Melawan Rasialisme dengan Mimikri

Melawan Rasialisme dengan Mimikri

- Sepakbola
Rabu, 30 Apr 2014 10:25 WIB
Getty Images/David Ramos
Jakarta - Jika rasialisme masih belum bisa dikalahkan, ya sudah mari kita telan sama-sama dengan cara selfie rame-rame.

Kira-kira itulah pesan yang ingin disampaikan para pemain bola yang memberi dukungan pada Dani Alves dengan memotret diri sendiri dalam pose sedang memakan pisang. Pose itu merupakan peniruan (mimikri) dari aksi Dani Alves yang memilih memakan pisang yang dilemparkan fans Villareal dalam pertandingan akhir pekan lalu.

Bandingkan dengan bagaimana Kevin-Prince Boateng yang memilih menendang bola ke arah fans yang rasis saat dirinya memperkuat AC Milan saat bertanding ujicoba dengan Pro Patria. Atau bagaimana Samuel Eto'o dan Roberto Carlos memilih "mengamuk" dan kemudian mencoba meninggalkan lapangan saat menerima pesan rasialis dari fans lawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cara bek kenan tim nasional Brazil menyikapi tindakan rasialis memang sangat cerdik. Cara itu memungkinkan siapa pun yang tidak setuju rasialisme untuk ikut meniru apa yang dilakukan Alves. Siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, bisa memotret dirinya sendiri (selfie) dengan pose sedang memakan pisang sebagai dukungan pada Alves. Dan itulah yang dilakukan oleh Neymar, Suarez, Balotelli, Aguero sampai presiden Brazil, Dilma Rousself.

Butuh mentalitas baja untuk bisa melakukan tindakan seperti yang dilakukan Alves. Tak semua orang bisa menerima penghinaan yang menyakitkan dengan sikap yang dingin, cuek, dan acuh. Tapi dengan tindakan itulah Alves justru melakukan perlawanan diam-diam, suatu serangan balik, sejenis perlawanan yang dengan itulah Alves justru tampil sebagai pemenang.

Melempar pisang jelas penghinaan dan teror yang menginginkan hancurnya konsentrasi Alves. Jika Alves marah-marah, mengamuk, atau meninggalkan permainan itu akan bisa sangat dimengerti. Tapi dengan itulah justru para pelempar pisang akan berjingkrak penuh kemenangan.

Yang dibayangkan sekaligus diinginkan para teroris-rasialis itu memang respons negatif dari si-target. Jika si-target bertindak seperti yang mereka inginkan, seperti marah-marah, menangis, atau mengamuk, mereka akan berteriak-teriak melemparkan suara menyerupai monyet. Dan dengan itulah, libido rasialis mereka mencapai klimaks dan terpuaskan.



Apa yang dilakukan Alves justru menggagalkan rencana busuk itu. Alih-alih terganggu, Alves justru memakan pisang itu dalam rangkaian aksi yang dingin, datar, biasa-biasa saja, dan jauh dari kesan dramatik. Dia mengambil pisang yang tergeletak di atas rumput, mengupasnya, menyantapnya dengan lahap, dan lalu dengan sangat tenang, seakan tak terjadi apa-apa, dia langsung mengambil tendangan pojok.

Cara Alves melakukan itu semua mengesankan sikap yang tak terusik, mentalitas yang terjaga --seperti sedang menembak musuh sambil tersenyum dingin. Ini tak ubahnya menanggapi cemoohan, ejekan dan makian dengan senyum sinis yang dilengkapi dengan kalimat: "Emang gue pikirin!" Pemain kelahiran 6 Mei 1983 ini dengan sangat jelas mengafirmasi apa yang saya tafsirkan dengan mengatakan: "Jika anda tidak menganggap itu sebagai hal penting, mereka (si pelempar pisang) telah gagal mencapai tujuannya."

Di sini ada perang simbol. Bagi para rasis yang berdiri di tribun, pisang adalah pesan teror yang ingin menyamakan si target dengan primata. Tapi Alves menampik teror itu. Pisang yang mulanya diniatkan sebagai simbol bagi primata, dia santap dengan lahap, bukan seperti primata yang sedang memakan pisang, tapi seperti biasanya atlet menyantap pisang.

Kita tahu pisang adalah buah-buahan yang lazim disantap para atlet saat bertanding untuk mendapatkan asupan karbohidrat secara instan. Memakan pisang berarti menambah stok karbohidrat. Dan dengan demikian, tindakan Alves itu seperti sebuah pernyataan yang akan terdengar akrab bagi para pembaca Nietzsche: "Apa yang tak sanggup melukaiku akan membuatku semakin kuat." [Nietzsche pernah berujar: Apa yang tak bisa membunuhmu, akan membuatmu jadi lebih kuat].

Dan gema aforisma Nietzschean itu pula yang dengan bernas tersembul dari kata-kata Alves ini: "Terima kasih kepada siapa pun yang melempar pisang, mereka memberi saya energi untuk dua umpan silang yang melahirkan gol."



Pada level berikutnya, menyantap pisang yang dilemparkan dengan niat busuk rasialisme, bagi Alves, sama saja memperlakukan senjata kiriman lawan tak ubahnya sebagai barang mainan belaka. Ini seperti manusia super-hero yang dilempari granat tapi kemudian malah menyantapnya dengan enteng. Ini permainan simbolik leceh-melecehkan: siapa yang memulai melecehkan, harus siap dilecehkan balik.

