Pada tahun 1998 persepakbolaan Jerman mendapatkan alarm peringatan. Pada Piala Dunia yang digelar di Prancis, Jerman takluk 3-0 di babak perempatfinal oleh Kroasia. Sekilas tidak ada yang terllihat buruk dengan hal tersebut, mengingat Kroasia memang tengah memiliki pemain-pemain berkualitas.
Namun masalah baru terlihat Jerman jika kita menilik lebih dalam skuat yang dibawa oleh Berti Vogts ketika itu. Rataan usia 22 pemain yang bermain di Prancis mencapai 29,7 tahun.
Andreas Kopke, yang ketika itu sudah berumur 36 tahun, masih menjadi pilihan utama dalam menjaga gawang. Lothar Matthaeus dan Juergen Kohler masih mengisi barisan pertahanan Jerman di usia 37 dan 32 tahun. Di depan, pilihan Vogts jatuh pada sang kapten Juergen Klinsmann dan Oliver Bierhoff, yang juga sudah berusia 33 dan 30 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak itu Jerman melakukan evaluasi total. Sepakbola Jerman dirancang ulang untuk membangun sistem yang lebih baik. DFB sebagai asosiasi sepakbola Jerman pun merencanakan program pembinaan usia muda untuk menyelamatkan wajah mereka.
Direktur pembinaan usia muda Jerman, Ulf Schott, pernah berkata, "Hingga tahun 1998, pembinaan usia muda belum menjadi topik bahasan utama. Hal ini sering dikatakan penting namun tidak ada yang serius menanggapinya."
Akhirnya, pada tahun 2001, dimulailah program pembinaan bakat-bakat muda mereka. DFB membangun akademi-akademi sepakbola yang langsung terhubung dengan klub-klub Bundesliga dan Bundesliga 2.
Pada 2010 mereka pun berhasil menunjukan buah dari sistem pembinaan ini. Jerman menembus babak semi final Piala Dunia dengan membawa skuat termuda dalam turnamen tersebut.
Bintang-bintang muda pun mulai bersinar di tim nasional Jerman. Philipp Lahm, Thomas Mueller, Bastian Schweinsteiger, Manuel Neuer, Mesut Oezil, Sami Khedira, dan berbagai nama lainnya menjadi penopang tim nasional Jerman pada usia yang masih belia. Meski Jerman harus takluk dari sang juara Spanyol pada babak semifinal, dunia mengakui bahwa Jerman telah memiliki pasukan muda yang menakutkan.
Kini, empat tahun setelah Piala Dunia Afrika Selatan tersebut, Jerman kembali hadir dengan pasukan yang lebih siap. Bibit yang mereka tanam pada tahun 2001 lalu sudah semakin matang untuk menaklukan dunia.
Lahm, Neuer, dan Schweinsteiger sedang dalam usia emas mereka. Mueller, Toni Kroos, Oezil, Matt Hummels, dan Jerome Boateng sudah memiliki pengalaman lebih banyak ketimbang 2010 lalu. Ditambah beberapa personie baru seperti Mario Goetze, Andre Schuerrle, dan Julian Draxler, Jerman seolah-olah tengah berdeklarasi bahwa mereka akan menguasai persepakbolaan dunia.
Namun, ada satu hal yang sedikit mengganjal dari skuat Jerman di Piala Dunia 2014 ini. Joachim Loew hanya memasukan dua orang striker ke dalam skuat yang dibawanya ke Amerika Selatan. Hanya ada nama Miroslav Klose dan Lukas Podolski sebagai pemain yang berposisi striker di skuat Jerman. Keduanya tentu bukan nama baru.
Ya, pembinaan usia muda yang dilakukan Jerman sejak era milenium tersebut memang berhasil membuat Jerman melahirkan banyak pemain berkualitas di bebagai posisi. Dari mulai penjaga gawang, pemain belakang, gelandang bertahan, gelandang serang, hingga penyerang sayap bisa dihasilkan oleh Jerman. Namun, tidak untuk posisi penyerang.
Sejak memasuki era milenium, dapat dikatakan Jerman tidak memiliki striker baru yang mematikan. Hanya ada Klose sebagai penyerang murni terakhir yang sukses di tim nasional Jerman hingga saat ini. Beberapa nama lain yang digadang-gadang akan menjadi penyerang mematikan akhirnya harus tenggelam dan gagal menembus skuat tim nasional.
Mario Gomez mungkin bisa disebut sebagai penyerang Jerman yang muncul di tahun 2000-an. Namun penyerang yang kini berusia 28 tahun itu pun tergeser di mantan klubnya, Bayern Munich. Ia kemudian hijrah ke Fiorentina.
