Diagnosis, Kunci Keberhasilan Penyembuhan Cedera

Diagnosis, Kunci Keberhasilan Penyembuhan Cedera

- Sepakbola
Selasa, 29 Okt 2013 13:08 WIB
Ilustrasi: Phil Cole/Getty Images
Jakarta - Prinsip dasar dari sebuah penanganan cedera adalah: kita tahu apa yang kita rawat. Maka dari itu, kunci keberhasilan penyembuhan cedera adalah diagnosis yang benar dan tepat. Terdengarnya mudah, memang. Tapi dalam prakteknya sangat membutuhkan ketelitian dan kemampuan analisa.

Misalnya begini:

Saat menangani pasien, seorang fisioterapis harus dapat membedakan apakah cedera adalah sebuah sprain lutut, strain otot, sekadar bengkak dari sebuah jenis cedera (pathology), "otot ligamen anterior cruciate ligament yang robek" atau "otot yang sobek gradasi 2", atau hanya sekedar "pendarahan di dalam lutut".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nah, rumit bukan?

Dalam beberapa kasus, diagnosa sendiri bisa mudah dilakukan. Sang fisioterapis bisa "melihatnya" dari daftar riwayat cedera seseorang, dari pengamatan akan gejala dan simptom-nya, atau dari tanda-tanda dari tes-tes klinis. Atau dengan kata lain X-Ray, MRI, dan atau second opinion dari seorang ahli bedah, dokter ahli rheuma, atau dari ahli-ahli spesialis yang lain.

Tapi meski sebuah diagnosis itu jelas dan nyata, belum tentu pilihan metode rehabilitasinya hanya satu. Akan ada banyak pendapat yang menyatakan opsi rehabilitasi yang paling benar. Akan ada banyak pula konsensus dan hal-hal yang bersifat kontroversial pada saat membuat sebuah diagnosis.

Hal -hal ini dapat berubah seiring dengan waktu. Tergantung pada rutinitas, skill dan sumber daya dan pengetahuan yang dimiliki sang fisioterapis.

Misalnya saja ligament cruciatum anterior, atau yang lebih populer dikenal dengan ACL. Cedera ini bisa dirawat dengan fisioterapi secara konservatif, atau bisa saja harus ditangani oleh dokter dengan metoda operasi. Pilihan mana yang digunakan akan tergantung dari jenis cedera dan seberapa parah cedera itu. Apakah ACL-nya robek, atau tidak.

Butuh Penelitian di Awal

Seiring dengan perkembangan waktu, kemajuan teknologi dan informasi, serta keterhubungan melalui internet, banyak sekali pasien yang mesti melakukan research kecil sebelum mereka tiba di sport clinic. Dan banyak sekali materi yang harus dibaca dengan teliti.

Tapi tentu research ini pun harus dilakukan secara hati-hati, karena hasil sebuah studi bisa diartikan dengan sangat berbeda.



Misalnya saja dua orang yang memiliki cedera sama, namun tingkat keaktifan berolahraganya berbeda. Seseorang yang tidak aktif berolahraga bisa saja cederanya ditangani secara konservatif. Sementara itu, seorang pemain bola profesional akan mati kariernya bila tidak dilakukan tindakan operasi untuk memperbaiki ligamennya yang rusak.

Intinya adalah, kita harus membaca dan mengerti secara baik dari apa yang kita baca untuk mencapai sebuah keputusan yang tepat. Apalagi jika menyangkut keuntung-rugian dari atlet yang mengalami cedera tersebut.

Ahli Terapi yang Terlupakan

Adanya perkembangan pesat di bidang teknologi "healthcare" secara profesional bisa saja membuat arti penting skill dan kemampuan seorang terapis (ahli terapi) terlupakan. Padahal, ia berperan penting dalam melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan diagnosa yang tepat. Tetap dibutuhkan pemahaman seorang terapis untuk mengartikan hasil dari alat-alat canggih itu.

Dalam kasus mayoritas, adanya gejala-gejala, tanda-tanda sakit, gerakan tubuh yang abnormal, dan riwayat kesehatan dari klien, sudah dapat memberikan petunjuk akurat untuk memperoleh diagnosis yang tepat. Tentu saja skill ini diperlukan oleh seorang terapis dalam melakukan sebuah pemeriksaan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seorang ahli terapi pun harus secara spesifik. Misalnya saja:

(1) ceritakan dengan jelas bagaimana proses cedera tersebut terjadi? Bagian mana yang terasa susah digerakkan? Apakah ada bagian lain yang terprovokasi pada saat gerakan yang terganggu itu dilakukan?

(2) Apakah cedera ini terjadi pertama kali? Atau adakah cedera yang pernah terjadi selain cedera ini? Kalau iya, bagaimana ditanganinya?

