Perunggu Asian Games 1958 dan Folklore 0-0 di Melbourne

Hikayat Toni Pogacnik (Bagian II)

Perunggu Asian Games 1958 dan Folklore 0-0 di Melbourne

- Sepakbola
Rabu, 24 Jul 2013 14:13 WIB
Pandit Football Indonesia
Jakarta - (Lanjutan dari tulisan pertama, baca di sini)

Selama menukangi timnas Indonesia, Toni Pogacnik berhasil membawa Indonesia dua kali lolos ke semifinal Asian Games (AG). Pada AG 1954 Indonesia harus puas menempati posisi empat, pada AG 1958 Indonesia malah berhasil menggondol medali perunggu. Plus prestasi "legendaris" yang terus menerus direproduksi serupa folklore: menahan seri Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956.

AG 1954 memang jadi tugas berat pertama Toni. Ketika menginjakkan kaki di Indonesia, saat itu timnas Indonesia sedang melakukan seleksi tahap II. Seleksi tahap I di Solo (4-6 Desember 1953), sedangkan seleksi tahap II berlangsung selama tiga hari, dari 5 sampai 7 Maret 1954, di Lapangan Ikada (yang saat ini merupakan bagian dari kawasan Monumen Nasional).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitu Toni mendapatkan ke-20 pemain [lihat inset], bukan taktik atau skema permainan yang langsung ditanamkan, melainkan empat hal dasar yaitu pentingnya bermain dengan jujur, jangan bermain curang, sifat ksatria, dan memegang teguh disiplin. Karena, meski tim memiliki teknik permainan tinggi, tanpa empat hal dasar tersebut tidak akan berguna.

Ciri lain adalah kepercayaan Toni pada para pemain muda. Kelak, tulang punggung timnas akan bertahan sampai di masa akhir kepemimpinan Toni hampir 10 tahun kemudian. Itu terjadi karena sejak awal Toni percaya pemain muda.

Toni juga pelatih pertama yang sejak awal selalu tidak lupa menekankan pentingnya ide, wawasan bermain, dan intelejensia. Itu kenapa dia tak mengeluh soal postur pemain dan malah mengatakan tubuh pemain sudah cukup baik. Hanya saja, kata Toni kepada majalah IPPHOS, "Yang penting ialah belajar bagaimana bermain. Bermain sepakbola itu sebenarnya tidak sukar. Tetapi di samping mempergunakan kaki, perlu juga dipakai pikiran."

Menariknya, untuk mencapai itu semua, Toni tidak saklek dengan keharusan profesionalisme. Dia bahkan seorang pembela "amateurisme" --keamatiran.

"Kesebelasan Indonesia tetap sebagaimana sekarang ini, yaitu berdasarkan amateurisme. Tidak perlu meniru keadaan sepakbola di Eropa, di mana hampir setiap hari pemain-pemain itu berlatih sehingga tidak ada jalan lain selain menjadi pemain professional. Lagipula pemain-pemain amateur dapat bermain lebih gembira, ada enthousiasme (antusiasme), dapat bermain dengan hati dan tidak semata-mata tergantung pada uang."

Pandangan ini terus ia pertahankan cukup lama. Dia nyaris tetap mengutarakan hal serupa ketika muncul fenomena baru klub-klub semiprofesional di Indonesia di tahun 1970-an. Dia mengomentari, misalnya, klub Jayakarta atau Pardedetex.

"Banjak orang mengatakan Pardedetex bukan prof, omong kosong sadja. Boleh bilang sama Djamiat omong kosong, itu prof [maksudnya "profesional"]. Prof adalah business. Apa artinya pertandingan 20 kali setahun dan berapa keuntungan yang akan diperolehnja? Tentu Ali Sadikin [Ketum PSSI saat itu] akan pusing juga. Sebab di Eropa klub-klub prof mengadakan pertandingan rata-rata sekitar 60 sampai kali. Ini baru akan mendatangkan keuntungan," sanggah Toni.

Dia bahkan menyetujui pola semi-pro ketimbang sok-sokan menjadi profesional padahal sebenarnya belum sampai ke sana. Dia, misalnya, menasehati klub Jayakarta: "Pemain-pemain diberi pekerjaan, misal sampai jam 12.00, kemudian sorenya melakukan latihan. Jangan setiap tanggal satu ambil gaji saja."
Β 


Olimpiade Melbourne 1956

Pada Asian Games 1954 Indonesia berada di Grup C, bersama India dan Jepang. Indonesia berhasil menjadi juara Grup C tanpa kekalahan. Melawan Jepang (5-3) dan India (4-0). Sayang, langkah Indonesia kandas saat berhadapan dengan Taiwan di babak semifinal. Gawang Indonesia dibrondong empat gol (2-4). Harapan untuk mendapat perunggu pun digagalkan Burma, Indonesia menyerah 5-4.

