Mereka yang Pernah Mematahkan Kaki Lawan

Mereka yang Pernah Mematahkan Kaki Lawan

- Sepakbola
Selasa, 10 Mar 2015 13:16 WIB
Jakarta -

Hari-hari setelah 27 Februari 2010 menjadi hari yang sangat berat bagi Ryan Shawcross. Bayang-bayang kejadian itu membebani pikirannya. Usahanya untuk membuka komunikasi tak pernah berhasil. Akhirnya, ia pun mengeluarkan pernyataan di media, pernyataan yang sama sekali bukan permintaan maaf secara langsung, “Ini semua tergantung Aaron (Ramsey).”

Shawcross pantas bingung. Gaya bermainnya yang keras membuahkan mimpi buruk bagi Ramsey yang kala itu bahkan belum berusia 19. Tekelnya membuat Ramsey mengalami cedera mengerikan: patah tulang kaki.

“Tidak pernah ada niatan untuk mencederai lawan,” kata Shawcross membela diri, “Tekel seperti itu biasa terjadi 5-6 kali dalam satu pertandingan dan biasanya tidak terjadi apa-apa.”

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tibia dan fibula Ramsey patah. Dokter di rumah sakit tidak bisa memberikan estimasi kapan Ramsey bisa kembali. Shawcross yang menjadi aktor utama lantas mencoba membuka komunikasi. Berkali-kali ia menelepon, mengirimkan pesan dan SMS, tapi tak kunjung ada balasan.

Shawcross kian tertekan karena semua orang menyudutkannya. Ia dianggap menghabisi impian Ramsey yang digadang-gadang menjadi tulang punggung Arsenal di masa depan. Sulit bagi Shawcross untuk kembali mendapatkan dukungan. Hanya rekan-rekan, tim pelatih, dan penggemar Stoke City yang membuat mentalnya masih tetap kuat.

Shawcross pantas gelisah. Berhari-hari setelah 27 Februari, media massa masih membahas soal tekel horor tersebut. Mau tak mau ia masuk ke dalamnya. Ia pun mulai menganalisa soal apa yang terjadi sebenarnya dengan memerhatikan dengan cermat lewat tayangan lambat.



Saat Ramsey terhempas ke bumi, Shawcross seperti merasa jatuh ke dalam jurang emosi. Ia bingung karena para pemain di Britania Stadium memasang wajah menyesal atas apa yang telah ia lakukan.

Hampir sebulan setelah kejadian tersebut, Shawcross benar-benar tak tahan. Ia pun muncul di media dan memberi keterangan pers pertamanya soal kejadian tersebut. Ia mengaku tak keberatan jika Ramsey menjauhi dirinya karena kejadian tersebut.

“Aku telah berusaha. Aku meninggalkan pesan dan SMS untuknya, dan tidak ada yang terjadi, tapi ini semua tergantung Aaron,” kata Shawcross dikutip The Guardian, “Apakah aku akan bertemu dengannya? Ya, mungkin nanti, tapi ini tergantung Aaron. Aku belum bicara dengannya.”



Lewat pernyataan persnya, Ramsey mengakui kalau Shawcross meninggalkan pesan dan SMS untuknya. Namun, untuk saat itu ia tengah mengerahkan seluruh energinya agar bisa pulih kembali.


Dihantui Mimpi Buruk

Rasa bersalah yang diderita Shawcross, juga pernah dirasakan Brian Mullan. Entah apa yang ia pikirkan saat melepaskan tekel keras ke arah kaki Steve Zakuani. Sama seperti Ramsey, Zakuani juga menderita patah tibia dan fibula.

Usai pertandingan Mullan terhenyak. Rasa emosi pemain Colorado Rapids itu tidak setimpal dengan apa yang ia harapkan. Niatnya memberi “pelajaran” kepada pemain lawan berbuah petaka. Tim dokter memprediksi kalau Zakuani tak akan bisa lagi bermain sepakbola. Ada kemungkinan Zakuani tak lagi punya kaki karena diamputasi.

Para penggemar di MLS terlanjur membencinya. Meski meminta maaf usai pertandingan, tapi ia menyematkan komentar—yang bernada sama dengan apa yang diucapkan Shawcross—yang kurang tepat: “Itu adalah tekel yang sudah ratusan kali aku lakukan, dan aku melakukannya lagi,” kata Mullan enteng.

