Benar saja, beberapa minggu usai perjanjian ini disepakati, tak ada niat dari NIVU untuk menginformasikan dan mensosialisasikan hal penting ini kepada anggota-anggotanya. Berbeda dengan Majalah "Olah Raga", majalah resmi milik PSSI yang dikelola di Bandung, yang terus menerus mengabarkan informasi mengenai perjanjian antara NIVU dan PSSI ini. Sementara majalah "Sports" milik NIVU malah diam saja.
Sikap diam ini sempat dikritik tim redaksi Majalah Olahraga. "Dunia luar menjadi saksinya, yang melanggar perjanjian akan dianggap immoral dan rendah budi. Yang pegang teguh janji maka itulah ksatria, like to be a gentleman," tulis sebuah artikel Majalah Olah Raga yang dikelola Otto Iskandardinata edisi Bulan Maret 1937.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persib pun mengalami hal yang sama, Nan Hua --tim asal Tiongkok yang didatangkan NIVU-- menolak bermain dengan Persib jika tak kebagian 5% keuntungan dari karcis. Hal ini tentu saja ditolak Persib. Pasalnya sebagai tim amatir, sumber pemasukan satu-satunya untuk menyewa lapangan dan mendanai operasional Persib hanya dari iuran anggota serta karcis. Masalah ini membuat Persib kapok dan memutuskan hubungan sementara dengan NIVU.
Belum jauh dari soal urusan pembagian karcis, pihak NIVU kembali berbuat ulah. Dua pemain Persib yang melakukan indispliner dan diskorsing selama satu tahun yaitu Dimjati dan Moesa, malah dibajak NIVU untuk turut serta dalam suatu kejuaraan di Palembang. Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), salah satu bond anggota PSSI, mengalami hal yang serupa. Beberapa pemain yang diskorsing, malah diterima menjadi anggota NIVU.
Memasuki bulan November 1937, hubungan antara bond-bond NIVU dan PSSI semakin memburuk. Semua pemain yang bermain di kompetisi PSSI dilarang keras bermain untuk klub-klub yang berada di bawah naungan NIVU. Persib mengancam akan memecat anggotanya bila terbukti bermain untuk Voetbal Bond Bandung & Omstereken (VBBO) yang merupakan anggota NIVU. VIJ, SIVB dan bond-bond lainpun menyusul melakukan larangan serupa.
Karena adanya itikad buruk pihak NIVU untuk melanggar perjanjian Gentlemen Agreement, maka berdasarkan putusan PSSI dalam rapat tahunan di Yogyakarta, semua penyikapan atas persoalan itu diserahkan sepenuhnya kepada pengurus PSSI. Tetapi Soeratin cs., ternyata masih memberi kesempatan kepada NIVU untuk memegang teguh perjanjian tersebut.
Perlakuan tidak menyenangkan NIVU yang masih direspons dengan positif itu memicu ketegangan tersendiri di internal PSSI. Seperti yang sudah diuraikan dalam artikel Sejarah PSSI Bagian 3, PSSI akhirnya dirundung konflik. Salah satu imbas menyedihkan dari konflik ini adalah tersingkirnya Soeratin dari PSSI dan berujung pada tragika Soeratin yang di hari tuanya hanya tinggal di sebuah garasi (ulasan mengenai tragedi Soeratin akan ditulis dalam artikel berikutnya).
Ribut-ribut Jelang Piala Dunia 1938
Perang Shino di Asia Timur yang menyeret Jepang di bulan Juli 1937, membawa keberuntungan bagi tim sepakbola Hindia Belanda. Jepang yang mengundurkan diri dari kejuaraan FIFA, membuat timnas langsung lolos ke babak final Piala Dunia di Prancis 1938, tanpa harus melewati babak kualifikasi.
Agar sejalan dengan isi perjanjian Gentlement Agreement, pihak NIVU mengusulkan membentuk kesebelasan melalui pemilihan pemain dalam turnamen segitiga yang mempetarungkan 2 tim bentukan NIVU dan 1 tim milik PSSI.
Demi membantu PSSI, NIVU siap mendatangkan klub luar negeri yang akan diujicobakan dengan PSSI. Hal itu terealisasi di Semarang tanggal 7 Agustus 1937. Secara mengejutkan PSSI berhasil menahan imbang tim raksasa Tiongkok, Nan Hua, dengan skor 2-2. Hasil ini lebih baik jika dibandingkan dengan tim-tim NIVU yang dibantai dengan skor telak.

