Jika negeri Paman Sam mengenal "The American Dream" sebagai istilah bagi kaum miskin yang bisa membalikkan keadaan dan naik ke tingkat strata sosial paling puncak, maka sepakbola boleh dikatakan sebagai "The Brazilian Dream".
Meskipun terdengar sedikit klise dan terlalu sering didengungkan, memang hanya melalui sepakbola lah seorang yang berasal dari favela (perkampungan kumuh) bisa menguasai Eropa.
Tapi, nyatanya, hanya sedikit dari pesepakbola Brasil yang mampu menuntaskan impiannya --menjadi kaya raya. Sebagian besar para pesepakbola justru hidup tak ubahnya buruh bangunan. Sama-sama berkeringat, juga dibayar hingga proyek kelar. Selebihnya, mereka harus mencari pekerjaan lagi demi kebutuhan hidup anak istri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapa yang percaya anak miskin macam Ronaldo Luis Nazario de Lima kini bergelimang harta, bisa naik pesawat dan keliling dunia. Dulu, siapa pula yang peduli pada Edson Arantes do Nascimento yang tumbuh di lingkungan miskin Bauru, Sao Paulo? Kini wajahnya bisa terlihat dengan mudah di televisi mengumbar senyum manis, lengkap dengan pakaian necis.
Orang-orang lalu menunjuk sepakbola sebagai biang keladinya. Tanpa sepakbola, Ronaldo dan Pele serta sejumlah pesepakbola kaya lainnya, barangkali bukanlah siapa-siapa. Mereka tidak akan dikenang dan dikenal sebagai legenda, oleh orang Amerika, Afrika, Eropa, Australia, hingga Indonesia. Sepakbola menghadirkan mimpi-mimpi yang membuat masyarakat Brasil tak ingin bangun lagi.
Brasil adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak kelima di dunia. Sebanyak 202 juta jiwa tinggal di negara seluas hampir delapan kali Indonesia itu. Dengan wilayah yang seluas itu, secara kasat mata, Brasil bukanlah negara dengan masyarakat yang hidup berdesak-desakkan. Kepadatan penduduk mereka hanya 23 orang per kilometer persegi.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka menyemut di kota-kota besar, dan menjadikan semua kota di Brasil memiliki lingkungan kumuh atau favela. Berdasarkan sensus pada 2010, jumlah orang yang menempati kawasan favela di Brasil mencapai 11,4 juta orang atau 6% dari total populasi. Mereka yang miskin hanya memiliki dua pilihan untuk hidup: bekerja keras, atau melakukan tindakan kriminal.
Salah satu kerja keras paling menyenangkan adalah bermain sepakbola. Karenanyalah anak-anak dari lingkungan miskin di Brasil, menggantungkan cita-cita mereka pada sepakbola. Berlatih setiap hari, dan berharap ada pemandu bakat yang tidak sengaja menemukan bakat mereka, lalu mengorbitkannya ke Eropa.
Karena dari sepakbola lah mimpi itu akan terus hidup. Dengan limpahan uang, mereka bisa mengubah nasib dan menjaga nama keluarga.
Maka, jangan heran jika kini ada 30 ribu kesebelasan di Brasil dengan total pemain yang terdaftar mencapai 2,1 juta orang, dan yang tidak terdaftar mencapai 11,2 juta. Baik terdaftar ataupun tidak, toh hasrat mereka masih tetap sama: menjadi kaya seperti legenda dunia.

Gara-Gara Gaji
Masalah pun muncul karena mimpi itu sendiri. Banyak anak yang ingin meniru Dani Alves atau Neymar yang tumbuh dari lingkungan kumuh, lalu kini bermain untuk salah satu kesebelasan terhebat di dunia: FC Barcelona.
Sialnya, Alves, Neymar, ataupun Ronaldo adalah minoritas. Berdasarkan catatan World Bank, hanya dua persen dari 31 ribu pesepakbola yang terdaftar di Liga Brasil, yang memiliki gaji di atas 20 kali upah minimum bulanan Brasil atau 6.380 USD setiap bulannya.
Berdasarkan data dari World Bank, 85% pesepakbola Brasil atau sekitar 25 ribu orang, rata-rata digaji kurang dari sembilan juta rupiah setiap bulannya. Angka ini merupakan standar dua bulan upah minimum di Brasil.
Angka ini pada awalnya terdengar cukup besar. Namun, sebenarnya tidak demikian. Pesepakbola umumnya hanya mampu bermain maksimal hingga usia 40 tahun. Artinya, uang yang mereka dapatkan pasti berhenti ketika menginjak kepala empat, bahkan kurang.
Selain itu, sekitar 80% di antara mereka hanya dikontrak untuk menyelesaikan satu kompetisi saja. Satu kompetisi umumnya berlangsung selama enam bulan. Sisa setengah tahun lagi, mereka harus menepi dari lapangan, tanpa dibayar, dan menunggu bermain tahun depan.
"Banyak pemain yang dikontrak dalam jangka waktu pendek. Saat kontrak usai, mereka bermain di jalanan tanpa adanya asuransi pengangguran," kata Presiden Atlet Profesional Brasil (Fenapaf), Rinaldo Martorelli seperti dikutip World Bank.
Brasil sebenarnya memiliki asuransi bagi mereka yang dipecat. Namun, pesepakbola yang dikontrak pendek tidak mendapatkan asuransi ini, karena sebenarnya mereka memang menyelesaikan masa kontrak.

Karena hal itulah, hasrat berlaga di Eropa sedemikian besar. Rata-rata gaji pemain di Premier League mencapai 43 ribu pounds perpekan atau 172 ribu pounds tiap bulan. Rata-rata gaji di Bundesliga mencapai 112 ribu pounds per bulan. Bahkan gaji di kompetisi sekelas Liga Rusia sekalipun mencapai 75 ribu pounds tiap bulannya.
Perbedaan yang begitu besar membuat pesepakbola Brasil tak bisa lagi menahan hasratnya untuk pindah. Saat ada tawaran dari kesebelasan di Eropa, sulit bagi mereka untuk tidak memutus kontrak dengan klub. Mereka pun rela-rela saja jika harus mentas dulu di kompetisi Eropa Timur, seperti yang dilakukan penggawa Brasil di Piala Dunia 2014, Bernard, saat hijrah dari Atletico Mineiro ke Shaktar Donetsk.
Salah satu cara untuk mewujudkan mimpi itu adalah dengan menjalin kerjasama dengan investor TPO (agen pihak ketiga) dan menjadikan mereka sebagai agen atau promotor. Dengan koneksi yang luas, mungkin saja anak mereka beruntung bisa bermain di Eropa.
Ini yang membuat kesebelasan di Brasil kelimpungan. Mereka tidak siap jika harus melepas pemain tersebut, karena nilai transfer sang pemain tidak besar, tapi pemain ngotot untuk pindah.
Berdasarkan data dari Transfermarkt, hanya 23 pemain dari Campeonato Brasileiro Serie A yang memiliki nilai transfer di atas 10 juta pounds. Kepindahan pemain pun mengurangi kekuatan klub, tapi tidak menambah pundi-pundi uang karena nilai transfer tidak mampu menutupi kerugian.
Ketidakpasatian bagi para pemain ini kemudian diperparah dengan Liga Brasil yang perlahan digerogoti krisis keuangan. Sejumlah klub, termasuk Santos, dikabarkan belum membayar gaji pemain hingga tiga bulan lamanya. Pemasukan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan dana yang harus dikeluarkan, termasuk dari penjualan pemain.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @Aditz92
*Foto-foto: Getty Images
(roz/a2s)