Dua set pertanyaan di atas adalah contoh jenis pertanyaan-pertanyaan yang bisa diberikan dari berbagai ragam pertanyaan spesifik.

Dari pertanyaan nomor 1 bisa dilihat betapa pentingnya biomekanisme kerja sebuah tubuh, otot, persendian dan ligamen. Sangat penting mengetahui anatomi tubuh (struktur-struktur tubuh), fisiologi tubuh (cara kerja tubuh dalam keadaan sehat) dan semua gerakan, arah dan fungsi yang dilakukan oleh otot, persendian, dan ligamen.

Kesimpulan yang diambil dari pertanyaan nomor 1 cukup bisa untuk menjabarkan mengenai cedera yang dialami atlet/individu tersebut. Ini juga memberi arahan kemana kira-kira arah pemeriksaan lanjutan nantinya.

Sementara bagian kedua dari pertanyaan tersebut ialah mengenai sejarah cedera yang dialami seseorang. Ini dapat memberi gambaran mengenai kesehatan pemain tersebut. Bila ia sering mengalami cedera yang sama, maka ada sesuatu yang salah di proses rehabilitasi sebelum-sebelumnya. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang terhadap cedera yang dialami individu ini.

Konfirmasi Ulang

Sebelum dilakukan rehabilitasi, diagnosa yang dibuat bisa dikonfirmasi lagi dengan sebuah tes spesifik, atau dengan X-Ray atau MRI. Tes lainnya yang penting dalam membuat sebuah diagnosa ialah inspeksi tubuh secara penuh, palpasi, tes aktif dan pasif, serta juga tes kekuatan otot.

Satu hal yang mesti diingat adalah bagian tubuh yang merasa cedera selalu dibandingkan dengan bagian yang sehat.

Lalu bagaimanakah maksudnya tentang assesment yang tepat atau clinical examination yang menyeluruh?

Seperti yang dijelaskan di atas melalui pertanyaan nomor 1, penjelasan detail yang disertai demonstrasi (kalau memungkinkan) akan sangat membantu diagnosa. Biasanya 9 dari 10 atlet mampu melakukan ini.

Sebelum mulai melakukan tes secara spesifik, ada beberapa hal yang harus dilakukan sang terapis. Contohnya: melihat postur tubuh, memperhatikan cara berjalan, dan melalui pergerakan mencari bagian tubuh mana yang bergerak dengan kaku atau tak nyaman.

Bagian tubuh yang tak nyaman sendiri hampir selalu akan membuat range of motion (pergerakan) dalam joint berkurang. Ini akan menyebabkan otot dengan cepatnya mengecil dan tipis. Sebagai contoh adalah otot paha (quadriceps) yang akan terganggu bila ada masalah dengan lutut.

Karena itu, berhati-hatilah dengan penggunaan pain killer yang bisa mengganggu didapatkannya diagnosa yang tepat. Rasa sakit memang akan berkurang dengan pain killer itu. Tapi bagian yang cedera akan tidak mengeluarkan gejala-gejala tak nyaman, sehingga diagnosa tepat sulut didapatkan.

Selanjutnya dilakukan inspeksi dan palpati. Dengan ini, peradangan, bengkak, luka, temperatur kulit/otot, warna, cairan di dalam maupun luar persendian bisa dideteksi.

Tes untuk mengetahui kekuatan otot pun harus dilakukan, baik pada bagian yang sakit ataupun dengan bagian yang sehat. Ini dilakukan untuk mengetahui atau mengidentifikasi kelemahan atau rasa sakit yang ada di otot. Tes pergerakan dan tes untuk cedera spesifik harus dilakukan untuk mendiagnosa cedera tersebut secara spesifik.

Tes-tes ini tidak selalu gampang untuk dilakukan. Namun dengan seringnya seorang ahli terapis melakukan dan mempraktekkannya, maka sebuah diagnosa semakin gampang didapatkan.

Intinya, baik untuk orang awam maupun atlet, janganlah langsung berlatih (exercise), atau merawat suatu cedera tanpa mengatahui secara detail asal-usul cedera tersebut. Ingat, kunci keberhasilan penyembuhan cedera adalah diagnosis yang benar dan tepat.


===

* Penulis adalah Sport Physiotherapist yang bekerja sama dengan Pandit Football Indonesia dalam pengembangan sport science di Indonesia. Sering dipercaya sebagai fisioterapis tim nasional Indonesia. Akun twitter: @MatiasIbo




Baca juga:
Mengenal Sport Science dan Bagian-Bagiannya

Mengenal Peran Fisioterapis dalam Olahraga
Pijat Tak Sembuhkan Cedera tapi Malah Memperparah
Pentingnya (Tukang) Pijat dalam Tim Olahraga



(a2s/krs)

Hide Ads