Membahas panitia pelaksana (panpel) di sepakbola Indonesia bisa dibilang paradoks. Nama atau komentar dari panpel baru diburu dan disebut-sebut kalau ada kebocoran penonton yang masuk, beredarnya tiket palsu, penonton melebihi kapasitas dan tentu saja kerusuhan. Pokoknya, panpel selalu kena getahnya untuk urusan-urusan negatif.
Tidak heran jika di kalangan panpel ada idiom yang kira-kira berbunyi: "Kalau tidak siap dicaci, ya jangan jadi panpel."
Padahal panpel jelas elemen penting dalam sebuah pertandingan. Namun mereka tak pernah (atau jarang) dihitung atau disebut-sebut dalam kemenangan atau kesuksesan sebuah klub. Klub boleh juara, pemain ada yang berpredikat man of the match, top skorer atau most valuable player, tapi belum pernah ada panpel yang mendapatkan predikat sebagai yang terbaik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya pernah berkunjung ke Stadion Manahan di Solo, Stadion 10 November dan Gelora Bung Tomo di Surabaya, Stadion Siliwangi dan Si Jalak Harupat di Bandung, Stadion Lebak Bulus dan Gelora Bung Karno di Jakarta, Stadion Jakabaring di Palembang, Stadion Jatidiri di Semarang, Stadion Brawijaya di Kediri, Stadion Maguwoharjo di Sleman, Stadion Utama Riau, Stadion Gajayana dan Kanjuruhan di Malang, Stadion Surajaya di Lamongan, Stadion Gelora Delta di Sidoarjo dan beberapa stadion lainnya.
Hanya Stadion Mandala di Jayapura dan Stadion Mattoangin di Makasar yang merupakan stadion dari klub yang pernah menjuarai Liga Indonesia yang belum saya kunjungi. Stadion-stadion yang menjadi kandang klub-klub yang pernah menjuarai Liga Indonesia lainnya pernah saya kunjungi.
Dengan modal jam terbang berkeliling ke stadion-stadion di Indonesia sebagai jurnalis, saya ingin ingin mencoba menguraikan bagaimana panpel Arema Malang mengelola dan mengurus sebuah pertandingan. Menurut hemat saya, berdasar pengamatan yang mungkin saja masih terbatas, banyak hal menarik yang bisa dipelajari dari panpel Arema ini.
Bicara tentang panpel Arema, yang paling baru dan aktual barangkali inisiatif mereka untuk menggunakan adboard LED. Mungkin kita masih ingat panpel Arema saat laga menjamu Hamburg SV 6 Januari lalu. Panpel Arema tercatat sebagai panpel klub pertama yang menggunakan e-board dalam sebuah pertandingan.
Memang, stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) yang pertama menunjukkan kalau mereka punya e-board di sisi lapangannya pada Juli 2013 lalu. Begitu juga dengan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) yang juga pernah memasang papan iklan elektronik ini. Namun, adboard LED GBLA belum pernah digunakan untuk sebuah pertandingan. Sementara SUGBK pernah dipasang tapi hanya sebagian, tidak mengelilingi lapangan membentuk huruf U, dan bukan digunakan untuk level klub.
Bukan hanya untuk melawan Hamburg, adboard LED yang konon harganya lebih dari Rp 6 miliar ini pun dipermanenkan panpel Arema untuk menemani "Singo Edan" saat menjamu lawan-lawannya. Mulai saat menjadi tuan rumah babak penyisihan Inter Island Cup 2014 lalu hingga laga-laga Indonesia Super League (ISL) 2014 ini.
Itu baru papan iklan. Ditarik mundur lagi, panpel Arema lagi-lagi menjadi pelopor dalam revolusi bentuk tiket pertandingan sepak bola Indonesia. Sejauh yang saya tahu, panpel Arema pula yang menjadi panpel sepakbola pertama yang meluncurkan tiket berbentuk gelang.
Tiket ala gelang masuk anjungan wisata memang merupakan trik demi menekan kebocoran tiket. Trik-trik kotor oknum petugas tiket (yang sudah membudaya di Indonesia) seperti "tiket kritingan" (tiket yang sudah disobek kemudian dijual lagi) atau penonton membayar melalui oknum keamanan dan sejenisnya disiasati dengan cara ini. Karcis lembaran diubah menjadi tiket gelang yang tidak bisa dipindahtangankan.
Di bawah kendali panpel Arema, tiket gelang ini kemudian menjadi menarik karena memiliki sanksi moral.
"Saat half time kita minta mereka mengangkat tangannya sama-sama. Siapa yang di tangannya tidak pakai tiket bisa memilih; keluar sendiri atau kalau mau lebih malu, dikeluarkan oleh sesama Aremania lainnya," ujar Ketua Panpel Arema, Abdul Haries, kala pertama kali meluncurkan tiket itu.

Untuk urusan terobosan dan trik menarik lainnya, ada lagi yang membuat saya lebih cenderung memilih panpel Arema sebagai salah satu model yang menarik untuk dipelajari: trik mengurangi botol air mineral penonton.
Botol air mineral memang sulit dikurangi di dalam stadion. Dirazia dan diganti plastik pun tetap saja ada yang lolos masuk ke dalam stadion. Ya, salah panpel juga sih sebenarnya. Mereka merazia botol penonton, tapi di sisi lain tetap memberi akses masuk ke pedagang asongan yang menjual minuman berbotol. Hal menggelikan sekali sebenarnya.