Primata, katakanlah kera, memang doyan dengan pisang. Itulah kenapa muncul pertanyaan: Tidakkah dengan memakan pisang yang dilemparkan itu maka Alves membenarkan kalau dirinya (serupa) kera?

Saya kira jawabannya: tidak. Jika diperkenankan menggunakan salah satu konsep kunci dalam studi poskolonial, apa yang dilakukan Alves ini bisalah dikatakan seperti strategi "mimikri".

Dengan istilah "mimikri", saya memaksudkan tindakan Alves ini sebagai strategi seakan-akan mengikuti apa yang diinginkan oleh "si pelempar pisang" tapi pada saat yang sama sebenarnya sedang melakukan perlawanan. "Mimikri" di sini berarti "seolah-olah menyerupai [kera]", padahal sebenarnya tidak. Seolah-olah sedang menuruti kemauan "si pelempar pisang", padahal sebenarnya melecehkan balik.

Homi K. Bhabha, salah satu eorang teoritikus poskolonial terpenting, menyebut "mimikri" sebagai "...a subject of a difference that is almost the same, but not quite."

Bhabha menulis esai khusus tentang "mimikri" ini dalam esai berpengaruh yang berjudul "Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse". Dalam esai itu, Bhabha mengatakan bahwa "mimikri" bukanlah sejenis "penyesuaian atau harmonisasi" dengan apa yang dikehendaki oleh penjajah. Mimikri, bagi Bhabha, dalam salah satu aspeknya tak ubahnya teknik penyamaran atau kamuflase yang dipraktikkan di medan tempur.

Dalam hal aksi Alves, tindakannya memakan pisang bukanlah penyesuaian atau harmonisasi dengan yang diinginkan oleh para bigot rasis. Jika pun tindakan dia memakan pisang itu membuatnya terlihat seperti kera, sebagaimana yang dimaksudkan si pelempar pisang, itu hanyalah strategi penyamaran, semacam teknik kamuflase, yang biasa dipakai para prajurit yang sedang bertempur.

Tapi, perlawanan mimikri macam ini adalah perlawanan kecil-kecilan, perlawanan sehari-hari, bukan perlawanan kolosal dan dahsyat. Ini seperti perlawanan seorang kawula petani, yang saat tuan tanah lewat, si kawula tetap membungkuk tapi pada saat yang sama dia kentut diam-diam. Seolah-olah menghormati, padahal pada saat yang sama mencoba melecehkan.

Boleh jadi Alves memenangkan pertempuran kali ini, tapi kemenangan ini adalah kemenangan kecil-kecilan. Kemenangan Alves adalah memenangkan sebuah pertempuran, bukan memenangkan peperangan. Pertempuran-pertempuran lain melawan rasialisme masih akan berlanjut di lain waktu, di lain tempat, dengan aktor-aktor yang berbeda. Kemenangan dalam satu pertempuran, tidak selalu berakhir dengan kemenangan dalam peperangan. Jepang boleh saja memenangkan pertempuran di Pasifik pada akhir 1941, tapi Perang Dunia II toh dimenangi oleh Sekutu.

Perang melawan rasialisme jelas tak bisa dimenangkan hanya dengan berbanyak-banyak foto selfie sambil memakan pisang. Bukan semata-mata karena selfie adalah selemah-lemahnya iman perlawanan, tapi lebih karena rasialisme adalah wabah sampar yang sudah mengakar sangat akut dalam berbagai bentuk dan di berbagai bidang kehidupan. Rasialisme di sepakbola dan sport hanyalah salah satunya saja.
Β 
Lagipula, masih agak sulit mengharapkan peperangan terhadap rasialisme di sepakbola ini bisa dimenangkan jika FIFA masih setengah-setengah melakukan upaya pencegahan.

Apa yang bisa diharapkan dari FIFA jika presidennya saja, Sepp Blatter, saat sedang hangat-hangatnya isu rasialisme yang dilakukan John Terry pada Anton Ferdinand, bisa-bisanya mengatakan rasalisme bisa diselesaikan dengan berjabatan tangan di akhir pertandingan? Apa yang bisa diharapkan jika saat Kevin-Prince Boateng yang diejek sebagai kera oleh fans Pro Patria memutuskan untuk keluar dari lapangan malah dikritik oleh Sepp Blatter sebagai "tindakan yang tidak menyelesaikan persoalan".

Bentuk paling purba dari rasialisme salah satunya adalah perbudakan. Dan kita semua tahu, FIFA dan Sepp Blatter tutup mulut dalam isu "perbudakan modern" yang dilakukan pemerintahan Qatar pada para pekerja kasar yang sedang membangun stadion dan infrastuktur Piala Dunia 2022?

Alves sudah melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya. FIFA dan Sepp Blatter yang belum sudi melakukannya. Maka, percayalah, peperangan terhadap rasialisme dalam sepakbola pasti masih jauh dari kata sudah.

====

*penulis adalah editor in chief @panditfootball. Akun twitter: @zenrs

(roz/din)

Hide Ads