Di Asian Games berikutnya di Tokyo, Indonesia bergabung di grup B bersama India dan Burma. Kali ini Indonesia menyapu bersih semua laga, termasuk membalas kekalahan menyakitkan dari Burma di perebutan tempat ketiga di AG sebelumnya. Kali ini, giliran Burma yang dibantai 4-2.

Di babak perempatfinal, Indonesia mengalahkan Filipina dengan skor 5-2 dan melaju ke semifinal AG untuk kedua kalinya. Sayang sekali, Indonesia gagal melaju ke final karena dikandaskan Taiwan dengan skor tipis 0-1. Indonesia mengobati kekecewaan itu dengan bermain sangat baik di perebutan medali perunggu melawan India dengan unggul telak 4-1.

Itulah prestasi terbaik Indonesia di ajang AG. Dan itu semua dipersembahkan oleh Toni Pogacnik. Sejak itu, tidak pernah lagi kita berhasil meraih medali perunggu sepakbola di AG. Pernah kita kembali lolos ke semifinal AG 1986 di bawah kepelatihan Bertje Matulapelwa, tapi kalah telak dari Kuwait di perebutan medali perunggu. Belakangan Indonesia malah selalu absen dari cabang olahraga AG.

Di antara AG 1954 dan 1958, anak asuhan Tony ini harus mengikuti Olimpiade Melbourne 1956. Dalam persiapan menghadapi olimpiade Melbourne 1956, Toni Pogacnik melangsungkan pertandingan-pertandingan ujicoba, dari menghadapi timnas senior Yugoslavia, melawan Stade de Reims yang baru saja lolos ke final Piala Champions Eropa.

Menarik juga untuk melihat bagaimana Toni membangun dan mempersiapkan tim untuk menghadapi Olimpiade Melbourne. Toni saat itu rajin mengunjungi beberapa daerah untuk menyelenggarakan latihan. Indonesia dibagi menjadi tiga zona, yaitu Sumatera, Jawa, dan Indonesia Timur. Sumatera dibagi menjadi tiga rayon, yaitu Sumatra utara, tengah dan selatan. Jawa menjadi tiga rayon, yaitu Jawa barat, Jawa tengah, dan Jawa timur. Indonesia timur menjadi 3 rayon, yaitu Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Tiap-tiap rayon dibagi menjadi distrik. Misal Jawa Timur dibagi menjadi distrik Malang, Jember, dan Surabaya.

Latihan dilakukan di tiap-tiap distrik. Di distrik Malang dilatih 35 pemain berasal dari Madiun, Kediri, Tulungangung, Blitar, Bangil, dan Malang. Distrik Jember 35 pemain berasal dari Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan Jember. Distrik Surabaya 35 pemain berasal dari Sumenep, Pamekasan, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Surabaya.

Setiap distrik dibentuk satu kesebelasan, dan diadu dengan distrik lain. Dari ketiga kesebelasan distrik, dibentuk kesebelasan rayon. Ketiga kesebelasan rayon diadu untuk membentuk satu kesebelasan zona. Dari tiga kesebelasan zona terbentuklah PSSI-1, PSSI-2, dan PSSI-3. Secara khusus anggota dari kesebelasan PSSI-3, usia pemain tidak boleh lebih dari 20 tahun.

Ketiga kesebelasan PSSI (1, 2, 3) akan diadu dengan tim dari luar negeri, selain itu PSSI telah juga membentuk PSSI-4 yang berisi pemain-pemain PSSI lama. Dari keempat kesebelasan PSSI tersebut, dipilih 25 nama pemain yang segera masuk pemusatan latihan dan dikirim ke Olimpiade Melbourne.
Mencari 25 pemain terbaik tidaklah mudah, Toni dikirim ke daerah-daerah untuk memberikan pelatihan pendahuluan, seperti latihan teknik dan praktek. Pelatihan ini selama 7 hari, dan sekembalinya ke tempat asal para pemain berlatih dengan tuntunan dari apa yang diajarkan.

4-5 bulan berikutnya Toni datang untuk memberikan latihan lanjutan. Latihan lanjutan meliputi teknik, sistem, dan lain-lain yang diperlukan. Sebelum pemain-pemain mendapatkan pelatihan lanjutan, diadakan semacam ujian ball technic. Pemain-pemain yang tidak lulus, tidak diperbolehkan mengikuti latihan lanjutan.