Padahal, jika kita cek ke catatan masa lalu, Jerman tidak pernah absen dalam melahirkan penyerang-penyerang berkualitas. Kita mengenal Klinsmann dan Bierhoff di era 90-an. Di periode 80-an ada Rudi Voeller dan Karl-Heinz Rummenigge, sementara Gerd Muller dan Jupp Heynckes yang menjadi punggawa Jerman di tahun 70-an.

Kecenderungan sama juga terlihat di tim Bundesliga. Dari 5 tim teratas klasemen Liga Jerman tersebut, tidak ada satu pun tim yang menggunakan striker asal Jerman. Mungkin hanya Bayer Leverkusen yang memiliki Stefan Kiessling. Namun, penyerang berusia 30 tahun itu pun tidak menjadi pilihan utama di Leverkusen. Ia masih harus berebut posisi dengan penyerang Korea Selatan, Son Heung-Min.
Dari situ timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan Jerman tidak lagi memiliki striker berkualitas pada satu dekade terakhir ini? Apa sebenarnya pembinaan yang mereka lakukan masih belum berhasil?
Dalam masa transisi pada awal tahun 2000, sepakbola Jerman sendiri mengalami beberapa perubahan. Salah satunya adalah pada gaya bermain. "Kami mengubah gaya permainan dari yang mengandalkan fisik pemain, menjadi lebih teknikal,β kata Ulf Schott lagi.
Jerman juga menitikberatkan pada penguasaan bola dan permainan yang kreatif. Dengan begitu, pembinaan usia muda pun dirancang agar menghasilkan pemain-pemain yang mampu memainkan gaya tersebut.
Hal ini sejalan dengan apa yang diperagakan beberapa tim Bundesliga. Bayern dan Dortmund, yang telah menjadi kekuatan besar di Liga Champions, telah memeragakan permainan atraktif ala Jerman. Pemain-pemain berteknik tinggi memainkan sepakbola mengalir yang sangat menarik untuk disaksikan.
Hal inilah yang kemudian membuat langka keberadaan penyerang murni di Jerman. Jika ditilik lagi, penyerang-penyerang tradisional Jerman adalah pemain-pemain yang mengandalkan fisik kuat untuk menghancurkan pertahanan lawan. Tanpa perlu mengeluarkan teknik tingkat tinggi, para penyerang tradisional ini akan langsung mencetak gol dengan kemampuan finishing yang luar biasa.
Klose dan Gomez adalah gambaran yang paling nyata soal penyerang tradisional Jerman yang masih ada saat ini. Mungkin Gomez juga bisa dijadikan contoh yang baik untuk menjadi generasi penerus setelah Klose. Namun, perubahan gaya permainan Die Mannschaft membuatnya harus tersingkir dari tim nasional.

Jerman memang kini lebih senang menggunakan penyerang serba bisa seperti Thomas Muller yang aktif bergerak mencari ruang, ketimbang Gomez yang lebih "terbatas". Hasilnya pun tidak mengecewakan. Pada Piala Dunia kali ini Mueller mampu menyumbangkan lima gol, sama seperti empat tahun lalu di Afrika Selatan.
Selain itu, merujuk pada pertandingan final antara Jerman dan Argentina semalam, sang pencetak gol kemenangan adalah Mario Gotze, salah satu dari sekian banyak gelandang serang kreatif produk pembinaan muda Jerman. Kemampuannya mengontrol bola sebelum melesakkan tendangan voli seolah jadi contoh kesuksesan Jerman dalam memproduksi pemain-pemain dengan teknik tinggi.
Jerman yang sekarang adalah Jerman yang bisa meninggalkan streotipe yang diidentikkan selama bertahun-tahun, seperti "terorganisir", "mesin", atau "efisien". Jerman yang sekarang adalah Jerman yang tak kalah dari Spanyol dan negara-negara Amerika Latin dalam hal mengolah si kulit bundar dan bermain cantik.
Tapi bukan berarti Jerman bisa berpuas diri dengan hanya mengandalkan Mueller. Di babak 16 besar dan perempatfinal, misalnya, Jerman pun demikian kesulitan untuk menembus gawang Aljazair dan Prancis. Ketika membantai Brasil pun Jerman sangat terbantu dengan keberadaan si gaek Klose, yang mengacak-ngacak dan mendorong lini pertahanan Tim Samba, serta menciptakan ruang bagi Mueller dan second line Jerman untuk menyerang.
Menggondol juara dunia tentu jadi bukti keberhasilan pembinaan yang dimulai sejak 2001 silam. Tapi, bukan berarti tak ada pekerjaan rumah yang menanti ketika kembali ke Eropa sana. Jika masalah ini berhasil diselesaian, akan betapa mengerikannya skuat Jerman nanti.
====
* Ditulis oleh @aabimanyuu dari @panditfootball
(roz/a2s)