulainya Liga Sepakbola di Hindia Belanda




(a2s/roz)

Hide Ads