Nyatanya kejadian tersebut tidak membuat Mulan bisa hidup bebas dan tidur nyenyak. Ia selalu terbangun tengah malam. Mimpi buruk itu selalu menghantuinya. Selalu terngiang dalam ingatannya bagaimana ia menghancurkan karier Zakuani yang baru merintis kesuksesan bersama Seattle Sounders.

Bahkan Mullan harus menjalani terapi atas trauma tersebut. Mullan sendiri tidak melakukan banding atas hukuman 10 pertandingan yang dijatuhkan padanya.

“Keinginanku agar dia segera kembali jauh lebih besar dari siapapun,” harap Mullan. Pria kelahiran 1978 tersebut mengaku tidak sempat melihat kondisi Zakuani karena dirinya dikerubungi oleh pemain lawan yang emosi.

Zakuani sendiri secara tulus menerima permintaan maafnya. Ia menghargai niat baik Mullan yang ingin menghubunginya secara langsung. Ia juga tak membutuhkankan “ucapan khusus” seperti permintaan maaf jika keduanya bertemu.

Jelang pertandingan pertamanya setelah menjalani hukuman 10 pertandingan, Mullan merasa lega. Sehari sebelum pertandingan, ia menerima pesan spesial. Pengirimnya tak lain adalah Zakuani. Isinya kira-kira begini, “Tidak ada amarah. Jangan biarkan tekel itu memengaruhi caramu bertanding. Semoga sukses!”

Uniknya, pertandingan pertama Zakuani usai patah kaki adalah pertandingan menghadapi Mullan bersama dengan Colorado Rapids. Usai pertandingan, keduanya bertukar kostum dan berpelukan.

Usai tekel tersebut, karier Zakuani terus merosot. Jumlah golnya kian menurun seiring dengan hernia yang ia derita. Pada 29 Oktober 2014 Zakuani memutuskan untuk pensiun dari sepakbola pada usia 26. Sebulan sebelumnya, Mullan lebih dulu pensiun. Gangguan pada lutut serta tidak nyamannya suasana di MLS turut memengaruhi keputusannya tersebut.

Tapi cerita bagaimana Mullan mengalami depresi, juga kisah tentang bagaimana Zakuani mengirimkan SMS jelang Mullan habis masa hukumannya, memperlihatkan keajaiban permaafan. Tak banyak yang bisa memaafkan usai mengalami hal mengerikan macam itu, tapi Zakuani bisa. Dan dengan pemaafan itulah Mullan bisa bermain lagi dengan mental yang sudah mulai tertata rapi.

Benar sudah kata Alexander Pope, penyair Inggris abad 18, kalau “melakukan kesalahan itu manusiawi, memaafkan itu surgawi”. To err is human, to forgive is divine….

Saat Balas Dendam Berakibat Fatal

Butuh empat tahun bagi Roy Keane untuk kembali bertemu dengan Alf-Inge Haaland. Ia tidak pernah lupa perkataan Haaland yang menyebutnya berpura-pura cedera. Pada 2001 dalam “Derby Manchester”, Keane melancarkan aksinya. Ia menghajar lutut Haaland yang membuat pria Norwegia tersebut pensiun dari sepakbola.

Lewat autobiografinya, Keane mengaku tidak pernah menyesali perbuatannya tersebut. Menurutnya itu merupakan aksi balas dendam atas ejekan Haaland pada 1997 silam, kala masih bermain untuk Leeds United. Kala itu, Keane mencoba melakukan tekel terhadap Haaland, sialnya, malah Keane yang menderita cedera ligamen.

“Ada sejumlah hal yang aku sesali dalam hidup, tapi dia (Haaland) bukanlah satu di antaranya,” tulis Keane.



Terkait cedera yang ia derita, Haaland balas mengejek Keane yang tak pernah menemuinya sejak 1997. “Ada banyak pelanggaran keras dalam pertandingan, tapi itu adalah yang paling parah. Aku tidak akan mengatakan apa yang Keane katakan padaku. Tapi itu bukanlah hal yang baik. Aku bersyukur karena kakiku tidak di atas tanah, kalau tidak, dia akan memberiku bahaya yang lebih parah,” kata Haaland.

Masa depan Haaland sudah bisa ditebak. Dua tahun kemudian, City melepasnya. Haaland menyerah karena lututnya tak bisa kembali secara normal. Ia pensiun setelahnya.