Kondisi ini membuat Lotsij hanya membentuk timnas berdasarkan pemain-pemain yang berafiliasi pada NIVU saja. "Apakah tuan Lotsij ini paham benar akan keadaan sepakbola di sini? Di sini tidak hanya ada NIVU saja bukan? Bukankah ada perjanjian Gentlemen Agreement? Apakah perjanjian itu dilakukan secara gentlemenlike?" keluh salah seorang pengurus PSSI.
Masalah ini membuat PSSI menjadi terbelah dua. Di satu sisi, ada kelompok yang meminta PSSI untuk legowo menerima keputusan ini. Toh bagaimanapun juga, kendati pengaturan soal pembentukan timnas telah diatur dalam Gentlement Agreement, PSSI harus sadar betul bahwa PSSI bukan merupakan anggota FIFA seperti NIVU yang diakui secara resmi sebagai satu-satunya organisasi sepakbola di Hindia Belanda.
Kelompok ini menilai NIVU memang sudah bebal untuk mentaaati Gentlement Agreement, jadi buat apa banyak protes, toh tetap saja keinginan PSSI akan terus diabaikan. Kelompok ini lebih berharap PSSI untuk berjuang menjadi anggota dan mendapatkan pengakuan dari FIFA. Namun regulasi FIFA yang menyatakan bahwa hanya boleh ada satu federasi dalam satu negara, membuat usulan ini sulit direalisasikan.
Kelompok kedua adalah Kelompok yang terus menerus meminta sikap ksatria NIVU mentaati salah satu butir Gentlement Agreement. Mereka berharap bagaimanapun juga timnas yang berangkat ke Prancis haruslah pemain gabungan dari bond-bond NIVU dan PSSI. Bahkan mereka mengajak NIVU mengadu para pemainnya dengan pemain PSSI, yang menang dialah yang berangkat ke Prancis.
Usulan macam ini kembali terulang saat sepakbola Indonesia terpecah ke dalam kubu PSSI dan KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia). Menjelang Piala AFF 2012 lalu, KPSI mendesak agar PSSI menggunakan pemain-pemain dari ISL. Karena PSSI menolak, KPSI lantas mengajukan tantangan agar tim yang dibentuknya diadu dengan tim nasional PSSI yang dipersiapkan ke Piala AFF 2012. Siapa yang menang dialah yang berangkat ke Piala AFF 2012.
Dua usulan itu sama sekali tak ditanggapi. NIVU merasa dirinya berhak menentukan karena FIFA hanya mengakui keberadaan NIVU sebagai anggota resminya. Begitu juga PSSI hampir 80 tahun kemudian. “Tidak! Mengapa kalian tidak dapat memahami keadaan ini!” elak NIVU kepada PSSI.
Bagi NIVU, memberikan celah PSSI untuk tampil di Piala Dunia sama saja menaruh bom waktu. Masuknya aktifis pergerakan ke dalam kegiatan sepakbola di lingungan PSSI, Otto Iskandardinata, MH Thamrin dan Ki Hajar Dewantoro bisa membuat sepakbola semakin kental aspek politisnya.
NIVU tahu betul, jika kesempatan FIFA itu diberikan kepada PSSI, sebagai alat pergerakan nasional, nama PSSI tentunya akan terus melambung, terlebih pemain-pemain PSSI memang sedang jaya-jayanya. Satu-satunya jalan ya dengan meninggalkan PSSI, tak mengajaknya pergi melancong ke Paris, membiarkannya menggerutu mengutuki penguasa kolonial di tanahnya sendiri.
====
*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
*Foto-foto: Hindia Belanda ketika berlaga di Piala Dunia 1938
Baca artikel sebelumnya:
Sejarah PSSI (Bagian 1): Dari Depresi Ekonomi hingga Jadi Organisasi
Sejarah PSSI (Bagian 2): Kami Indonesier, Bukan Inlander!
Sejarah PSSI (Bagian 3): PSSI Era Soeratin 'Mengkloning' PSIM
Sejarah PSSI (Bagian 4): Kisah UNI Melawan dan Membubarkan Federasi
Sejarah PSSI (Bagian 5): NIVU vs PSSI, Perseteruan Dua Federasi
(roz/krs)