Di tangan panpel Arema yang mungkin sudah capek dengan merazia botol air mineral tersebut, botol diperbolehkan tetap masuk stadion. Tapi boleh percaya atau tidak, sejauh pengalaman saya, di Kanjuruhan pelemparan botol minim terjadi. Hal itu tak lepas dari cerdiknya panpel dalam menyiasatinya saat pemberian hadiah undian.
Jadi begini, sebagai klub besar, Arema memang kebanjiran sponsor. Para pendukung tersebut silih berganti bersedia memberikan sepeda motor sebagai hadiah undian dari setiap laga kandang mereka. Nah, seremoni pemberian hadiah sepeda motor ini kemudian "dipaketkan" oleh panpel Arema dengan trik mereka untuk meminimalisir botol yang dilempar ke pemain lawan atau wasit.
Bagi pemenang undian di Kanjuruhan, mereka diwajibkan menaiki motor barunya itu untuk mengelilingi lapangan saat half time. Entah sendiri atau dibonceng panpel. Sementara penonton yang apes tak dapat undian, mereka boleh melontarkan kekesalannya dengan melempari si pemenang yang menaiki motor barunya tersebut. Senjata lemparan tersebut dianjurkan botol air mineral, tidak boleh botol yang keras.
Ada dua hal menarik di sini. Yang pertama, ini menjadi hiburan tersendiri saat jeda. Semua sama-sama senang. Penonton puas dan bersorak kala lemparannya tepat mengenai sasaran yang baru saja membuat mereka kesal karena merebut hadiah impian mereka. Sementara sang pemenang meski basah kuyup atau bahkan memar sedikit dan wajah tak karuan, tetap senang. Dapat sepeda motor, bagaimana tak senang? Hanya di Kanjuruhan orang dilempar botol air mineral tetap tertawa.

Yang kedua, ini sebenarnya adalah trik menghabiskan botol air mineral penonton sebelum babak kedua. Sebab, kecenderungan penonton untuk rusuh dan melemparkan botol ada saat penghujung paruh kedua, khususnya jika tim tuan rumah sedang dalam posisi tertinggal atau kesulitan memenangi laga.
Seperti juga kebanyakan suporter di Indonesia lainnya, Aremania juga bisa tersulut emosinya kalau ada keputusan wasit yang tak adil atau provokasi dari pemain lawan manakala Arema tertinggal atau masih tertahan di kandang. Slogan mereka pun secara responsif akan menjadi salam khas suporter di Indonesia, "Salam Satu Botol". Tapi, Aremania tak bisa melempar botol lagi. Stok senjata botol mereka sudah habis untuk melempar pemenang undian tadi.
Menurut Sudarmadji, media officer Arema, ide untuk melempar botol kepada pemenang undian sepeda motor tersebut sudah tercipta sejak 2010 lalu. "Pencetusnya adalah Ovan Tobing. Kebetulan saat itu kita disponsori produsen motor Jepang dan ada motor yang dihadiahkan di setiap laga kandang," katanya.
Panpel Arema sangat beruntung memiliki Ovan sebagai MC (master of ceremony) tetap laga kandang. Segudang pengalamannya sebagai MC pagelaran musik rock di Indonesia sejak era 70-an memang sangat berguna untuk menelurkan ide-ide kreatif demi menaklukkan penonton. Apalagi kalimat Ovan yang keluar menggelegar sudah ibarat sebuah sabda bagi Aremania. Pantas saja, sosok MC satu ini pernah dijuluki "Singa Penakluk Massa" oleh sebuah majalah musik tanah air.
Hal lain yang menarik dari panpel Arema adalah bagaimana mereka memudahkan awak media. Kerumunan stadion tak membuat koneksi internet terhambat. WiFi hampir menyebar seluruh sudut-sudut tribun hingga ke pinggir lapangan. Para fotografer bisa mengirimkan foto mereka ke kantor masing-masing dari pinggir lapangan. Hujan dan kaki kesemutan bukan kendala berarti bagi fotografer peliput Arema. Panpel menyediakan untuk mereka kursi plastik plus jas hujan plastik sekali pakai.
Sering lolosnya Arema ke Liga Champions Asia atau AFC Cup memang sedikit banyak juga menjadi faktor pendukung hal-hal yang dilakukan Panpel Arema. Namun, meski tidak lolos ke sana pun, mereka masih menjaga hal-hal tersebut, seperti tahun lalu.
Ada banyak hal lagi yang sebenarnya menarik untuk dibahas dari panpel Arema ini. Tiket terusan, pemberdayaan pedagang jersey kaki lima dengan menjual tas t-shirt berhologram, penggunaan produsen jersey lokal dan hal-hal yang pernah mereka lakukan lainnya. Tapi, daripada terkesan membagus-baguskan mereka, ya kita sudahi saja.
Semoga ini bisa menjadi pemicu panpel klub-klub lainnya agar berlomba-lomba mengeluarkan terobosan untuk kenyamanan dan keamanan penonton. Sebab, ada banyak klub Indonesia yang panpelnya punya potensi serta sarana prasarana pendukung. Sebut saja panpel dari klub-klub yang stadionnya sudah single seat. Bisa saja mereka memberi terobosan tiket sesuai nomor kursi. Penonton didata sesuai nomor kursi seperti di liga Inggris. Lebih mudah untuk pengawasan dan keamanan bukan?
Atau anda punya cerita menarik tentang terobosan-terobosan panpel di kota lainnya? Silakan berkisah di kolom komentar. Saya dengan senang hati akan mencatatnya sebagai dokumen tambahan.
===
* Artikel ini merupakan pengalaman dan opini pribadi penulis. Akun twitter: @fjrhman dari @panditfootball
(a2s/roz)