Apa yang terjadi antara Keane dan Haaland seperti merupakan sebuah kontras yang amat tajam dibanding Mullan dan Zakuani.

Dalam insiden Keane-Haaland, kita melihat dua orang yang tetap berdiri di posisinya masing-masing. Haaland tak merengek-rengek dan malah balik mengejek, Keane juga tetap “buas” dengan tak meminta maaf, tidak juga menyesal.

Ini sebuah epik tentang kekerasan hati yang, sampai batas tertentu, juga tetap menakjubkan sebagai sebuah cerita – kendati mungkin tak patut untuk ditiru.



Mencari Hukuman yang Tepat

Brian Mullan dihukum sepuluh pertandingan oleh MLS. Roy Keane “hanya” lima pertandingan; sementara Shawcross beruntung karena hanya melewatkan tiga pertandingan. Pertanyaannya adalah sepadankah hukuman-hukuman tersebut?

Patah tulang tidak bisa sembuh dalam satu-dua bulan. Bagi pesepakbola, patah tulang seperti kiamat. Bukan cuma berpengaruh pada ketahanan kaki mereka, tapi juga pada mental. Bagaimana cara pemain yang mengalami patah tulang menghilangkan trauma agar kejadian serupa tak lagi terulang?

Menjadikan tekel sebagai hal terlarang di sepakbola bukanlah jawaban. Manajer Arsenal, Arsene Wenger, pernah menyatakan ketidaksetujuannya. Walaupun ia menjadi saksi bagaimana tekel hampir menghabisi karier Emmanuel Adebayor, Eduardo, dan Ramsey, tapi ia mengungkapkan kalau tekel adalah seni dari sepakbola. Banyak pemain yang melakukannya dengan bersih dan indah.

Ini juga ditanggapi sama oleh Zakuani. Ia hanya meminta wasit untuk lebih melindungi para pemain dari tekel keras. “Apakah Anda hanya menghukum orang yang mematahkan kaki atau ankle, atau yang lainnya? Ini sulit,” kata Zakuani dikutip The News Tribune.

Hukuman yang pantas bagi “leg broker” adalah menghukumnya tidak boleh bertanding sebelum korban tekelnya bisa kembali bermain. Apakah ini terlalu keras? Entahlah. Tapi memang menyedihkan melihat pemain yang masih muda seperti Zakuani atau Ramsey, misalnya, jika harus mengakhiri karir dengan cara demikian tragis.

Bisakah kita berhenti di titik ini dan sepenuhnya berpaling kepada faktor “nasib” dan “takdir”? Ataukah ada yang lain?

Bayangkan yang terjadi dengan Radja Nainggolan pada hari Minggu (8/3/2015) lalu, ketika ia terlibat dalam insiden yang berujung pada patahnya kaki pemain Chievo pinjaman dari Juventus, Federico Mattiello. Lupakan soal sengaja atau tak sengaja. Bahwa Mattieloo masih berusia 19 tahun saat kakinya patah oleh Radja, masihkah ada harapan untuk Mattiello?



Situasinya menjadi lebih “pelik” dari sisi moral karena Radja tak diusir dari lapangan sebagaimana yang dialami Brian Mullan atau Shawcross. Setelah melihat kaki Mattielo yang sampai bengkok nyaris membentuk huruf “L”, masih bisakah Radja menghabiskan waktu pertandingan? Masih bisakah kita, setelah mematahkan kaki seseorang, bermain di sisa waktu yang tersisa dengan pikiran yang jernih?

**

Air mata yang jatuh dari pipi Shawcross sama sekali tidak membantu penyembuhan Ramsey. Namun, sesal itu tumbuh dan hadir dalam diri Shawcross. Bayangan tentang hancurnya impian selalu melintas dalam benak Shawcross. Ia tahu bagaimana rasanya diabaikan.



Di usia yang sama dengan Ramsey, cita-cita Shawcross hanyalah mimpi. Ia memang berkostum merah, tapi bukan Manchester United karena ber-strip putih; sementara Ramsey sudah dipercaya berjuang untuk kesebelasan besar berkostum merah bernama Arsenal.

Mullan lebih pedih lagi. Ia tak bisa bergembira. Kejadian tersebut tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya. Penggemar terlanjur melupakan titelnya sebagai peraih lima gelar juara MLS Cup. Mullan tak lebih sebagai “the leg broker”.


====

* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball

(din/a2s)

Hide Ads