Dari hasil seleksi 25 pemain, hanya 20 pemain yang bisa berangkat membela timnas. Di antaranya : Maulwi Saelan (PSM Makassar), Paidjo (Persema), Chairuddin Siregar (Persija]), Mohamed Rashjid (PSMS Medan]), M. Sidhi (Persebaya), Ramlan Yatim (PSMS), Kwee Kiat Sek (Persija), Tan Liong Houw (Persija), Rukma Sudjana (Persib), Kasmoeri, Thio Him Tjiang (Persija), Rusli Ramang (PSM), Ramli Yatim (PSMS), Mohammad Djamiaat Dhalhar (Persija), Ashari Danu (PSIS), Ade Dana (Persiob), Aang Witarsa (Persib) dan kapten tim, Achmad Arifin (PSP Padang), Phwa Sian Liong (Persebaya), dan Jasrin Jusron (PSIS).

Indonesia lolos dari kualifikasi setelah Taiwan yang seharusnya bertemu pada bulan Juni 1956, membatalkan keikutsertaan. Taiwan saat itu dilatih oleh Lee Wai Tong yang di masa bermain dijuluki sebagai 'Raja Sepakbola'.

Saat olimpiade Melbourne berlangsung, Indonesia satu grup bersama Uni Soviet dan Vietnam. Pertandingan pertama, seharusnya Indonesia menghadapi Vietnam. Namun, dikarenakan Vietnam membatalkan keikutsertaannya. Indonesia baru melakukan pertandingan melawan Uni Soviet pada 29 November 1956 dan berakhir dengan skor yang kelak menjadi salah satu folklore sepakbola Indonesia: 0-0.

Toni sendiri yang menulis catatan evaluasi atas pertandingan tersebut. Berikut kira-kira evaluasi Toni:

"Pemain-pemain kita yang mengetahui bahwa lawan yang dihadapinya bukan regu 'kampungan' berhasil muncul di lapangan dengan spirit yang baik. Mereka tidak dikederkan oleh kekuatan lawannya. Zelf-vetrouwen (self confidence) di atas memberikan pengaruh besar sekali. Dalam pada itu, kesebelasan Indonesia yang telah menyaksikan cara Uni Soviet bertanding melawan Jerman beberapa hari sebelumnya lalu memusatkan pertahanannya dalam 2 lapisan. Mereka mempergunakan sistem grendel. Sian Liong dan Him Tjiang ditarik ke depan, sebagai pemain-pemain dalam. Tetapi tugas kedua pemain tidaklah lain ialah untuk membantu pertahanan di lapis yang pertama, yakni di gelandang."

"Dengan demikian, maka ada 4 orang yan bertahan di tengah-tengah, yakni Liong Houw – Him Tjiang – Sian Liong – Ramlan. Sedangkan poros Kiat Sek ditarik ke belakang sebagai back ketiga di samping Chaerudin dan Rasjid. Pertahanan ini kian kokoh, melihat permainan Saelan sebagai penjaga gawang yang luar biasa safe-nya. Formasi di atas sebenarnya tak memberikan arti apa-apa bagi pemain-pemain luar kita. Pemain muka Indonesia yang praktis tinggal 3 orang, masing-masing kiri luar Ramang, senterpor [penyerang tengah] Danu dan kanan luar Witarsa Cuma beberapa kali saja berhasil mendekati benteng lawannya."

Sayang dalam pertandingan ulangan pada 1 Desember 1956 Indonesia sudah habis secara fisik. Toni lagi-lagi memberikan penjelasan: "Kita di Indonesia, memang seharusnya pula mementingkan juga hal kondisi badan ini. cobalah lihat orang-orang Rusia itu. Meskipun mereka itu kesakitan bagaimana saja, tidak lama lagi sudah bisa bermain seperti semula lagi, segar dan lincah lagi. Entah bagaiamana caranya mereka itu berlatih, sehingga badannya itu tetap tahan dalam menghadapi segala macam blussure, dll."

Indonesia kalah 0-4 di laga ulangan, menggagalkan catatan gemilang menahan 0-0 di laga pertama. Tidak ada prestasi, tidak ada medali. Yang tersisa adalah legenda, folklore dan mitologi kehebatan yang terus-menerus direproduksi.

Toni adalah konduktor yang memungkinkan sepakbola Indonesia mempunyai folklore, legenda dan mitologi.

(bersambung)

=====

*akun Twitter penulis: @cakdim dari @panditfootball
*Foto-foto: Toni Pogacnik saat sedang mengajarkan teknik-teknik dasar kepada para pemain muda Indonesia (Pandit Football Indonesia)

*Baca Juga:
Bagian 1: 'Menciptakan Pele Merupakan Pekerjaan Suatu Bangsa'




(roz/rin)

Hide Ads